Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton kemarin malam (12/4) waktu setempat mendesak gerakan oposisi di seluruh Timur Tengah untuk mengonsolidasikan keunggulan dan bergerak menuju kekuasaan demokratis di negara masing-masing.
Meski demikian, Clinton mengakui bahwa hal itu tidak mudah dilakukan. "Itu tidak akan mudah. Iran memiliki kisah yang harus dijadikan peringatan bagi proses transisi di kawasan (Timur Tengah). Aspirasi demokratis tahun 1979 ditumbangkan oleh kediktatoran yang baru dan brutal," kata Clinton dalam pidato di hadapan Forum Dunia Amerika Serikat-Islam di Brookings Institution menurut salinan pernyataan Clinton yang didapatkan lebih awal.
Clinton juga memperingatkan mengenai "pertanda mengkhawatirkan" di Mesir dan Tunisia karena kaum wanita terpinggirkan selang beberapa bulan setelah kerusuhan menggulingkan para diktator.
"Sejauh ini, (kaum) wanita tidak diikutsertakan dalam proses pembuatan keputusan yang penting dalam proses transisi. Saat kaum wanita berbaris melalui Alun-alun Tahrir untuk merayakan Hari Perempuan dalam demokrasi baru mereka, mereka malah menghadapi pelecehan dan kekerasan.Anda tidak bisa mengklaim punya demokrasi jika setengah populasinya dibungkam," kata Clinton.
Selain itu, Clinton juga memperingatkan Bahrain yang melakukan tindakan represif terhadap para pengunjuk rasa. "Kekerasan tidak dan tidak akan pernah menjadi jawaban."
Februari lalu, Clinton mengecam Iran karena memuji unjuk rasa jalanan di Mesir, namun menekan unjuk rasa menentang pemerintahan di dalam negeri.
"Menurut saya amat ironis karena Iran berusaha memberikan pelajaran mengenai demokrasi kepada siapa saja," kata Clinton dalam wawancara dengan Michel Ghandour dari Al Hurra. "Berbicara mengenai revolusi yang dibajak, Iran adalah contoh utamanya."
"Melihat yang dilakukan Iran terhadap rakyatnya sendiri, saat para pengunjuk rasa yang coba menyuarakan pendapatnya di Iran ditekan secara brutal oleh aparat keamanan Iran, saya rasa tidak ada satu pun di Timur Tengah, atau – sejujurnya – di dunia, yang akan menjadikan Iran sebagai teladan," tambah Clinton.
"Bukan seperti itu akhir yang diinginkan orang-orang, yakni pada dasarnya berada dalam belenggu kediktatoran militer dengan diselimuti teokrasi yang tidak mengindahkan hak-hak asasi manusia universal dari rakyat Iran," kata Clinton. "Jadi, menurut saya tidak banyak yang bisa dipelajari dari Iran dalam hal demokrasi."
Dalam wawancara dengan Al Arabiya, Clinton kemudian ditanyai mengapa AS mendorong demonstrasi menentang pemerintahan di Iran, namun tidak mendukungnya di negara-negara autokratik sekutu AS seperti Yordania, Yaman, dan lainnya.
Clinton menjawab, AS meyakini demonstrasi dan perpolitikan yang damai. Namun jawaban itu agaknya tidak akan menenangkan orang-orang yang hidup di bawah pemerintahan autokrat sekutu AS tanpa mendapat kebebasan berpolitik.
"Kami meyakini demonstrasi yang damai. Kami yakin bahwa politik tidak boleh dipengaruhi oleh kekerasan, dan yang kita saksikan di Mesir membuktikan itu. Reaksi luar biasa dari para pemuda di jalanan. Oleh karena itu, kami mendukung hak-hak dasar manusia, seperti kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat," kata Clinton dalam wawancara itu.
"Di saat bersamaan, kami tidak ingin ada campur tangan terhadap hak-hak masyarakat mengekspresikan diri mereka. Kami sudah mengatakan kepada rekan-rekan kami bahwa mereka harus menanggapi kebutuhan rakyat. Kami semua terhubung saat ini. Para pemuda berkomunikasi melintasi batas-batas yang bisa dibayangkan orang. Kita sudah menyaksikannya di Mesir, dan kami rasa ada banyak rekan kami yang menanggapi seruan reformasi. Kami mendukung itu," tambahnya.(SMcom)