Gelombang protes anti rezim Muammar Khadafy di Libya tidak lagi hanya sekadar teriakan dan baku hantam di jalan, namun sudah melibatkan muntahan peluru yang ditembakkan dari senapan para milisi, pasukan keamanan dan pesawat tempur,
Menurut kantor berita Associated Press, situasi di Ibukota Tripoli sejak akhir pekan lalu sudah menjadi medan tempur. Dari puncak-puncak gedung, sejumlah penembak jitu secara acak mencari mangsa ke arah kerumunan massa yang berdemonstrasi menentang Khadafi di Lapangan Hijau dan sekitarnya.
Menurut para pemrotes, mereka berhadapan dengan milisi pro Khadafi yang berkeliaran dengan senjata api di mobil bak terbuka. "Mereka berkendara seperti orang gila yang mencari seseorang untuk dibunuh. Ini benar-benar suasananya sudah kacau," kata seorang pemrotes berusia 28 tahun.
"Tembak-menembak terdengar di ibukota sepanjang malam," kata Adel Suleiman, seorang warga Yordania yang menjadi penasihat gubernur bank sentral Libya di Tripoli, Senin 21 Februari 2011.
Jumlah korban tewas dalam satu pekan terakhir pun belum bisa dipastkan. Namun sejumlah kelompok seperti Human Rights Watch yakin bahwa nyawa lebih dari seratus jiwa telah melayang sejak Libya bergolak.
Seorang warga bernama Mahmoud Shawkat mengaku melihat langsung seorang tetangganya ditembak di kepala selama protes di Lapangan Hijau. "Saya tidak yakin apakah masih hidup atau sudah mati," kata Mahmoud, yang bergegas ke bandar udara untuk menyelamatkan diri.
Selain mengerahkan milisi bersenjata, rezim Khadafi juga memerintah militer untuk menumpas para demonstran. Menurut harian The Washington Post, sejumlah pesawat dan helikopter melontarkan tembakan dari langit ke arah para demonstran.
Namun, tidak semua personil militer mematuhi perintah dari rezim Khadafi. Dua orang kolonel malah melarikan pesawat jet Mirage ke Malta setelah diperintah untuk mengebom posisi-posisi massa demonstran di Kota Benghazi, pusat pergolakan yang telah berlangsung selama satu pekan.
Kedua pilot itu tidak mau melaksanakan perintah kejam itu. Mereka justru lari ke luar negeri dan meminta perlindungan dari pemerintah Malta.
Putra Khadafi, Seif al-Islam, khawatir negaranya terancam perang saudara bila demonstrasi anti rezim ayahnya itu terus berlangsung. Kekhawatiran itu sangat beralasan.
Libya merupakan negara yang masih terpecah-pecah. Negeri di Afrika Utara itu masih menyimpan rivalitas lama antara suku di Tripoli dan Benghazi. Sistem kekuasan yang diterapkan Khadafi, sejak memimpin Libya pada 1969, adalah "Jamahiriya"" atau "aturan rakyat."
Sistem kekuasaan ini sangat desentralistis dan dikelola oleh "komite-komite populer" melalui hirarki yang rumit. Sistem ini menandakan bahwa tidak ada institusi yang menjadi pusat pengambilan kekuasaan kecuali Khadafi, putra-putranya, dan pejabat-pejabat mereka.
Namun, saat rezim Khadafi sendiri tengah digugat, situasi di Libya pun rentan dilanda perang saudara. Menurut Lisa Anderson, pengamat dari American University di Kairo, rezim di Libya itu tidak seperti di Tunisia dan Mesir, yang berhasil dijungkalkan tanpa kontak senjata skala besar.
Menurut Anderson, situasi di Libya bisa lebih berbahaya. "Tidak seperti jatuhnya rezim di Tunisia dan Mesir, kejatuhan di Libya ini berpotensi mengarah kepada perang saudara," kata Anderson.
vivanews