Rencana Kepolisian Republik Indonesia membentuk Detasemen Khusus Anti-Anarki mengingatkan kita pada peribahasa "joran patah, dayung dibelah". Tamsil ini memerikan seorang nelayan cupai yang melaut dalam keadaan tak siap, sehingga ketika satu-satunya batang kail yang diandalkan patah, ia membelah dayung untuk dijadikan joran. Hasilnya, ikan tak didapat, pulang pun tak sampai.
Perbandingan ini mungkin tidak terlalu tepat. Tapi kegemaran sebentar-sebentar membentuk institusi baru bukanlah cara paling jitu untuk memecahkan masalah. Pertanyaan pertama yang perlu dijawab: apakah perangkat yang ada memang sudah diberdayakan secara penuh dan fungsional?
Kepala Kepolisian Jenderal Timur Pradopo menyatakan pembentukan Detasemen Khusus Anti-Anarki merupakan "jawaban untuk menyelesaikan masalah Cikeusik dan Temanggung". Ikhtiar sang Jenderal tentulah patut direkognisi. Dalam pernyataan itu tersirat pengakuan telah terjadi sesuatu yang salah di Cikeusik dan Temanggung, dan Timur berniat mengatasi kesalahan itu dengan membentuk sebuah satuan baru di lembaga yang dipimpinnya.
Di Cikeusik, Pandeglang, Banten, massa mengambil alih hukum, menyerang rumah seorang penduduk, dan merenggut nyawa empat orang yang dinyatakan tidak sependirian dengan mereka-tiga orang tewas di lokasi. Di Temanggung, Jawa Tengah, gerombolan yang lain mengamuk dan merusak tiga gereja, membakar kendaraan, menyebarkan ketakutan. Dalam kedua insiden tersebut, polisi seperti tak berdaya.
Mengamati kedua kejadian itu, sulit untuk mengatakan polisi di lapangan telah melaksanakan moto lembaganya, "melindungi, melayani, mengayomi", dengan sungguh-sungguh dan lugas. Terlihat sikap ragu dan waswas, justru ketika hukum harus ditegakkan dengan adil, tegas, dan berwibawa. Situasi inilah sebetulnya yang harus diobservasi, dievaluasi, dan disimpulkan oleh institusi yang kini dipimpin Jenderal Timur Pradopo itu, sebelum mengambil langkah berikutnya.
Dalam penjelasannya, Jenderal Timur antara lain menyatakan pembentukan detasemen ini juga untuk mengimplementasi Protap 01/X/2010. Secara substansial, prosedur tetap yang diterbitkan pada Oktober tahun lalu itu mengatur soal tembak di tempat. Artinya, ketika insiden Cikeusik dan Temanggung terjadi, prosedur tetap itu sudah berlaku. Dalam prosedur tetap itu pun tidak tercantum bahwa pilihan terakhir itu hanya bisa dilakukan oleh anggota sebuah detasemen khusus.
Agak sulit menerima penjelasan Timur bahwa pembentukan detasemen khusus ini merupakan "inovasi dan kreativitas" kepolisian, kecuali "inovasi" dan "kreativitas" itu didefinisikan secara jelas. Rencana pembentukan detasemen khusus ini hanyalah memperlihatkan kecenderungan berorientasi pada kekuatan untuk memadamkan insiden dan bukan pencegahan. Dengan satuan-satuan yang dimilikinya-Brigade Mobil, Satuan Pengendali Massa, Samapta-kepolisian sesungguhnya mampu mengendalikan situasi, asal perintahnya jelas dan iktikadnya lugas.
Tindakan anarki juga bukan sesuatu yang spontan. Pengalaman menunjukkan, tindakan itu merupakan puncak proses perencanaan dan persiapan. Artinya, jika kepolisian merevitalisasi program kemitraan dan keresersean, tindakan itu bisa diantisipasi dan dicegah sedari awal. Lagi pula, secara teknis dan anggaran, pembentukan sebuah detasemen khusus yang melibatkan paling tidak 33 kepolisian daerah bukan pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam sehari-semalam.
majalah.tempointeraktif