Mari kita dahulukan dulu pemahaman: entah Ariel Peterpan, oknum mirip Ariel, atau siapa pun yang menjadi pelaku video porno paling menggegerkan negeri ini sepanjang sejarahnya itu, tidaklah itu berada dalam posisi yang harus kita bela perilaku atau kasusnya.
Ariel atau entah siapa itu, terlalu murah untuk exposure luar biasa yang menghabiskan tidak hanya berlembar-lembar halaman koran, majalah, tabloid, tapi juga berjam-jam waktu di televisi dan radio, atau layer situs-situs di web-internet. Artinya, terlampau mewah jika kita, ratusan juta manusia, di dalam dan luar negeri, mengerahkan semua itu di atas, uang, energi, perhatian, dan air ludah hanya untuk seorang ”Ariel” dengan beberapa ”mirip artis” di kasus video porno. Kemewahan itu harus dibayar untuk urusan yang lebih besar, yakni: memandang diri kita sendiri, jutaan manusia ini, dari kasus sepetak bernama ”video-ariel” itu.
Pandangan yang sifatnya reflektif ini sesungguhnya sederhana jika kita tidak gelap mata hanya memandang kasus itu di permukaan masalahnya saja, tapi juga di beberapa lapisan pemaknaan di bawahnya. Katakanlah dimulai dengan pertanyaan: mengapa kasus ini menjadi begitu gigantik untuk negeri yang sesungguhnya tengah menghadapi begitu banyak soal besar, yang lebih urgen? Jawabannya ada di lidah Anda masing-masing, di kebenaran yang Anda klaim masing-masing; bukankah dunia liberal sekarang adalah permisi bagi siapa pun untuk mengklaim kebenaran-kebenarannya sendiri (yang parsial, individual bahkan)? Namun, secara umum, sekurangnya ada tiga faktor penyebab.
Pertama, karena ”Ariel” dan ”artis-artis mirip” lainnya itu adalah figur idola, figur kesayangan publik, bahkan mungkin––di sini salah kaprahnya publik––mereka juga adalah figur ideal atau ideal type. Dalam posisi itu, kita memosisikan mereka dalam imajinasi, idealisasi atau dunia khayal kita tentang manusia dengan kualitas yang hendak kita capai. Betapapun kita tahu itu sulit, bahkan hampir tidak mungkin. Semua itu menjadi rusak serta hancur dengan hadirnya video porno itu. Kehancuran yang juga melumatkan mimpi, dunia ideal yang susah payah kita bangun. Bagi kita, manusia Indonesia, rupture semacam itu menjadi tragis dan fatal.
Tinggal dunia khayal, mimpi, atau ide yang obsesif itulah yang tersisa dari daya kemanusiaan kita, yang habis-habisan didera frustrasi sosial akibat beban hidup. Kedua adalah keterlibatan–– seolah––tak terhindar dari media (massa). Sebagaimana media merasa hal ini sudah menjadi nalurinya, ”video-ariel” itu dilempar ke meja perjudian bisnis pengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui pembentukan atensi masyarakat yang sangat luas, lewat cara pembesaran (amplifying) isu yang berlebihan. Meluasnya kapasitas dan jenis media, baik secara horizontal maupun vertikal, mulai dari telepon seluler hingga medium-medium virtual, e-mail, milis, Facebook hingga Twitter kian menggandakan pembesaran di atas.
Penyebab kedua itu segera ditangkap dengan tangkas oleh para petinggi politik, hukum, ekonomi, akademik, agama, dsb––mereka-mereka yang sebenarnya berada di seputar “meja perjudian” itu–– untuk dijadikan komoditas atau kurs taruhan yang dapat mempertinggi posisi kekuasaan, popularitas atau akseptabilitas mereka. Mungkin sesungguhnya, betapapun faktor pertama di atas nyata ada, dua faktor terakhir inilah yang menjadi trigger utama terbentuknya perilaku modern dunia urban kita. Permainan yang sesungguhnya berputar di atas meja atau bangunan hologramik dari realitas hidup kita sebenarnya.
Selimut Kemunafikan
Maka jadilah kemudian, isu “video-porno” itu berpilin dan bermetamorfosis bentuk serta sifatnya, melampaui kodrat naturalnya: satu keisengan anak muda. Metamorfosis yang artifisial ini (karena dua faktor di atas), tidak kita sadari menjadi selimut dari kenyataan atau kesejatian diri kita sebenarnya, sebagai manusia, sebagai sebuah bangsa. Sebuah refleksi yang selalu luput kita jumput ketika cermin hidup dihadirkan berulang kali dalam hidup kita, lewat tragedi, bencana, kejahatan, dll.
Jika selimut atau karpet itu kita buka, kita akan melihat diri kita sesungguhnya, yang mungkin kotor, berdebu, bau, bahkan mungkin bernajis. Kenyataan-nyata (the real-reality) ini bagaimana membantahnya jika semua merupakan fakta, yang kita ketahui, coba kita maklumi, dan akhirnya kita terima, dengan diam-diam dan rasa malu yang ditekan habis-habisan? Katakanlah perilaku pornografis, perselingkuhan, penyelewengan seksual, tidakkah kita tak mampu menolak telah menjadi bagian yang integral dari perikehidupan kita belakangan ini? Berbagai kasus terbuka selama ini, menyangkut berbagai public figure, pejabat, pengusaha, artis, bahkan ulama, bahkan sesepuh di kampung kita, atau mungkin orang tua atau salah satu kerabat kita.
Bukankah kita tahu, pentas-pentas porno terjadi di mana saja, kapan saja, bahkan di sudut-sudut negeri kita. Lihatlah berbagai pentas dangdut di berbagai kota dan desa. Tahukah Anda, bahkan di sebuah kota yang begitu ketat terapan agamanya, sebuah pentas dangdut terbuka––dengan banyak anak menikmatinya––ada tarian telanjang (bulat) di tengahnya. Bahkan lebih dari satu orang. Betulkah Anda tidak tahu, bila lebih dari 50 persen dari remaja kita (SMP dan SMA), bukan hanya sudah mencoba-coba hubungan seksual, tapi bahkan telah melakukan hubungan fisik (intercourse)?
Tidakkah kita membaca sendiri riset dari KPAI yang mengatakan 80 persen anak-anak pernah menonton ”video-ariel”, yang artinya, mereka pun memiliki akses dan juga menonton kepornoan-kepornoan lain yang disebarkan oleh media yang sama? Apa sebenarnya yang terjadi saat kita menghujat, menilai, menghakimi, dan menghukum “Ariel dkk” untuk sebuah kenyataan yang juga hidup di sekeliling kita sehari-hari? Adakah ini sebuah skizofrenia kultural yang berimbas pada dunia moral, relasi sosial, atau ideal-ideal kita bersama? Tidakkah ini semacam ambiguitas kita mencela korupsi habis-habisan, tapi membiarkan koruptornya hidup damai, bahkan banyak yang kita junjung, kita pilih menjadi pemimpin kita sendiri? Betapa terang refleksi kultural yang dipantulkan cermin “video-ariel”.
Refleksi Diri
Secara ringkas, refleksi itu memberi tahu kita tiga hal penting tentang diri kita sendiri. Pertama, ”video-ariel” menjadi semacam pispot bagi kemarahan kita yang–– bukan kali ini saja––mengalami keruntuhan idealisme, mimpi, dan imajinasi karena semua itu telah dikhianati dan bahkan dibunuh beramai-ramai oleh mereka yang kita percaya, kita beri mandat dan wewenang, kita beri fasilitas dan uang. Kedua, ”video-ariel” menjadi selimut atau tempat persembunyian yang mengamankan perilaku degil kita sendiri atau sekurangnya “pembiaran” yang kita lakukan terhadap penyimpangan-penyimpangan moral semacam, yang kian menggila belakangan ini.
Dengan menghujat, mengadili, menghakimi, bahkan memberi ”Ariel dkk” hukuman, kita seperti melakukan ”penyucian diri” (semacam ”penyucian uang” juga), agar citra citra baik kita secara tradisional masih––seolah-olah––bisa kita pertahankan. Dalam konteks ini, sesungguhnya menggelikan kebijakan yang diterapkan tiga daerah utama Indonesia di Jawa dan Sulawesi yang mem-banned ketiga artis itu, bahkan pemimpinnya mengatakan, “Silakan ketiga orang (mirip artis itu––pen) mencari pekerjaan lain.”Kebijakan yang sesungguhnya melanggar semua asas keadilan, kesamaan hukum, dll, ketika belum ada keputusan hukum bagi ketiga artis itu. Terlebih keputusan sembrono yang dilakukan pejabat lokal yang mencabut KTP Ariel, seolah dia sudah mencabut hak hidup Ariel, hak kewarganegaraannya.
Satu hal absurd, bahkan kalaupun pengadilan sudah memutuskan seseorang bersalah. Ketiga, kita pun menjadi saksi bagaimana para petinggi, hingga di tingkat tertinggi, bereaksi keras soal ini. Satu sikap mental yang tidak bertanggung jawab karena menggunakan kealpaan publik ini untuk juga alpa pada persoalan yang sebenarnya terpendam. Mereka tidak mendorong publik untuk berefleksi atau mengontemplasi kasus ini untuk perbaikan moral dan perilaku. Sebuah kealpaan yang dengan mudah digunakan untuk memberi selimut kasus-kasus besar lain dalam soal politik, ekonomi, hukum, dan lainnya. Semua refleksi di atas semestinya membuat kita lebih proporsional menghadapi kasus atau hidup kita sendiri.
Over-exposure yang kian tidak proporsional sebaiknya menyadarkan kita akan semakin dalamnya kita tenggelam di jurang psikopati kultural kita, bangsa yang sakit jiwa permanen. Melatih kita bukan hanya menjadi pribadi atau bangsa yang ambigu atau munafik, tapi juga bangsa yang semakin kabur dan gelap melihat persoalan kita sebenarnya. Sebagaimana banyak, banyak sekali dari kita, yang salah kira menanggapi persoalan mutakhir kita.
Soal Bank Century, Sri Mulyani, Aburizal Bakrie, Setgab, Gayus Tambunan, sepak bola, dan sebagainya. Maka mari menjadi sabar dan belajar ambil jarak agar kita mampu berefleksi dan mengontemplasi sehingga yang kita dapatkan adalah substansi, bukan sensasi. Sehingga, dengan itu, semoga kita terhindar menjadi “Ariel” yang lain.(okezone)
Radhar Panca Dahana
Budayawan