Transformasi yang terjadi dengan sangat cepat di Timur Tengah, Afrika utara dan Teluk Persia menyentak dunia. Fenomena ini dipandang oleh AS dan sekutu-sekutu Baratnya sebagai momok yang menakutkan.
Dunia sedang menyaksikan tumbangnya satu persatu rezim-rezim diktator yang notabene sekutu Barat di kawasan-kawasan ini. Sikap para pemimpin Barat dalam kaitan ini sangat kontradiktif yang menunjukkan bahwa masing-masing ingin mengail di air keruh sekaligus menyelamatkan kepentingannya. Belum lama ini, diktator-diktator seperti Zein El Abidine Ben Ali, Hosni Mubarak, Muammar Ghaddafi, Ali Abdullah Saleh dan lainnya adalah sekutu dan pelayan kepentingan Barat. Namun ketika rakyat di negara-negara seperti Tunisia, Mesir, Libya, Yaman dan lainnya bangkit menuntut mundurnya penguasa dan perubahan rezim, Barat tampil dengan muka yang seakan membela rakyat dengan alasan demokrasi dan kebebasan, dua jargon yang sejak dulu dimaknai dengan dua sikap oleh Barat.
Sikap Barat yang mengesankan membela rakyat ketika rezim diktator tak bisa lagi diharapkan bertahan, menimbulkan kecurigaan besar bahwa sikap ini dimaksudkan supaya Barat bisa menyimpangkan gerakan kebangkitan itu untuk kepentingannya. Dengan cara itu, AS dan sekutu-sekutu Eropanya berupaya memasang orang-orang yang mereka percayai di kursi kekuasaan dan mengendalikan gerakan massa ke arah yang mereka mau.
Di media, Barat menggambarkan gerakan kebangkitan rakyat di Tunisia dan Mesir sebagai aksi rakyat itu yang tak lebih dari reaksi yang timbul ketidakpuasan atas kesulitan ekonomi dan korupsi para penguasa. Padahal yang saat ini terjadi di Afrika utara jauh lebih besar dari masalah kemiskinan dan kebejatan para penguasa. Salah satu ciri khas yang bisa disaksikan dalam revolusi rakyat di Tunisia, Mesir, Libya dan negara-negara Arab lainnya saat ini adalah suburnya semangat melawan arogansi dunia.
Sejak dahulu, rezim-rezim diktator selalu menyandarkan diri kepada kekuatan-kekuatan arogansi asing tanpa pernah memikirkan dukungan rakyat. Tak beda halnya dengan rezim-rezim diktator dan despotik saat ini yang menumpukkan harap pada dukungan Barat yang mengklaim sebagai pembela demokrasi dan kebebasan nomor wahid. Terkait kebangkitan rakyat di berbagai negara, Barat khususnya AS berupaya sekuat tenaga untuk menutup-nutupi atau memalingkan perhatian publik dari hubungannya dengan rezim-rezim despotik.
Dengan membolak-balik lembaran sejarah dalam tiga dekade terakhir akan nampak dengan jelas kebijakan apa yang diambil Barat saat menghadapi gerakan kebangkitan rakyat di sebuah negara yang rezimnya dipandang bersahabat dengannya. Pada tahap awal, Barat akan berupaya mati-matian untuk mempertahankan sekutunya meski terbukti memerintah secara diktator. Upaya itu dilakukan diantaranya dengan memberikan dukungan politik, ekonomi bahkan keamanan. Jika diperlukan, Barat akan memberikan lampu hijau kepada sang penguasa untuk membantai ribuan warga sekalipun, atau memasukkan ribuan orang ke penjara atau melakukan aksi penumpasan dalam bentuknya yang terkeji. Namun jika kondisi tak bisa lagi dikendalikan, Barat akan memutar haluan dan memasang wajah anti pati terhadap penguasa terkait. Hal itulah yang dilakukan Barat terutama AS dalam kasus kebangkitan rakyat di Iran, Tunisia, dan Mesir.
Pada babak akhir, para diktator itu harus mengalami nasib tragis karena negara-negara Barat akan menutup pintu dan menolak memberi suaka atau tempat kepada mereka. Tahun 1979 ketika Revolusi Islam mulai menunjukkan tanda-tanda kemenangannya AS menolak memberi suaka kepada Syah Mohammad Reza Pahlevi. Syah Pahlevi terpaksa harus hidup terasing di beberapa negara selama dua tahun sejak rakyat Iran menumbangkan kekuasaannya. Syah akhirnya meninggal di Mesir dalam keterasingan dan kesendirian.
Nasib yang sama juga dialami oleh Ben Ali saat kabur meninggalkan Tunisia. Sebagai sekutu dekat pemerintah Perancis, Ben Ali berharap Presiden Nicholas Sarkozy mengizinkan pesawat yang membawanya untuk mendarat di Paris. Harapan itu pupus setelah ia mendengar jawaban penolakan. Ben Ali akhirnya mendapat suaka dari penguasa Arab Saudi. Di Mesir, Hosni Mubarak yang menanti undangan dari sahabat-sahabatnya di Barat terpaksa harus gigit jari. Kini seluruh hartanya sudah dibekukan dan ia sendiripun tetap tinggal di Mesir.
Terkait transformasi di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, AS tampil memimpin Blok Barat untuk memalingkan gerakan rakyat melawan rezim-rezim diktator. AS dan negara-negara Eropa mengerahkan seluruh sarana diplomatik untuk mengendalikan transformasi yang ada. Tak heran jika saat ini terlihat diplomasi ketat di kawasan yang melibatkan para petinggi negara-negara Barat. Misalnya, Perdana Menteri Inggris David Cameron, PM Perancis Francious Fillon, PM Spanyol Jose Louis Rodrigez Zapatero, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton, Sekjen NATO Anders Fogh Rasmussen dan sejumlah petinggi AS termasuk Wapres Joe Biden, terlihat berkunjung ke negara-negara tempat revolusi-revolusi itu berlangsung.
AS dan sekutu-sekutu Eropa mengejar sejumlah target. Pertama, mencegah terjadinya reformasi dan perombakan fundamental di negara-negara itu. Tumbangnya diktator-diktator Timur Tengah jelas akan mengubah konstelasi politik di kawasan. Dengan mengusulkan resep-resep yang sepintas demokratis dan intervensi terselubung, AS dan Eropa berusaha memberi warna demokratik Barat pada revolusi rakyat di negara-negara seperti Tunisia dan Mesir. Tujuannya adalah menggiring rakyat secara perlahan ke suatu kondisi yang menjauhkan mereka dari target keislaman dan kebangsaan. Barat berusaha meyakinkan semua orang bahwa naiknya kubu berhaluan Islam dan tokoh-tokoh Islam ke roda kekuasaan adalah bahaya yang mesti dihindari.
Di tengah kekuatan anti rezim diktator yang sudah atau nyaris tumbang, Barat sibuk menebar perselisihan. Tujuannya adalah untuk menyimpangkan tuntutan rakyat yang sebenarnya. Dengan demikian, Barat berharap bisa meloloskan orang-orang sekular yang bersedia menjaga kepentingannya ke tampuk kekuasaan. Namun terkait kebangkitan rakyat di negara-negara Arab saat ini, ada satu poin penting yang dilupakan Barat. Yaitu, bahwa gerakan rakyat ini adalah satu bentuk kebangkitan Islam di negara-negara itu.
Ibarat tsunami, kebangkitan yang dilandasi kesadaran dan pengetahuan ini akan menerjang semua dinding yang menghalanginya dan akan menyebar sampai memenuhi semua kawasan Timur Tengah. Yang menarik, kondisi ini terjadi justeru setelah AS dan Barat getol menebar Islamophobia di kawasan dalam tiga dekade terakhir. Dalam waktu yang bersamaan, Barat juga membentuk satu front bersama yang disebut kubu pro-damai dengan Israel. Transformasi ini menunjukkan bahwa front tersebut sudah rapuh sementara front Islam tumbuh dan semakin menguat.
Meski media-media massa gencar menebar propaganda dan mendistorsi fakta terkait transformasi di Timur Tengah, namun gerakan kebangkitan Islam tak lagi bisa dibendung. Layar-layar televisi menunjukkan betapa para demonstran dan massa menggelar shalat jamaah yang dihadiri lautan manusia saat menyuarakan penentangan terhadap rezim despotik. Mereka terlihat bersemangat untuk menghidupkan kembali identitas keislaman dan kehormatan negara. Mungkin saja Barat bisa menghambat gelora kebangkitan ini untuk sementara waktu, tapi tak akan mungkin gerakan ini bisa mencegah derasnya arus kebangkitan Islam di Timur Tengah.
Apa yang terjadi saat ini bukan hanya gerakan yang dipicu oleh kesenjangan sosial, kesulitan ekonomi dan ketidakpuasan atas penguasa korup, tapi muncul karena kesadaran Islami bangsa-bangsa Muslim yang sudah muak terhadap hikopritas para pengklaim demokrasi dan kebebasan di Dunia Barat. Bangsa-bangsa Muslim tak bisa lagi ditipu oleh kebohongan-kebohongan para pemimpin AS dan sekutu-sekutu Eropanya.(irib.ir)