Hampir sepekan pasukan AS dan sekutu Eropa membombardir libya, negara kecil berpenduduk 6,4 juta jiwa namun punya cadangan minyak luar biasa banyak di perut buminya. Produksi minyak Libya mencapai 1,6 juta barrel per hari, dua kali lebih besar dari produk minyak Indonesia dengan penduduk 240 juta jiwa.
Hipotesis perang Libya yang berlangsung tak seimbang, ibarat gajah melawan semut, sehingga tak sulit ditebak bagaimana akhirnya: Perang Libya bisa bernasib sama dengan perang Irak tahun 2003.
Ya, tanda-tanda awalnya sudah kelihatan. Libya tak mampu melawan saat serangan udara perdana yang langsung menghancurkan sistem pertahanan militernya, Sabtu (19/3). Namun begitu, nasib pemimpin Libya Moammar Khadafi bisa tidak sama dengan almarhum Saddam Hussein yang ditangkap pasukan Amerika Serikat di lubang persembunyiannya dalam kondisi memprihatinkan, wajah penuh berewokan, lalu diproses pengadilan yang dibentuk rezim berkuasa Irak di bawah kendali AS, sehingga akhirnya Saddam syahid di tali tiang gantungan tahun 2006.
Jika tawaran kedua AS melalui Menlu Hillary Clinton Rabu (23/3) tetap tidak diterima, dalam hitungan hari mendatang Khadafi seperti halnya Saddam akan melihat dengan mata kepalanya sendiri dahsyatnya akselerasi invasi pasukan darat koalisi memasuki Tripoli, ibukota Libya. Khadafi dan rakyatnya pasti sedih karena kejatuhan dan kehancuran bangunan fenomenal yang dihasilkannya selama empat dekade memimpin negara kaya minyak itu.
Fakta menunjukkan saat invasi terhadap Irak --tepat delapan tahun lalu, persisnya 19 Maret 2003, hanya sehari saja perlawanan yang diberikan pasukan militer maupun loyalis Saddam Hussein, yaitu saat pasukan darat koalisi mendarat di bandara Baghdad. Setelah itu perlawanan Saddam menurun dan semakin surut. Perang saudara pun berlalu dengan semakin bercokolnya pasukan multinasional asing di Irak.
Kalau akhirnya Saddam tertangkap di persembunyiannya, tempat yang sama saat ia bersama rekan-rekannya menggulingkan PM Abdul Karim Qassim tahun 1959, maka nasib Khadafi masih tanda tanya besar. Akankah sama tragisnya dengan Saddam, atau punya strategi khusus dengan kisah lebih menarik, berupa perlawanan sampai titik darah penghabisan sebagaimana dijanjikannya saat pemimpin revolusioner kharismatik, bapak bangsa Libya itu turun ke lapangan menemui rakyatnya yang sudah dipersenjatai, Rabu lalu.
Membingungkan
Perlawanan rakyat Libya yang loyal pada Khadafi tampaknya bakal kompleks. Tidak hanya menghadapi pasukan koalisi dengan persenjataan lengkap, tapi mereka juga menghadapi para pemberontak anti-Khadafi yang disinyalir binaan garis keras Al-Qaeda. Hal yang disebut terakhir ini memang membingungkan masyarakat dunia. Di satu sisi, Khadafi keras memerangi terorisme, khususnya jaringan Al-Qaeda untuk menunjukkan dukungannya pada Amerika Serikat. Irak dan Afghanistan korban terorisme Al-Qaeda sehingga diserang habis oleh AS dan sekutunya. Namun di saat mereka punya kepentingan khusus, pasukan AS dan sekutu malah mendukung pasukan pemberontak Al-Qaeda memerangi Khadafi yang berjuang sendirian karena Liga Arab yang diharapkan membantu, malah berpihak pada sekutu.
Tak pelak lagi kepentingan ekonomi—pastilah karena ladang minyak Libya—menjadi faktor penyebab mengapa pasukan koalisi sampai mendukung jaringan Al-Qaeda untuk memerangi Khadafi. Pasti pula, pasca Libya ditaklukkan (Khadafi tumbang) nanti, pengelolaan minyak Libya berpindah tangan dengan negara-negara koalisi saling berebut meminta jatah—karena memang tidak ada yang gratis dalam invasi yang memakan biaya sangat besar hingga ratusan triliun itu sehingga pengelolaan dan ekspor minyak Libya pun segera beralih kepada kepentingan industri AS dan sekutunya. Sebagaimana kasus Irak, kontrak-kontrak lama segera diperbaharui oleh rezim baru bentukan asing.
Apakah pasukan pemberontak anti-Khadafi, apalagi mereka disebut berasal dari jaringan Al-Qaeda akan memperoleh keuntungan? Jawabnya, pasti tidak! Mereka akan gigit jari karena hanya dimanfaatkan saja untuk menggulingkan pemerintahan Khadafi setelah empat dekade berkuasa. Setelah pemerintahan beralih tangan, para pemberontak tetap tidak memperoleh bagian apa-apa, dan bakal sakit hati karena pasukan AS menjadi lawannya pula.
Nasib rakyat Libya ke depan pun semakin tak menentu. Kesejahteraan rakyat Libya yang tergolong lumayan bagus pada saat ini bukannya meningkat, tapi mengalami penurunan tajam akibat pergolakan politik yang dianginkan dan disupport Barat. Perang Libya hanya membuat rakyatnya menderita berkepanjangan.
Menunggu perlawanan
Di satu sisi, Khadafi patut dipuji karena tegas menolak tawaran Presiden Barack Obama untuk pergi meninggalkan negaranya tanpa sanksi atau proses pengadilan, yaitu beberapa saat sebelum dimulai bombardir. Tawaran itu ia tolak mentah-mentah, dan lebih memilih berjuang bersama rakyat Libya walau taruhannya nyawa demi harga diri dan kedaulatan bangsanya dari penjajahan neo-kolonialisme dan imperialisme Barat.
Namun di sisi lain, sepertinya tidak mungkin Libya melawan pasukan koalisi AS dan sekutu yang tergabung dalam NATO dalam pertempuran udara maupun darat. Pasti bakal banyak korban di pihak rakyat Libya. Di sinilah Khadafi seharusnya berani menunjukkan sikap teagsnya, heroismenya. Jangan menunggu lama lagi untuk membuat perhitungan pada musuh.
Sebagai tokoh kharismatik saya termasuk pengagum Khadafi yang tampil luar bisa berani bersama para pejuang lainnya mengusur penjajahan asing dari cengkeraman penjajahan Turki dan Italia ratusan tahun lamanya. Disayangkan sekali kalau ia tidak memberi ‘’fight’’ perang udara saat pesawat tempur musuh memasuki wilayah Libya demi mempertahankan kedaulatan wilayah udaranya yang dimasuki pesawat asing, sekalipun hasilnya sudah dapat diperkirakan bakal kalah, tapi semangat perjuangan membela bangsa itu penting ditunjukkan untuk membangkitkan rasa nasionalisme bangsa Libya di mata rakyatnya.
Andai Khadafi melawan, pujian akan mengalir deras padanya ketimbang bersembunyi dan entah kapan baru akan menunjukkan kehebatannya dalam perang udara maupun darat. Momentum menunjukkan heroisme itu sudah hilang.Pasukan koalisi sukses menjalankan skenario persis saat menaklukkan Irak dulu.
Ofensif pasukan koalisi AS dan negara-negara Eropa melepas ratusan rudal berhulu ledak dahsyat cukup efektif menghandurkan dan mematikan sejumlah sasaran kamp militer Libya, sebagaimana terlihat dalam lima hari serangan udara di sejumlah sasaran Tripoli. Kondisi Libya dipastikan akan semakin lemah dengan cara bertahan, defensif, tanpa kejelasan kapan berani melawan secara frontal. Semakin lama bertahan bukan semakin baik. Malah membuat Libya jadi bulan-bulanan pasukan koalisi.
Oleh karena itu saatnya Khadafi menunjukkan jati dirinya sebagai pemberani dari negara Arab untuk memberikan perlawanan sekuat tenaga tanpa mempertimbangkan kalah-menang. Dunia menunggu perlawanan macam apa yang bakal diperlihatkan loyalis Khadafi dan pendukungnya. Dan dunia Islam pasti berpihak pada Libya. Kalah-menang Khadafi akan dikenang sebagai pemimpin besar di kalangan anggota Liga Arab. Dunia Islam mendambakan Khadafi segera menjawab keangkuhan pasukan AS dan sekutu sehingga prediksi nasib Khadafi bakal sama dengan Saddam terbantahkan.
Sikap Indonesia
Lantas, bagaimana dengan sikap pemerintah Indonesia terhadap serangan pasukan AS dan sekutunya ke Libya? Jawabnya, serba tak jelas. Statement Menteri Luar Negeri Marty Nalategawa soal krisis dan serangan militer sekutu ke Libya dianggap para pengamat tidak menegaskan posisi Indonesia. Selain itu, pertimbangan yang dipergunakan pun dinilai hanya mencari posisi aman saja. Tentu sikap seperti itu tidak member manfaat buat bangsa Indonesia ke depannya.
Sekalipun cukup berat buat Indonesia untuk berpihak kepada Libya dan mengecam serangan militer AS plus sekutu karena hubungan terhadap kedua belah pihak yang berperang, namun posisi kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif bisa tetap dijalankan secara maksimal. Sikap RI dinilai pasif sehingga memunculkan keprihatinan. Seharusnya bisa bebas memberi masukan dan upaya jalan keluar yang elegan buat penyelesaian perang Libya.
Indonesia merupakan negara terbesar penduduk muslimnya sedunia, dan Indonesia punya posisi yang bagus di mata AS--khususnya Presiden Obama-- dan Libya, sehingga peran RI bisa dioptimalkan dalam mencarikan solusi damai di Libya.
Dengan kebijakan bebas aktif semestinya Menlu RI berani mengemukakan kebenaran walaupun hal itu pahit. RI bisa mengecam serangan yang tak terkontrol ke sejumlah sasaran pertahanan dan kompleks perumahan kediaman Khadafi, tapi juga mengecam sikap serangan Khadafi kepada kubu demonstran yang juga membabibuta sehingga mengambil banyak korban jiwa. Mengupayakan gencatan senjata dan menempuh perundingan bisa dimulai dari sekarang.
Penutup
Saatnya dunia Islam yang cinta Khadafi mendukung Libya agar berani melawan invasi AS dan sekutu sehingga ke depan kasus serupa tidak terulang dan terulang lagi di semanjung Teluk. Tidak boleh negara-negara maju seenaknya menjajah negara lain memaksakan kehendaknya dengan menyerang menggunakan mesin perang canggih seenaknya menimbulkan banyak korban di pihak warga sipil, sekalipun sudah ada izin berupa Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1973 yang disahkan 17 Maret 2011.
Harusnya, Resolusi DK PBB cuma dijadikan landasan buat menggertak Khadafi agar tidak menggunakan pesawat tempur melawan pendemo. Apalagi zona larangan terbang DK PBB sudah dipatuhi Libya yang mengira tidak akan digempur. Tapi, harapan itu tidak terbukti.
Pada momen seperti itu, semestinya Khadafi bersikap tegas, ‘’anda jual saya beli’’. Sayang, agenda Khadafi masih misteri. Semoga nasib Khadafi tidak sama dengan Saddam. Endingnya tragis!
Akhirnya, mari kita berkaca pada kepemimpinan Rasulullah SAW yang terbilang singkat, 23 tahun saja. Itu untuk kapasitas manusia sempurna. Khadafi dan para pemimpin lainnya seperti Mobarak, Ben Ali dll pastilah tidak sehebat dan sesukses Rasulullah memimpin rakyatnya, sehingga tidak perlu berlama-lama menjadi pemimpin karena regenerasi tidak bisa dibendung.
Saatnya kita introspeksi, kembali ke ajaran Islam, mengikuti petunjuk Al-Quran dan hadis. Kalau semua pemimpin mengacu pada model kepemimpinan Rasulullah masa 23 tahun bertahta sudah terlalu panjang. Seperti halnya era Presiden Soekarno dan Soeharto hanya pada 1-2 dekade saya bagus, setelah itu represif. Konstitusi kita saat ini sudah membatasi periode Presiden RI hanya dua kali menjabat, atau 10 tahun, itu positif! Jangan diutak-atik lagi.(waspadamedan)