NEW YORK – Seorang pejabat senior AS berusaha berusaha memutarbalikkan peranan Iran secara negatif dalam konferensi peninjauan NPT yang dihelat di kota New York.
Pada hari Jumat, direktur perencanaan kebijakan Departemen Luar Negeri AS, Anne-Marie Slaughter, mengatakan bahwa ia memandang tindakan-tindakan Iran sepanjang konferensi tersebut sebagai tanda-tanda kekhawatiran.
Berbicara dalam Konferensi Peninjauan NPT 201, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengkritik Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis karena dianggap tidak mampu memenuhi komitmen mereka sebagai negara penandatangan NPT dan mengatakan bahwa sikap diam negara-negara tersebut terkait senjata nuklir Israel adalah contoh kebijakan standar ganda.
Ahmadinejad juga mendesak Gedung Putih agar melucuti pangkalan-pangkalan nuklirnya di seluruh dunia.
Slaughter menyebut tindakan-tindakan Iran dalam konferensi New York tersebut merupakan tanda-tanda “rasa malu” Iran.
“Presiden Ahmadinejad datang ke PBB, hadir dalam makan malam kemarin. Saya melihat hal itu sebagai tanda-tanda bahwa pemerintah (Iran) merasa cukup khawatir,” kata pejabat Departemen Luar Negeri tersebut dalam pidatonya di hadapan para diplomat dan staf asing sebagaimana dikutip kantor berita AFP.
“Mereka selalu berusaha memblokir, tapi, mereka saat ini menjadi lebih aktif untuk mencoba menghentikan apa pun yang akan membuat mereka lebih terisolasi,” katanya. “Saya melihat hal itu sebagai sebagian tanda kesuksesan kami.”
Dalam pidatonya, Presiden Ahmadinejad mengatakan bahwa meski telah menandatangani NPT, AS merupakan “tersangka utama” yang bertanggung jawab atas penimbunan dan penyalahgunaan senjata nuklir.
Ahmadinejad juga mencatat bahwa AS bahkan menggunakan senjata nuklir untuk mengancam negara-negara lain.
Pidato Ahmadinejad dalam konferensi tersebut “disambut” dengan aksi walk-out delegasi Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis.
Pidato tersebut disampaikan menyusul langkah mengejutkan Menteri Luar Negeri Iran Manouchehr Mottaki, yang menjamu para diplomat senior 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB dalam sebuah resepsi makan malam di kediaman duta besar Iran untuk PBB di New York pada hari Kamis.
Dalam pertemuan tersebut, menteri luar negeri Iran tersebut mengatakan kepada para duta besar dan pejabat tinggi bahwa Teheran berketetapan untuk melanjutkan program energi nuklir sipilnya.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Philip Crowley mengatakan bahwa AS dan tamu-tamu lainnya dalam makan malam yang dijamu Mottaki tidak mampu menjembatani jurang pemisah dalam kesepakatan pertukaran bahan bakar nuklir dengan Iran.
Dalam pembicaraan “jujur dan profesional” dengan Mottaki, diplomat AS Alejandro Wolff dan para perwakilan dewan lainnya “mengemukakan kekurangan dalam cara pendekatan Iran,” kata Crowley.
“Namun, kami melihatnya sebagai peluang lain yang dilewatkan Iran dalam upaya pemenuhan kewajiban internasional,” kata Crowley.
Dalam sebuah upaya untuk mendongkrak kepercayaan, Badan Energi Atom Internasional PBB (IAEA) tahun lalu meminta Iran mengirimkan uranium kadar rendahnya ke luar negeri untuk diperkaya lebih lanjut dan dikirimkan kembali untuk dipergunakan dalam tujuan penelitian medis.
Sebelum komentar Slaughter, para pejabat AS lainnya menyebut makan malam itu sebagai “peluang lain bagi Iran untuk menunjukkan kepada dewan bahwa pihaknya siap memenuhi kewajibannya dan mematuhi aturan internasional,” demikian dilaporkan oleh Daily Telegraph.
AS, Inggris, dan Perancis berusaha meyakinkan dua negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB lainnya, China dan Rusia, untuk mendukung upaya penjatuhan rangkaian sanksi keempat terhadap Iran terkait program nuklir negara tersebut.
China dianggap sebagai penghalang utama sanksi yang lebih keras terhadap Iran di Dewan Keamanan PBB, bersama dengan Brazil, Turki, dan Libanon. Rusia yang sebelumnya ragu kini tampak lebih terbuka terhadap penjatuhan sanksi(suaramedia)