Tantangan pertama adalah sebagian oposisi yang mengorganisir unjuk rasa besar di ibukota, Sanaa, dan kota-kota lain di Yaman, menyuarakan protes mereka atas pemberian imuniti kepada presiden negara itu. Para demonstran pada Jumat lalu, membawa plakat yang menyatakan bahwa perjanjian tersebut pada kenyataannya, telah menjadi kesepakatan Saudi-Amerika.
Pemberian kekebalan hukum kepada Saleh, keluarga dan kroni-kroninya, bukan satu-satunya masalah. Saleh juga akan tetap menjabat sebagai presiden Yaman selama 90 hari ke depan, bahkan jika dia secara fisik tidak hadir di negara itu.
Menurut perjanjian tersebut, kekuasaan presiden akan didelegasikan kepada wakilnya, Abed Rabbo Mansour Hadi. Sementara Saleh akan tetap menjadi presiden kehormatan selama 3 bulan tanpa punya wewenang untuk menentang keputusan penggantinya itu.
Partai Kongres Rakyat Nasional dan partai-partai oposisi akan memiliki waktu satu minggu untuk menyusun daftar calon mereka bagi pembentukan pemerintah persatuan nasional.
RUU pemberian kekebalan hukum kepada Saleh dan wakil presiden akan diteruskan ke parlemen. Setelah mendapat pengesahan, wakil presiden akan memberikan lampu hijau untuk pemilihan presiden, yang akan diadakan dalam waktu 90 hari, dengan ketentuan bahwa Abed Rabbo Mansour Hadi akan dipilih sebagai presiden untuk dua tahun. Selama masa itu, Yaman akan menggelar dialog nasional tentang isu-isu penting seperti, situasi di selatan Yaman dan suku Houthi.
Front Rapat Gabungan Yaman (JMP) menyatakan bahwa penandatanganan kesepakatan transfer kekuasaan sebagai kemenangan besar bagi oposisi. Mereka juga berpendapat bahwa revolusi di Yaman telah mencapai tujuan utama, yaitu menggulingkan Saleh.
Perjanjian itu memungkinkan Saleh untuk meninggalkan kekuasaan sambil menjaga reputasinya. Dia telah diberi tiga konsesi, kekebalan hukum, jaminan tentang partisipasi partai penguasa dalam pemerintahan mendatang, dan kelanjutan komando putranya atas Garda Pengawal Republik, sementara anggota keluarganya yang lain akan tetap mengendalikan militer dan pusat keamanan.
Dengan cara ini, rezim Yaman praktis tetap utuh dan hanya presiden yang berganti. Situasi ini mirip dengan di Mesir, di mana perkembangan terakhir telah terbukti tidak efektif.
Setiap bentuk revolusi di Yaman akan merugikan kepentingan Saudi di negara itu. Sementara itu, mempertahankan kebijakan Riyadh untuk melawan sisa-sisa Al Qaeda di Semenanjung Arab adalah prioritas utama bagi Washington.
Saudi sedang mencoba untuk meyakinkan kelompok-kelompok yang tidak puas dengan kesepakatan itu. Namun, berlanjutnya demonstrasi di berbagai kota Yaman untuk menolak perjanjian Riyadh, dapat menjadi indikasi utama atas kegagalan rencana Saudi untuk mengakhiri revolusi Yaman. (IRIB Indonesia/RM/NA)