Seorang mantan juru bicara pengadilan kejahatan perang PBB, Florence Hartmann, terancam huluman tujuh tahun penjara karena dianggap membocorkan informasi rahasia perang Yugoslavia.
Hartmann, seorang wanita berkebangsaan Perancis berusia 46 tahun, dikenai tuduhan dengan sengaja menyingkapkan fakta-fakta rahasia dalam sebuah buku yang ditulisnya pada tahun 2007. Buku tersebut berisikan tentang proses kerja dari pengadilan penjahat perang internasional di Yugoslavia, Hartmann juga mengungkapkan hal yang sama dalam sebuah artikelnya yang telah diterbitkan.
Namun pengacaranya, Guenael Mettreaux, mengeluarkan pembelaan bahwa informasi yang dimaksudkan memang informasi yang sudah seharusnya berada di dalam ranah publik.
"Pengadilan (penjahat perang Yugoslavia) tersebut mengungkapkan adanya keputusan-keputusan rahasia dalam sejumlah kebijakan pemerintah," katanya kepada AFP sesaat sebelum persidangan dimulai.
Hartmann meliput perang Balkan pada tahun 1990an sebagai seorang reporter dari surat kabar Perancis Le Monde, jenjang karirnya terus menanjak dan ia kemudian ditunjuk menjadi juru bicara dari Carla Del Ponte, mantan ketua tim jaksa penuntut kejahatan perang, dari tahun 2000 hingga 2006.
Setelah berhenti dari pekerjaannya, Hartmann lalu menerbitkan sebuah buku bertajuk "Paix et Châtiment: Les Guerres Secre(tes De La Politique Et De La Justice Internationales / Peace and Punishment: The Secret Wars of Politics and International Justice" (Perdamaian dan Hukuman: Perang rahasia dari hukum dan keadilan internasional), dia juga menulis sejumlah artikel mengenai kinerja pengadilan tersebut di majalah Perancis, Match.
Dalam buku tersebut, Florence Hartmann menuding negara-negara besar dunia, khususnya Perancis, Inggris, dan AS, sengaja menghambat kinerja persidangan Hague dalam mengadili para penjahat perang yang dituduh melakukan kejahatan perang di wilayah bekas negara Yugoslavia. Campur tangan negara-negara tersebut paling terlihat dalam kasus Slobodan Milosevic, dan dalam penahanan Radovan Karadzic dan Ratko Mladic. Tidak seperti tulisan-tulisan tuduhan yang berdasarkan pada teori konspirasi, Hartmann bergantung pada fakta dan bukti untuk mendukung argumennya mengenai upaya campur tangan negara-negara besar.
Sebuah informasi yang dia sampaikan kepada publik menyebut bahwa negara Serbia tersebut pada tahun 1995 melakukan pembantaian terhadap 8.000 orang pria, wanita dan bocah laki-laki Muslim di Srebenica, Bosnia. Tulisannya tersebut bersumber dari keputusan dua pengadilan banding dalam persidangan mantan penguasa Serbia, mendiang Slobodan Milosevic.
Dalam bukunya, Hartmann mengatakan bahwa yang dihadapi oleh pengadilan internasional bukan hanya pemerintahan setempat, namun juga negara-negara seperti Perancis, Inggris dan AS. Dalam buku tersebut terkandung sejumlah contoh hal-hal yang dilakukan negara-negara tersebut untuk mengarahkan keputusan pengadilan internasional agar sejalan dengan kepentingan politik mereka.
Para pendukung Hartmann, termasuk sejumlah rekan wartawan, menyusun petisi di internet agar kasus tersebut bisa digugurkan, mereka juga berencana untuk menggelar demonstrasi diluar gedung pengadilan, baik di Jenewa maupun di Sarajevo.
"Florence Hartmann hanyalah orang yang melaksanakan tugasnya sebagai seorang jurnalis, ia mencari fakta dengan teliti untuk kemudian mempublikasikan informasi tersebut dengan apa adanya," demikian bunyi pernyataan dalam dokumen petisi tersebut.
"Dengan memerintahkan Hartmann untuk datang di hadapan mimbar pengadilan yang seharusnya dikhususkan untuk mengadili pelaku kejahatan pemusnahan etnis, maka peristiwa ini akan merusak reputasi dan citra sistem pengadilan internasional."
Hartmann terancam hukuman tujuh tahun penjara atau hukuman denda senilai 100.000 euro (Sekitar 139.000 dollar AS).
Dia menolak untuk menyampaikan pembelaan dalam sidang perdananya pada bulan November tahun lalu, meminta persidangan tersebut untuk menyatakan bahwa dirinya tidak bersalah.
Pengadilan juga harus memberikan hukuman denda terhadap empat orang jurnalis yang melakukan pelanggaran, salah satunya bahkan juga ditahan selama tiga bulan lamanya karena mengungkapkan identitas saksi kunci yang dilindungi. (SMcom)