Apakah mungkin untuk membuat 4,000 Masjid di Kairo semuanya menyanyikan nada yang sama?
Itulah yang berusaha dicapai oleh pemerintah Mesir, memulai sebuah proyek ambisius pada hari Kamis (12/8) untuk menyatukan pengaturan waktu dan suara adzan di seluruh penjuru kota yang berpenduduk 18 juta jiwa ini.
Proyek yang telah dirancang selama enam tahun ini dimaksudkan untuk dimulai di daerah pinggiran utara Kairo pada hari Rabu (11/8), hari pertama bulan suci Ramadan, tapi terjadi kesalahan sistem dan gangguan komunikasi yang menundanya satu hari.
"Warga Mesir punya masalah dengan pengaturan waktu," ujar Sheikh Salem Abdul Galil, pejabat di Kementerian Penegakan Agama, yang paling mendorong maju proyek itu.
"Tujuan kami adalah untuk secara akurat menetapkan waktu sholat agar dikumandangkan adzan pada saat yang bersamaan dari setiap Masjid, dan untuk mengendalikan kualitas suara yang mengumandangkannya," ujar pejabat Galil.
Seperti di kota-kota padat penduduk lainnya, kumandang adzan di Kairo adalah proyeksi dari berbagai macam suara yang bersahut-sahutan dengan kacau pada waktu yang berbeda-beda.
Meskipun secara teknis seorang muazin seharusnya memiliki suara yang indah, banyak dari muazin Kairo yang bersuara sumbang.
Proyek senilai 175,000 dolar itu akan melengkapi setiap Masjid dengan penerima (receiver) yang akan menyiarkan satu adzan dari sebuah studio di tengah kota. Abdul Galal mengatakan setiap Masjid di kota harus masuk sistem di akhir bulan Ramadan.
"Kita berada di era laptop dan komputer, teknologi sudah maju dan lebih teratur daripada manusia," ujarnya.
Kota- kota di Syria, Uni Emirat Arab, dan Turki, semuanya berhasil menerapkan semacam adzan tunggal, tapi di Kairo ada tantangan tambahan yaitu ribuan Masjid yang tak terdaftar.
Untuk mengambil keuntungan dari keringanan pajak, banyak pemilik bangunan yang mengubah satu ruangan kecil di tempatnya menjadi sebuah Masjid, yang juga dikenal sebagai zawya, dengan pengeras suara besar.
Namun, bagi banyak muazin, proyek itu berarti hilangnya mata pencaharian dan prestise karena dalam beberapa kasus mereka menurun menjadi hampir seperti pengurus Masjid biasa.
"Orang-orang di Masjid akan bersaing mengumandangkan adzan dan menemukan kesenangan dalam melakukannya, dan kami akan merampas dari orang-orang praktik yang bermanfaat ini," ujar Sheikh Youssef Salah, yang memimpin sholat di Masjid Al Noor di kawasan Imbaba.
"Masjid kami pasti akan kehilangan sebagian semangatnya dan akan mengurangi kepribadian kota kita ini," ujarnya. Di abad pertengahan, Kairo terkenal sebagai kota seribu menara dan terkenal akan keragaman adzannya.
Kelompok konservatif agama juga mengatakan bahwa proyek itu sia-sia dan menentang Islam karena merusak ritual lama.
"Nabi Muhammad tidak pernah memerintah orang untuk menyatukan adzan di Madinah, jadi kenapa kita tidak bisa melakukannya di Kairo?" ujar Sheikh Youssef Al Badri, seorang konservatif yang terkenal akan gugatan-gugatan hukumnya yang terinspirasi agama.
Abdul Galil menepis kritikan itu sebagai pemikiran yang sempit, mengatakan bahwa Mesir adalah tempat yang sulit untuk berubah karena pemikirannya yang konservatif.
"Ini adalah orang-orang yang sama yang dulu mengatakan bahwa televisi merupakan inovasi anti-Islam dan sekarang mereka menggunakan televisi untuk menyebarkan pesan-pesan ekstrim," ujar Abdul Galil.
Beberapa kritikus khawatir pemerintah Mesir juga akan mencoba mengontrol khotbah Jumat di masa depan. Sebuah tuduhan yang dibantah oleh kementerian.
Kekhawatiran lebih lanjut dari para oponen adalah masa depan ribuan muazin, yang secara tradisional memberikan setiap Masjid sebuah suara individual melalui lantunan adzan mereka.
Mereka bangga dengan pekerjaan itu, menjadi seorang relijius yang dapat melantunkan setiap huruf Al Quran dengan suara sebening kristal.
Jumlah mereka akan dikurangi hingga hanya 30 orang, dipilih dari ratusan pelamar.
Kementerian mengatakan mereka yang tak terpilih akan diminta melakukan tugas lain di Masjid.
Sayyid Hammad, salah satu insinyur yang bertanggung jawab menyesuaikan sistem penerima di Masjid-masjid, mengatakan bahwa sebagian besar umat yang taat menentang rencana pemerintah tersebut.
"Mereka menganggap ini bertentangan dengan semangat Islam. Mereka terbiasa mendengar suara-suara muazin dari seluruh penjuru kota. Akan membutuhkan waktu untuk terbiasa dengan rencana baru ini," jelasnya. (Suaramedia.com)