6 May 2011

Target Akhir NATO di Libya

ImageKeinginan rakyat libya untuk menuju negara yang demokrasi dan mengakhiri kekuasaan rezim Muammar Gaddafi ternyata berjalan alot. Negara-negara Barat dengan memanfaatkan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengecam pengeboman warga sipil di berbagai kota oleh satuan-satuan militer Gaddafi, menggelar operasi militer. Barat mengaku bahwa operasi ini dimaksudkan untuk melindungi rakyat Libya dari gempuran pesawat-pesawat tempur rezim yang terus membombardir sejumlah kota yang dikuasai kubu revolusi.


Revolusi rakyat Libya adalah babak kelanjutan dari gerakan rakyat menentang rezim despotik di kawasan Dunia Arab, setelah Tunisia dan Mesir. Mereaksi kebangkitan rakyat yang menghendaki lengsernya sang penguasa, Gaddafi menggunakan politik tangan besi. Dengan menyebut rakyatnya sebagai binatang-binatang yang buruk, Gaddafi mengerahkan mesin-mesin perang. Akibatnya, negara itu berubah menjadi arena perang dan pembantaian rakyat dengan cara yang paling keji. Sejumlah perwira tinggi mengumumkan pembelotan ke kubu revolusi. Benghazi, kota terbesar kedua di Libya yang terletak di bagian timur negara itu menjadi basis revolusi. Di kota inilah, kubu revolusi mengumumkan pembentukan Dewan Pemerintahan Transisi Libya.


Untuk meredam kebangkitan rakyat, rezim Gaddafi merekrut tentara bayaran dari berbagai negara Afrika. Pasukan yang biasa disebut loyalis Gaddafi ini sempat merebut kembali kota-kota yang sebelumnya dikuasai oleh kubu revolusi. Pasukan ini bahkan sempat merangsek maju sampai daerah yang hanya berjarak 15 kilometer dari kota Benghazi. Dalam sebuah pidatonya, Gaddafi mengatakan, "Tentaraku di kota Benghazi bebas membunuh binatang-binatang itu dan menawan keluarga mereka."


Dalam kaitan ini, Perancis dan Inggris yang sebelum itu memiliki hubungan baik dengan rezim Gaddafi berusaha mengail di air keruh. Hal itulah yang mendorong kedua negara Eropa itu menggelar serangan militer ke Libya dengan sasaran posisi pasukan rezim Gaddafi. Hanya saja, kedua negara Eropa itu memikirkan startegi intervensi yang bisa menjamin kepentingan di negara-negara kawasan yang terkena badai revolusi anti rezim despotik. Untuk bisa menggelar serangan, Eropa memerlukan dukungan opini umum rakyat Eropa karena pengalaman buruk yang mereka dapatkan saat mengiringi serangan AS ke Afghanistan. Rakyat Eropa menghendaki penarikan segera tentara asing dari Afghanistan.


Untuk menarik simpati, Perancis dan Inggris mengusung slogan perlindungan rakyat sipil. Selama berkuasa di Libya, Muammar Gaddafi telah menjadi figur yang sangat dibenci oleh rakyatnya sendiri. Tak heran jika, di dunia, tak banyak pihak yang mempersoalkan penggunaan kekerasan untuk menumbangkan kekuasaannya. Resolusi 1973 yang disahkan di Dewan Keamanan PBB 17 Maret 2011 tentang zona larangan terbang dimanfaatkan untuk menggempur posisi militer Gaddafi.


Untuk operasi militer seperti ini Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) memang punya pengalaman. Tahun 1999 NATO pernah melakukan operasi serupa di bekas Yugoslavia dan tahun 2003 saat mengawal zona larangan terbang di Irak. Gaddafi yang membantai rakyatnya secara massal demi mempertahankan kekuasaan memang tidak bisa diharap menghormati aturan internasional. Dengan alasan ini, negara-negara Barat mengajukan prakarsa untuk mewujudkan zona larangan terbang yang diikuti dengan gempuran udara oleh pesawat-pesawat tempur Perancis dan koalisi negara Barat. Beberapa hari berikutnya, NATO secara resmi mengambil alih operasi militer ini, supaya biaya finansial dan politik untuk serangan ini tidak ditanggung oleh negara tertentu.


Amerika Serikat (AS) sendiri sejak awal telah menyatakan mendukung operasi militer ke Libya. Bagi NATO, operasi militer di Libya adalah peluang untuk memperbaiki reputasinya yang memburuk akibat kegagalan di Afghanistan. Isu Libya bisa menjadi pemoles wajah di depan sekutu-sekutu non Eropa. Banyak yang meyakini bahwa alasan melindungi rakyat Libya dari gempuran pesawat tempur rezim Gaddafi, tak lebih dari alasan pembenar bagi NATO dalam melakukan intervensi di Libya.


Memanjangkan krisis dan berlarut-larutnya perang antara kubu revolusi dan pasukan loyalis Gaddafi yang diiringi dengan ketidakseriusan NATO menumbangkan rezim diktator itu semakin memperkuat dugaan adanya tujuan kotor di balik intervensi asing ini. Presiden Turki Abdullah Gul misalnya, menegaskan bahwa serangan NATO bukan dimaksudkan untuk menyelamatkan rakyat Libya. Gul menambahkan, pihak-pihak yang selama ini mendukung dan melindungi rezim Gaddafi tiba-tiba berubah mengubah sikap. Gul menyatakan bahwa negara-negara asing yang terlibat dalam operasi militer di Libya hanya mengejar kepentingannya semata, dan kita meski mengungkap kepentingan itu. Presiden Turki juga menyampaikan rasa khawatirnya jika Libya bernasib seperti Irak. Yang menarik, pernyataan ini disampaikan oleh Presiden Turki yang negaranya adalah salah satu anggota NATO.


Sebagian kalangan menyatakan bahwa misi utama AS dan sekutu-sekutunya dalam krisis Libya adalah menyeimbangkan kekuatan kubu Gaddafi dan oposisi. Dengan kata lain, lewat operasi militer Barat berusaha menjadikan kekuatan militer dua kubu yang berperang itu seimbang. Sebelum terjadi serangan NATO, kubu loyalis Gaddafi jauh unggul di medan tempur karena memiliki dan leluasa menggunakan pesawat tempur. Akan tetapi dengan operasi militer, rezim Libya praktis tidak memiliki keunggulan lagi di udara. Ini berarti, NATO tetap membiarkan kedua kubu berperang. Padahal, jika serius, NATO bisa menghancurkan pasukan Gaddafi hanya dalam hitungan hari. Tapi itu bukan target yang ingin diwujudkan NATO. Barat ingin perang ini terus berlanjut sampai kedua kubu benar-benar lemah. Setelah keduanya lemah, Barat akan mengambil alih kendali misalnya dalam bentuk pengiriman pasukan perdamaian untuk menggiring kedua kubu yang berseteru ke meja perundingan. Dengan demikian, Barat akan memegang posisi penentu yang memungkinkannya mendudukkan orang kepercayaannya di tampuk kekuasaan.


Meski demikian, tak tertutup kemungkinan Barat memiliki target yang lain. Misalnya menghancurkan kekuatan militer negara itu. Pasalnya, rezim Gaddafi telah mengubah Libya menjadi negara yang paling kuat secara militer di kawasan berkat senjata dan sistem pertahanan yang dibelinya dari Rusia, Eropa dan AS. Dengan demikian, siapapun yang bakal memerintah Libya di masa mendatang pasti bakal merogoh kocek dalam-dalam untuk memperkuat sistem pertahanan dan militernya dengan membelinya dari para produsen senjata di Barat. Libya dengan kondisi yang hancur lebur bakal mempersilakan negara-negara Barat masuk ke sana bersama perusahaan-perusahaan minyaknya. Itulah target akhir yaitu menguasai sumur-sumur minyak di negara itu. (irib)