Konflik yang tidak kunjung selesai di Irak dan Afghanistan sudah jadi mimpi buruk, dan kini kemelut di Libya menambah parah semua itu serta mencuatkan kekhawatiran di Timur Tengah bahwa campur-tangan kaum liberal akan kembali ke wilayah tersebut.
Saat aksi perlawanan dan penindasan memecah Libya serta korban jiwa bertambah, teriakan perang mantan Presiden Amerika Serikat (AS), George W. Bush, dan mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, telah kembali menghantui wilayah yang mudah bergolak itu.
Para pemimpin Barat yang sama dan dengan senang hati mempersenjatai serta berbisnis dengan rejim pemimpin Libya Muamar Gaddafi sampai lebih dari dua pekan lalu kini malah menjatuhkan sanksi. Dengan ringan saja, mereka merujuk Gaddafi ke Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, lembaga yang justru tidak diakui oleh Amerika Serikat.
Sementara politisi AS dan Inggris mempercepat pembicaraan tentang zona larangan terbang, kapal perang AS telah dikerahkan ke Laut Tengah, timbunan senjata kimia diberitakan telah ditemukan, dan pasukan khusus telah siap beraksi. Italia juga telah membatalkan kesepakatan non-agresi dengan Tripoli lalu campur-tangan penuh militer Barat terhadap satu negara Arab tiba-tiba mengancam.
Perdana Menteri Inggris, David Cameron, yang didesak oleh para letnannya yang neo-konservatif, menurut laporan The Guardian pada 2 Maret, bertindak paling jauh. Perdana Menteri Inggris tersebut, yang baru saja melakukan perjalanan keliling untuk menjual senjata ke Teluk, dengan penuh gairah diberitakan berbicara tentang mempersenjatai pemrotes Libya.
Kini ada bahaya serius mengenai aksi bersenjata Barat di Libya. Tak seperti di wilayah lain, pembicaraan yang beredar di negara Afrika Utara itu bukan lagi mengenai pasukan keamanan berhadapan dengan demonstran tapi perpecahan antara kabinet dan militer, sementara banyak daerah di negeri tersebut berada di tangan pemrotes bersenjata.
Sementara Kolonel Gaddafi dan pengikut setianya memperlihatkan tanda tak mau tunduk, kemungkinan tersebut diperkirakan akan meningkatkan konflik. Kondisi tersebut, dari krisis kemanusiaan sampai ancaman pasokan minyak, jadi dalih yang bertambah kuat yang akan memberi lampu hijau bagi campur-tangan pihak luar.
Namun, setiap campur tangan akan menimbulkan resiko bencana dan jadi tikaman di jantung proses revolusi yang kini melanda dunia Arab. Campur-tangan militer, menurut politisi AS dan Inggris, "diperlukan" sebab Gaddafi "membunuhi rakyatnya sendiri".
Ratusan orang dipastikan telah menemui ajal, tapi itu belum tentu bisa dijadikan dalih untuk secara serius dijadikan alasan utama bagi campur-tangan.
Ketika lebih dari 300 orang tewas oleh pasukan presiden Mesir Hosni Mubarak dalam dua pekan, Washington menyerukan "penahanan diri oleh pengunjuk rasa dan pihak keamanan". Di Irak, 50.000 prajurit pendudukan AS "melindungi satu pemerintah" yang pada penghujung Februari membunuh 29 pemrotes damai yang menuntut pembaruan.
Di Bahrain, tempat Armada Kelima AS, kabinet yang berkuasa dilaporkan telah menembak dan menyebar gas terhadap pemrotes selama beberapa pekan, dengan menggunakan peralatan yang dipasok Inggris.
"Tanggung jawab untuk melindungi" yang diminta oleh orang yang menuntut campur-tangan di Libya dilaksanakan secara selektif sehingga kata munafik tak jadi keadilan.
Semua negara yang justru bertanggung jawab atas kematian ratusan ribu orang dalam perang tidak sah, pendudukan dan campur-tangan selama satu dasawarsa belakangan, selain pengurungan massal tanpa proses pengadilan, penyiksaan dan penculikan, bisa diberi hak istimewa oleh lembaga internasional untuk mencegah pembunuhan di negara lain.
Kenyataannya ialah negara Barat, yang telah mendukung pemimpin otokrat di seluruh Timur Tengah selama beberapa dasawarsa, sekarang menghadapi kenyataan mereka akan kehilangan kekuasaan di wilayah yang paling sensitif dan strategis di dunia akibat aksi perlawanan di dunia Arab dan kemungkinan pemerintah yang banyak wakil.
Mereka secara nyata bertekad untuk mendukung proses revolusi setiap kali ada peluang, dan membatasinya untuk perubahan kosmetik yang memungkinkan berlanjutnya pengendalian atas wilayah tersebut.
Di Libya, kabinet yang terpecah menawarkan permulaan penting. Yang lebih penting lagi, tak seperti Tunisia dan Mesir, negara itu memiliki hadiah strategis, cadangan minyak terbesar di Afrika. Rejim Gaddafi sendiri telah menelusuri jalan panjang sejak hari-hari pertama kekuasaannya di negara penghasilan minyak di Afrika itu, dengan mendepak pangkalan asing dan justru mendanai Kongres Nasional Afrika (ANC) di Afrika Selatan, saat AS dan Inggris mencap Nelson Mandela sebagai "teroris".
Selain penindasan, dugaan korupsi dan kegagalan untuk mengayomi rakyat biasa Libya, rejim tersebut telah lama juga bertekuk lutut pada negara Barat. Mantan perdana menteri Inggris Tony Blair dan teman-temannya sangat ingin merayakannya, dan merangkul sekutu lama serta ambisi nuklir dan pada saat yang sama menswastakan persetujuan serta kontrak dengan bank Barat, perusahaan senjata serta minyak, seperti BP.
Buka peluang
Sekarang prospek kejatuhan rejim Gadafi menawarkan kesempatan bagi keterlibatan yang jauh lebih erat. Dinas intelijen Barat diperkirakan "telah memainkan peran di kalangan oposisi Libya selama bertahun-tahun", ketika negara lain tampak terancam terlempar dari lingkaran kerajaan.
Libya sendiri memiliki sejarah mengenai perlawanan dan pendudukan asing. Sebanyak sepertiga pendudukan diperkirakan telah menemui ajal selama kekuasaan penjajah Italia.
Mereka yang menyerukan aksi militer Barat di Libya kelihatannya tak terganggu dengan kenyataan bahwa di seluruh dunia Arab, campur-tangan, pendudukan dan dukungan asing buat rejim yang berkuasa justru dipandang sebagai masalah buat wilayah tersebut.
Ikatan kuat dengan tuntutan bagi kebebasan demokratis adalah keinginan besar bagi kemerdekaan dan hak untuk memutuskan sendiri.
Itu jelas dalam reaksi di lapangan di Libya terhadap ancaman mengenai campur-tangan pihak asing. Seorang pemimpin milite yang memberontak di Benghazi, kota terbesar kedua di bagian timur Libya dengan 637.000 warga, Jenderal Ahmad Gatroni, sebagaimana dilaporkan media trans-nasional mengatakan AS mesti "mengurus rakyatnya sendiri, kami bisa mengurus diri kami".
Negara lain Arab juga diberitakan keberatan dengan campur-tangan militer Barat di LIbya, setelah mereka dikejutkan oleh serbuan pimpinan AS di Irak. Campur-tangan di Libya cuma menambah besar ekstremisme.
"Bangsa Arab memiliki kepekaan khusus ketika sampai pada masalah campur-tangan militer gara-gara pengalaman di Irak," kata Ibrahim Sharqieh, Wakil Direktur Brooking Doha Center, sebagaimana dilaporkan kantor berita AFP baru-baru ini. Ia merujuk kepada serbuan pimpinan AS di Irak pada 2003 dan pendudukan yang berlangsung hingga kini.
Pengalaman di Irak telah memperlihatkan kondisi yang tak membesarkan hati bangsa Arab dan malah mengakibatkan kematian terlalu banyak orang Arab.
Jadi, pendapat yang beredar kini adalah terlalu dini untuk ngomong tentang campur-tangan militer di Libya. Negara Arab dilaporkan percaya bahwa terlalu pagi untuk bicara tentang operasi militer Barat.
Jika bicara mengenai teori kemungkinan, maka Rejim Gaddafi bisa saja tumbang karena proses ke arah itu telah dimulai. Tapi, campur-tangan militer asing cuma akan menambah rumit keadaan dan bahkan jadi kontra-produktif.
antaranews.com