Dalam pembahasan anggaran militer Amerika di Kongres, anggota DPR AS meratifikasi anggaran 690 miliar dolar untuk Departemen Pertahanan Amerika. Ratifikasi itu pada gilirannya mengurangi wewenang presiden Amerika untuk mengirim pasukan darat ke Libya dan penyelesaikan masalah penjara Guantanamo.
Berdasarkan ratifikasi DPR AS, Barack Obama tidak diizinkan mengirimkan pasukan darat ke Libya di luar dari UU "War Power Act". Ratifikasi tersebut juga telah mengebiri wewenang presiden Amerika terkait kontrol atas penjara Guantanamo dan nasib para tahanannya.
Kini telah terjadi friksi besar di kalangan politikus Amerika soal perang Libya. Di satu sisi Gedung Putih berselisih pendapat dengan Kongres dan di sisi lain perseteruan antara kubu Demokrat dan Republik. Mayoritas anggota Kongres Amerika baik itu dari kubu Republik maupun Demokrat meyakini partisipasi Amerika dalam perang Libya bertentangan dengan UU "War Power Act" yang telah disah sejak tahun 1973.
Anggota DPR AS pada awalnya meratifikasi peraturan bahwa yang mengumumkan perang merupakan kewajiban Kongres, tapi pada tahun 1973, mereka melakukan perubahan yang isinya memberikan wewenang presiden dalam kondisi tertentu untuk mengeluarkan perintah perang. Berdasarkan peraturan ini, dalam kondisi darurat, presiden Amerika berhak mengirimkan pasukan militer untuk berperang dan paling lambat 72 jam sejak perintah perang tersebut, presiden harus memberitahukan keputusannya ini kepada Kongres. Begitu juga tenggat waktu melakukan operasi militer hingga penarikan mundur tidak boleh lebih dari 60 hari. Sementara apa yang dilakukan militer Amerika di Libya tidak sesuai dengan ketentuan tersebut. Oleh karenanya, kubu Republik dengan bantuan rivalnya Demokrat di Kongres berusaha menjegal meluasnya perang di Libya dan kehadiran pasukan darat Amerika di sana.
Usaha Gedung Putih menentukan nasib para tahanan penjara Guantanamo dan penutupan penjara ini telah membuat marah kubu Republik di Kongres. Mereka mengklain bahwa penutupan penjara Guantanamo bakal merugikan upaya perang melawan terorisme dan membahayakan keamanan nasional. Sementara Gedung Putih dan mayoritas kubu Demokrat di Kongres meyakini bahwa selama penjara Guantanamo masih beroperasi, citra Amerika yang telah babak belur akibat pelanggaran HAM tidak akan membaik di tengah opini publik internasional.
Mereaksi keputusan DPR AS yang mengurangi wewenang presiden Amerika, Barack Obama mengancam akan memveto UU ini bila resmi diratifikasi. Bila kubu Republik ingin menggolkan ratifikasi UU ini, maka hasil pengesahan DPR ini harus berhasil melewati mayoritas Demokrat yang berada di Senat. Dan bila mereka tidak berhasil mencapai kesepakatan bersama, alokasi dana kepada Dephan Amerika, termasuk biaya perang Afghanistan dan Irak bakal terhenti.
Kubu Republik berharap Obama tidak perlu mengancam akan memakai hak vetonya terkait ratifikasi DPR AS. Apa lagi Amerika tengah bersiap-siap menghadapi pemilu presiden November tahun depan. Karena bila Obama memakai hak vetonya, berarti ia bertanggung jawab atas bahaya yang mengancam jiwa tentara Amerika di Irak dan Afghanistan. (irib)