Aksi pemrotes Syiah Bahrain yang menuntut hak-haknya dipenuhi, dijawab oleh pemerintahan Manama dengan kekerasan, kini semakin memburuk karena diperparah dengan datangnya gelombang bantuan militer besar-besaran dari negara-negara Arab di pesisir Teluk Persia.
Analis politik Sarah Marusek menilai tindakan keras terhadap para demonstran Bahrain sebagai sebuah "perbuatan keji" dan "sangat tidak proporsional", sebab para demonstran anti-rezim hanya menuntut hak-hak mereka dan tidak memanggul senjata.
Analis Politik Timur Tengah ini menilai situasi di Bahrain lebih buruk dari Libya. Pasalnya, rezim Manama yang kewalahan menghadapi gelombang protes rakyatnya sendiri, meminta bantuan dari negara-negara Arab tetangganya di pesisir Teluk Persia. Inilah yang tidak dilakukan pemimpin Libya Muammar Qaddafi.
Marusek mengkritik invasi yang dilakukan pasukan militer negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia (PGCC) dan menggambarkannya sebagai sesuatu yang "keterlaluan."
Menurut analis politik ini, penggunaan pasukan asing dan tentara bayaran untuk menumpas aksi demonstrasi anti-pemerintah bukan hal yang baru bagi rezim Manama.
Sebelumnya Manama telah merekrut tentara asing dari Pakistan, Yaman, dan negara lain akibat konflik internal di antara pasukan militer sejak awal demonstrasi pro-reformasi pada bulan Februari.
Marusek menilai invasi negara-negara Arab ke Bahrain dilakukan dengan lampu hijau Amerika Serikat. Menteri Pertahanan AS Robert Gates mengunjungi Bahrain pada hari Sabtu, sesaat sebelum pasukan dari Arab Saudi dan negara-negara Arab tetangga dikirim ke Bahrain.
Kekerasan terhadap demonstran damai yang terus berlanjut hanya akan mempertebal radikalisme para pengunjuk rasa, yang kini tidak memiliki alternatif selain membela diri. (irib)