Begitu cepatnya gejolak transformasi di Timur Tengah belakangan ini menjadi indikator kuat akan kegagalan politik standar ganda Barat, terutama AS. Munculnya revolusi rakyat Timur Tengah menentang rezim-rezim diktator dukungan Barat ini berangkat dari kesadaran dan kebangkitan bangsa-bangsa regional. Kebangkitan itu tidak hanya menarget kezaliman para penguasa Arab tetapi juga membuat kebijakan arogan negara-negara Barat di Timur Tengah menghadapi tantangan serius. Karena itu, ketika negara-negara Eropa seperti Perancis, Inggris, Italia, dan AS melihat bahwa era diktatorisme di dunia Arab telah berakhir, mereka pun segera mengubah strategi politiknya dan membanting setir berpura-pura menyokong gerakan rakyat regional menentang kediktatoran. Dengan cara itu, Barat berupaya membonceng transformasi di kawasan untuk kepentingannya sendiri.
Tak cukup hanya dengan dukungan lisan, Barat bahkan menunjukkan sokongan seriusnya terhadap perjuangan rakyat Libya menentang kediktatoran rezim Muammar Gaddafi dengan melancarkan serangan militer terhadap pasukan loyalis Gaddafi. Namun demikian, kebijakan Barat yang terkesan pro-demokrasi itu tidak berlaku bagi revolusi rakyat di Bahrain. Mereka bahkan menyokong intervensi militer Arab Saudi dan pemberangusan gerakan rakyat di Bahrain. Padahal, motif dan tujuan kebangkitan rakyat Bahrain tak ada bedanya dengan negara-negara Arab lain seperti Mesir, Tunisia, ataupun Libya yang juga menginginkan tumbangnya penguasa yang zalim.
Reaksi berbeda Barat terhadap kasus Bahrain ini dilatarbelakangi oleh posisi strategis negara kecil di Teluk Persia itu dan kekhawatiran atas implikasi efek domino dari tumbangnya rezim monarki Dinasti Al-Khalifa bagi negara-negara Arab lain di kawasan Teluk Persia. Ironisnya, media-media Barat dan lembaga-lembaga internasional hanya bersikap pasif dan membiarkan begitu saja perlakuan standar ganda AS dan negara-negara Eropa terhadap revolusi rakyat di Bahrain. Padahal kediktatoran rezim dinasti Al-Khalifa tak kalah zalimnya dengan diktator-diktator Arab lainnya seperti Hosni Mubarak di Mesir, Muammar Gaddafi di Libya ataupun Ali Abdullah Saleh di Yaman. Di satu sisi, media-media Barat gencar menyebut-nyebut Gaddafi sebagai penguasa yang haus akan darah rakyatnya, namun di sisi lain mereka diam seribu bahasa akan pembantaian massal yang dilakukan rezim Al-Khalifa dan militer Arab Saudi terhadap rakyat Bahrain.
Untuk menyesatkan opini masyarakat dunia dan menutupi-nutupi aksi pemberangusan gerakan rakyat di Bahrain, rezim monarki Al-Khalifa dan Arab Saudi berkolaborasi melancarkan konspirasi anti-Tehran. Mereka menuding Republik Islam Iran sebagai pihak yang mendalangi demo-demo anti-pemerintah di Bahrain dan mengacaukan stabilitas di negeri kecil yang kaya minyak itu. Pernyataan negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia (PGCC) di Riyadh beberapa waktu lalu juga merupakan bagian dari konspirasi anti-Tehran tersebut.
Tak ketinggalan Barat terutama AS juga turut menyokong konspirasi negara-negara Teluk Persia menjadikan Iran sebagai kambing hitam dalam krisis di Bahrain.
Serentak dengan PGCC, Washington juga menuding Tehran mencampuri urusan internal Bahrain. Padahal bagi Iran, upaya untuk menyampaikan pesan-pesan keislaman dan kemanusiaan sama sekali tidak perlu dengan cara mengintervensi negara lain. Sebab pesan-pesan luhur semacam itu lahir dari fitrah manusia dan nurani siapapun akan menerimanya. Pesan-pesan khas revolusi Islam seperti pentingnya menentang kezaliman dan imperialisme merupakan nilai-nilai universial yang juga didukung oleh ajaran Islam. Pesan universal itu disebarkan bangsa Iran kepada bangsa-bangsa lain lewat kemenangannya menumbangkan rezim diktator Pahlevi dan mengakhiri kekuasaan AS di Iran. Sebab, kebangkitan rakyat di Timur Tengah sejatinya terinspirasi oleh kemenangan Revolusi Islam Iran yang telah lebih dulu berkobar sejak tiga dekade lalu.
Prinsip perjuangan Republik Islam Iran adalah memberikan dukungan terhadap perjuangan rakyat untuk menegakkan keadilan dan menentang kezaliman di negara manapun termasuk di Bahrain. Dengan demikian jelas sudah, klaim sepihak Barat dan negara-negara PGCC soal intervensi Iran di Bahrain sejatinya merupakan upaya untuk membenarkan dan melegitimasi intervensi militer Arab Saudi dan Uni Emirat Arab di Bahrain dan pembantaian massal para pengunjuk rasa pro-revolusi.
Meski terbilang kecil, namun AS dan Arab Saudi memiliki kepentingan sangat strategis di Bahrain yang tak mungkin bisa dilepas begitu saja. Sebagaimana diketahui, pangkalan Armada Angkatan Laut Kelima AS berada di Bahrain dan bagi Arab Saudi, negeri kecil itu terbilang sebagai negeri yang berada di bawah lindungannya. Kalau saja rezim monarki Al-Khalifa di Bahrain berhasil ditumbangkan, tentu hal itu tidak hanya berpengaruh buruk terhadap kepentingan AS di kawasan tetapi juga terhadap keberlangsungan rezim-rezim monarki serupa di negara-negara Arab lainya seperti Arab Saudi selaku sekutu penting Washington di Timur Tengah. Karena itu dalam menyikapi revolusi rakyat Bahrain, AS tidak hanya mempertahankan hubungan dekatnya dengan rezim Al-Khalifa, tapi sebaliknya justru menyokong intervensi militer Arab Saudi untuk melumpuhkan gerakan revolusi.
Tentu saja kebijakan hipokrit AS dan sekutu Arabnya itu bakal semakin meningkatkan kebencian rakyat Timur Tengah terhadap kemunafikan Barat dan kroni-kroninya. Kalaupun perjuangan rakyat Bahrain untuk menggapai tujuan revolusionernya bakal menghadapi banyak tantangan dan perlu waktu panjang, namun banyak pakar politik yang meyakini bahwa situasi di Timur Tengah sulit kembali normal seperti semula. Sebab peta perpolitikan di Timur Tengah kini sudah berubah. Rakyat regional kini kian sadar dengan kekuatan demokrasi yang mereka miliki dalam menghadapi rezim-rezim otoriter. Suatu fakta yang hingga kini masih diabaikan begitu saja oleh penguasa anti-demokrasi di kawasan. Pasalnya mereka masih berpikir bahwa dukungan penuh negara-negara Barat dan penerapan politik represif masih efektif untuk mempertahankan tampuk kekuasaan selama-lamanya.
Transformasi akhir di dunia Arab kali ini mengarahkan perhatian publik internasional terhadap satu variabel utama yang berpengaruh penting dalam menciptakan wajah Timur Tengah baru yaitu semangat anti-zionis, dan sentimen anti-AS dan sekutunya yang kian menguat di seluruh kawasan. Sebagaimana diungkapkan Presiden Republik Islam Iran Mahmoud Ahmadinejad dalam konferensi persnya baru-baru ini, Timur Tengah Baru akan terbentuk tanpa rezim zionis, hegemoni AS, dan kroni-kroninya".
Kalaupun Barat kini berusaha membonceng gerakan revolusi di Timur Tengah demi kepentingannya sendiri namun mereka tidak akan mampu sekuat seperti dulu dalam merealisasikan ambisi hegemoninya di kawasan. Karena itu lewat kerangka inilah kita bisa meramalkan bahwa politik AS di Bahrain bakal menemui kegagalan. Bahkan bisa dipastikan, di banding Washington, justru Riyadh yang akan mengalami kerugian lebih besar akibat intervensi militernya di Bahrain.
Di sisi lain, perlakuan standar ganda AS dalam menyikapi kasus Bahrain dalam prakteknya justru kian memperkuat solidaritas rakyat anti-rezim Al-Khalifa untuk meraih tujuan revolusi. Sejarah juga membuktikan, aksi-aksi kekerasan tidak akan mungkin bisa membungkam gerakan rakyat untuk selamanya. Karena itu cepat atau lambat rezim diktator dinasti Al-Khalifa juga pasti bakal menemui ajalnya sebagaimana nasib para diktator Arab lainnya.
Dengan demikian, darah yang tertumpah dan nyawa yang melayang sia-sia di Bahrain bukan hanya menjadi tanggung jawab rezim Al-Khalifa dan Al-Saud semata tetapi juga AS. Darah yang tertumpah itu akan segera mengakhiri kehadiran militer AS di Bahrain lebih cepat dari seperti apa yang terbayangkan selama ini. (irib)