Front Pembela Islam (FPI) akan melaporkan 28 majalah hiburan ke Polda Metro Jaya. Menanggapi rencana FPI ini. Dewan Pers menilai pelaporan itu merupakan hak FPI.
"Silakan saja itu hak mereka. Kami berharap mereka menggunakan Undang-Undang Pers karena yang dilaporkan adalah produk pers," kata Wakil Ketua Dewan Pers Bambang Harymurti.
Bambang sekali lagi menegaskan, sebaiknya FPI mencantumkan Undang-Undang Pers dalam dasar laporannya. Bagaimanapun juga, 28 majalah hiburan itu merupakan produk dari jurnalistik.
Maka itu, jika nantinya laporan itu berujung ke pengadilan, Dewan Pers berharap para hakim juga akan menggunakan Undang-Undang Pers sebagai dasar pertimbangan.
Bambang sebenarnya menyayangkan pelaporan produk pers kepada kepolisian. Menurut dia, kriminalisasi pers ini akan memperburuk citra Indonesia di muka dunia terkait dengan kebebasan pers.
Indonesia sendiri saat ini berada di urutan 101 dari 200 negara untuk kategori kebebasan pers. "Saya khawatir peringkat Indonesia akan turun lagi apalagi dengan adanya dua wartawan terbunuh dalam menjalankan tugas," jelas mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo ini.
Sebelumnya, Ketua Umum FPI Habib Rizieq Syihab, berencana kembali melaporkan 28 majalah hiburan ke Polda Metro Jaya. Pasalnya, Rizieq menilai dalam media-media itu memuat materi dengan unsur pornografi.
FPI menilai 28 majalah itu ada di ranah pidana sehingga dapat dijerat dengan KUHP, sebagaimana halnya Majalah Playboy Indonesia. FPI sendiri, telah memiliki cukup bukti untuk mempidanakan 28 majalah itu.
Sebenarnya FPI sendiri telah melaporkan 28 majalah tersebut kepada Polda Metro Jaya pada tahun 2004. "Majalah-majalah itu bukan produk pers, tapi produk porno," kata Rizieq Kamis kemarin.
Wakil Ketua Dewan Pers Bambang Harimurti di Jakarta, mengatakan pada hari Kamis, majelis hakim seharusnya menggunakan Undang-Undang Pers dalam memberikan vonis kepada pemimpin redaksi majalah Playboy Indonesia karena majalah tersebut merupakan produk pers.
Penggunaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam menyelesaikan masalah pers sangatlah tidak tepat karena KUHP, kata Bambang, sudah sangat lama dan banyak pasal-pasal yang ada dalam KUHP tidak sesuai dengan reformasi dan kebebasan pers.
Sebelumnya, pemimpin redaksi majalah Playboy Indonesia ini pernah dinyatakan bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2007 lalu. Namun di tingkat kasasi, hakim Mahkamah Agung memvonis Erwin Arnada dengan hukuman dua tahun penjara karena melanggar pasal 282 KUHP mengenai tataran kesusilaan.
Bambang Harimurti mengecam vonis tersebut dengan mengatakan keputusan tersebut merupakan sebuah bentuk kriminalisasi pers. "Dalam sidang-sidang di pengadilan negeri itu, sebetulnya anggota Dewan Pers yang menjadi saksi ahli mengatakan Playboy sebagai produk pers. Kebetulan saja namanya Playboy sehingga diasosiasikan dengan majalah porno," ujar Bambang.
Padahal, tambah Bambang, Playboy terbitan Indonesia sopan dan bisa dikategorikan sebagai produk pers biasa. "(Sehingga) harusnya dikenakan pasal-pasal di Undang-Undang Pers," kata Bambang.
Atas putusan Mahkamah Agung tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Yusuf mengatakan akan segera melayangkan surat panggilan kepada Pemred majalah Playboy Indonesia Erwin Arnada agar menyerahkan diri. Jika Erwin tidak datang, kata Muhammad Yusuf, maka Kejaksaan akan mengupayakan pemanggilan paksa.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers Hendrayana mengatakan banyaknya hakim yang tidak menggunakan undang-undang pers dalam menangani kasus pers, dikarenakan kurang mengertinya mereka tentang arti kebebasan pers.
Selain itu menurut Hendrayana, para hakim tersebut juga kurang mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa di pers.
"Sehingga kadangkala hakim dalam mengadili perkara sengketa pers di pengadilan menyamaratakan dengan kasus-kasus pidana lainnya, dengan kasus-kasus perdata pada umumnya."
Minimnya pengetahuan hakim dalam memutuskan perkara pers juga diakui oleh Hakim Agung Andi Abu Ayyub Saleh. Dalam menyelesaikan kasus pers kata Andi para hakim masih sering mengacu pada KUHP.
"Yang ada, karena penguasaan fakta itu, pandangan masing-masing penegak hukum berbeda. Seharusnya kalau kita bertolak dari perumusan delik pers, jelas ada," menurut Andi. (Suaramedia.com)