Dalam sebuah pernyataannya, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kapolri dengan bangga menyampaikan hasil penilaian audit reformasi birokrasi Polri yang positif, Kamis (3/6/2010).
Berdasarkan penilaian Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, indeks kinerja Polri mencapai 3,85, dari skala 1 sampai 4. Sebuah kado yang amat manis sebelum HUT ke-64 Bhayangkara.
Namun, di luar markas mereka, sebenarnya publik sedang ”memendam bara” pada institusi ini. Setelah tahun lalu dinilai berkontribusi langsung terhadap pelemahan Komisi Pemberantasan Ko- rupsi (KPK), hasil investigasi majalah Tempo pekan ini menemukan catatan yang mengejutkan tentang kekayaan para jenderal polisi.
Lima jenderal disebut terkait dengan transaksi keuangan mencurigakan. Di Polri sendiri, 21 perwira sedang ditelusuri. Masyarakat punya cara tersendiri ”merayakan” ulang tahun Polri ini. Jumlahnya tak sedikit, mulai Rp 1,59 miliar hingga Rp 54 miliar. Bahkan, dari keterangan resmi pihak Mabes Polri sendiri, salah satu jenderal dengan kekayaan fantastis itu berkontribusi membangun salah satu perkantoran di kawasan Mabes Polri.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pun melaporkan salah satu dugaan gratifikasi terkait rekening mencurigakan tersebut pada KPK. ICW mencoba memotret dan melihat hubungan kausalitas antara aliran uang total Rp 95 miliar, pihak pemberi, dan kasus yang sedang ditangani.
Tenyata, kekayaan yang dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) berbeda dengan data yang ditemukan. Pemberitaan tentang rekening perwira polisi dan laporan ICW tersebut tentu akan mengusik ”kenyamanan” di institusi kepolisian.
Akan tetapi, kita perlu bantah secara tegas pernyataan Divisi Humas Mabes Polri yang kurang lebih menyatakan 400.000 polisi tersinggung dengan pemberitaan tersebut. Karena hal ini justru semakin menempatkan polisi sebagai lawan jutaan masyarakat yang ingin kepolisian berbenah dan membersihkan segala noda di institusinya.
Lebih dari itu, kami yakin, sebagian besar anggota kepolisian merindukan rumahnya yang bersih. Di sisi lain, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebenarnya pernah melansir informasi tentang transaksi janggal tersebut. Tidak hanya terkait dengan para perwira kepolisian.
Dari tahun 2003 hingga Maret 2010, sebenarnya ada 2.118 transaksi keuangan mencurigakan dan 1.094 hasil analisis yang diserahkan PPATK kepada Kepolisian. Namun, penyelesaian ribuan laporan tersebut tidak jelas hingga saat ini. Padahal, data tersebut sangat riskan menjadi ”alat” praktik pemerasan dan mafia hukum.
Dengan demikian, persoalan yang sedang dihadapi bukanlah sekadar masalah pribadi para jenderal yang kekayaannya terkuak ke publik. Bukan pula urusaninternal kepolisian. Akan tetapi, itu sudah menjadi masalah bangsa.
Betapa tidak, kepolisian diragukan mampu memberantas korupsi dan memerangi mafia hukum. Sementara, sejumlah perwira tinggi justru disebut mempunyai kekayaan yang tidak masuk akal dibandingkan dengan penghasilan yang sah (illicit enrichment).
Presiden ”tak hadir”
Problematika di institusi kepolisian tentu bukan hanya soal rekening mencurigakan. Sederet persoalan mulai dari dugaan rekayasa proses hukum dan kriminalisasi pimpinan KPK merupakan satu simpul yang tidak mungkin dengan mudah dilupakan masyarakat.
Demikian juga dengan terungkapnya praktik mafia hukum di balik penanganan kasus Gayus HP Tambunan. Sejumlah penyidik dan perwira disebut terkait kasus itu. Masalah ini menjadi semakin kronis ketika pihak Kepolisian justru menghadapinya dengan resistensi yang berlebihan.
Dalam kasus Susno Duadji, misalnya, alih-alih membongkar inti perkara dan menjerat aktor utama, justru Susno yang dijadikan tersangka dan kemudian ditahan. Perlindungan LPSK juga ditolak. Laporan ICW pun ditanggapi dengan nada ”ancaman”, tepatnya ketika muncul respons akan memidanakan pelapor dan menjerat para pembocor LHA. Dan, bukan tidak mungkin majalah Tempo akan mengalami nasib serupa.
Respons yang berlebihan dan cenderung anti-reformasi ini menunjukkan bahwa persoalan di institusi kepolisian tidak mungkin diselesaikan oleh lembaga itu sendiri. Perlu kekuatan dan komitmen politik yang lebih besar untuk membenahi institusi tersebut.
Di titik inilah seharusnya Presiden berperan penting. Sayangnya, potret mafia di institusi penegak hukum di bawah kekuasaan eksekutif justru menjadi cermin kerja kepala pemerintahan itu sendiri.
Deretan masalah di institusi kepolisian saat ini merupakan bukti ”tidak hadir”-nya Presiden selama lima tahun pemerintahan sebelumnya dalam reformasi kepolisian. Dibandingkan dengan pidato dan pernyataan Presiden soal komitmen pemberantasan korupsi dan perang terhadap mafia hukum, sesungguhnya kita menemukan deretan kata yang kosong.
Bahkan, pembentukan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum pun hampir tak berarti jika Presiden tidak melakukan sesuatu yang konkret terhadap Kepolisian. Di sisi lain, Kapolri dan jajarannya diharapkan tidak menyulut kemarahan publik yang lebih luas.
Pernyataan dengan nada ancaman akan memidanakan, menggugat, dan menekan pihak yang coba mengungkap skandal di tubuh kepolisian hanya akan memperburuk citra institusi ini. Rakyat butuh institusi kepolisian yang bersih.
Walaupun, menurut Gus Dur, polisi yang jujur hanyalah almarhum Hoegeng, ”polisi tidur”, dan patung polisi, sesungguhnya yang kita rindukan bukan tipe ”polisi tidur” yang bikin masalah di jalanan.
Selamat HUT Ke-64 Bhayangkara!
*Febri Diansyah Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW); Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan