MOSKOW – Presiden Rusia Dmitry Medvedev mendesak kedua negara tetangga, Korea Selatan dan Korea Utara, agar menahan diri, bisa menemukan jalan damai, dan dapat keluar dari krisis.
Dia juga mengirimkan sekelompok ahli untuk menyelidiki serangan torpedo yang telah mengakibatkan krisis saat ini.
Ketegangan memuncak setelah sebuah investigasi internasional menyimpulkan bahwa sebuah torpedo Korea Utara menenggelamkan kapal perang Korea Selatan pada bulan Maret lalu, menewaskan 46 orang anak buah kapal, sebuah tudingan yang dibantah keras Pyongyang.
Perseteruan antara Korut dan Korsel memang bukan hal baru, tapi hubungan kedua negara tersebut mencapai titik terendang dalam bertahun-tahun, menyebabkan peringatan internasional mengenai apa yang mungkin terjadi.
Seoul memutus hubungan dagang dan menginginkan dijatuhkannya sanksi PBB. Pyongyang membalas dan telah memutuskan semua hubungan dengan Korsel, dan mengatakan pihaknya akan membalas tindakan macam apa pun.
Perang anara Korut dan Korsel terjadi hampir 60 tahun lalu. Kekejamannya diingat benar oleh veteran seperti Yuri Baushev, yang mengatakan bahwa sejarah semacam itu tidak boleh terulang.
“Saya melihat orang-orang yang setengah hidup, pakaian mereka terbakar karena bom api. Pemandangan mengerikan, mengerikan. Anda melihat kengerian yang dialami orang-orang,” katanya.
Jika terjadi perang hari ini, tambah Baushev, akan terjadi tragedi yang bahkan tidak bisa dibayangkan dunia.
“Ini tidak akan menjadi perang antara Korea Selatan dan Korea Utara, tapi juga (perang) negara-negara lain yang punya kepentingan dalam perang ini,” katanya.
“Saya rasa baik China maupun Korea tidak tertarik dalam hal ini, tapi ada negara-negara yang ingin mematahkan leher mereka. Negara mana? Saya tidak mau bilang. Biar politisi yang melakukannya.”
Yan Kanov, veteran lain yang pernah berperang di Korea, mengatakan bahwa konflik tersebut akan menjadi bencana dengan proporsi global.
“Konflik ini tidak boleh dibiarkan berkembang,” kata Kanov kepada kantor berita RT. “Masing-masing kubu harus duduk di meja perundingan, Korea Selatan dan Utara. Pertumpahan darah lain tidak boleh dibiarkan terjadi. Jika waktu itu ada sekitar 20 negara yang berpartisipasi dalam perang, kali ini konflik (Korea) akan menarik banyak negara.”
Korea Utara yang terasing, yang diasingkan oleh sebagian besar komunitas dunia, menuding negara tetangganya sebagai boneka Washington. AS kemudian menganjurkan respon internasional terkait penenggelaman kapal tersebut.
Yang diperlukan adalah ketenangan, kata Lawrence Korb, mantan asisten menteri pertahanan AS yang merupakan staf senior Pusat Perkembangan Amerika.
Namun, kepala Pusat Penelitian Globalisasi, sebuah organisasi think tank independen Kanada, mengklaim bahwa kesan bahaya dari Korea Utara terlalu dilebih-lebihkan.
Michel Chossudovsky mengatakan Korea Utara lebih merupakan sosok mangsa dibandingkan pemangsa.
“Media internasional menggambarkan Korea Utara sebagai ancaman keamanan dunia, tapi sama sekali tidak ada bukti mengenai hal itu. Di sisi lain, Korea Utara adalah satu-satunya negara di muka bumi ini yang telah kehilangan hingga seperempat penduduknya dalam sejarah modern (dalam Perang Korea, ketika populasi Korea Utara disapu oleh bom-bom AS),” kata Chossudovsky kepada RT.
Bagaimanapun, para pemimpin dunia tidak terlalu senang dengan ancaman yang diperlihatkan Pyongyang. Korea Utara telah melakukan uji coba bom nuklir dan menembakkan peluru kendali jarak jauh, memicu kekhawatiran internasional.
Pyongyang juga mengancam melakukan aksi militer terhadap Korsel, mereka mengklaim Angkatan Laut Seoul menerobos batas perairan Laut Kuning yang disengketakan.
sumber: suaramedia