24 Mar 2011

Libya Pasca-Resolusi 1973

ImagePada Jumat (18/3), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi 1973 terkait dengan krisis politik di Libya. Resolusi tersebut menetapkan zona larangan terbang di atas wilayah Libya dan mengizinkan negara-negara anggota untuk 'mengambil semua langkah yang diperlukan' dalam melindungi warga sipil dari serangan pasukan Moamar Khadafi. Sebanyak 10 negara anggota Dewan Keamanan (DK) PBB menyetujui resolusi tersebut. Lima negara anggota DK PBB lainnya (Rusia, China, Brasil, Jerman, dan India) abstain.


Keluarnya resolusi tersebut tak lepas dari peran negara-negara sekutu Amerika Serikat (AS) yang sejak awal berambisi melakukan operasi militer untuk menyelesaikan krisis di Libya. Sebagian anggota tetap DK PBB (seperti Prancis, Inggris, dan AS) mendukung resolusi yang secara eksplisit membolehkan intervensi militer terhadap Libya. Sebaliknya, anggota tetap lainnya (seperti Rusia dan China) menolak adanya intervensi militer untuk menyelesaikan krisis politik di Libya.


Resolusi 1973 merupakan 'kompromi berat sebelah' terhadap segala perbedaan tersebut. Disebut demikian karena redaksi 'mengambil semua langkah yang diperlukan' dalam resolusi tersebut memungkinkan intervensi militer terhadap Libya. Dengan demikian, Resolusi 1973 sesungguhnya 'payung hukum dipaksakan' untuk membenarkan rencana negara-negara sekutu AS dalam menyerang Libya seperti sekarang. Terutama Prancis yang belakangan terlibat konflik terbuka dengan rezim Khadafi terkait dengan isu uang yang diberikan Khadafi kepada Nicolas Sarkozy untuk menjadi presiden Prancis.


Khadafi terpojok
Resolusi PBB membuat posisi Khadafi semakin terpojok. Dalam konteks nasional Libya, Khadafi masih senantiasa mendapatkan perlawanan sengit dari pemberontak, terutama di wilayah timur. Adapun Liga Arab yang menjadi naungan semua negara Arab (termasuk Libia) sangat tidak bersahabat terhadap Libya, terutama setelah negara-negara Arab teluk mendukung PBB menetapkan larangan terbang di atas Libya yang kemudian dimanfaatkan negara-negara sekutu AS untuk menyerang negeri itu seperti sekarang. Kini Khadafi hampir tidak mempunyai ruang untuk bergerak. Dari arah depan, Khadafi akan berhadapan dengan kekuatan para pemberontak. Dari arah sekitarnya Khadafi akan berhadapan dengan negara-negara Arab yang tak lagi mendukung kekuasaannya. Dari udara Khadafi berhadapan dengan resolusi PBB yang telah ditetapkan tersebut.


Satu-satunya ruang yang saat ini bisa digunakan Khadafi untuk 'bernafas' adalah Uni Afrika. Sejauh ini Uni Afrika tetap konsisten mendukung Khadafi dan menolak intervensi militer. Namun, sikap Uni Afrika menjadi tak bermakna dengan keluarnya resolusi PBB tersebut.


Tak ada pilihan lagi bagi Khadafi kecuali mundur dan menghadapi segala macam sanksi hukum internasional atas semua kebijakan politik kerasnya selama ini. Bila tidak, Khadafi akan berhadapan dengan semua kekuatan tersebut. Bahkan kalaupun akhirnya menang, Khadafi akan menjadi pemimpin terkucil mengingat PBB dan Liga Arab sudah mengambil sikap sebagaimana tersebut.


Kepentingan terselubung


Pertanyaannya adalah benarkah langkah negara-negara sekutu AS yang mendorong pengeluaran resolusi PBB tersebut hanya semata untuk kepentingan rakyat Libya? Mengapa kebijakan serupa tidak dilakukan untuk membantu para demonstran di Mesir, Tunisia, Yaman, Bahrain, Yordania, dan yang lainnya?


Dalam hemat saya, kebijakan negara-negara sekutu AS yang mendukung pengeluaran resolusi tersebut dan melakukan intervensi militer seperti sekarang tidak terlepas dari tiga hal berikut.


Pertama, kepentingan negara-negara tersebut untuk menguasai sumur-sumur minyak yang ada di Libya. Hampir semua pihak menyadari kepentingan terselubung itu di balik semua aksi militer yang dilakukan negara-negara sekutu AS di Timur Tengah, seperti penyerangan Irak pada 2003 dan Libya pada masa sekarang, walaupun kepentingan terselubung seperti itu senantiasa ditampik negara-negara sekutu AS.


Kedua, Libya merupakan negara kecil yang tidak mempunyai peran dan posisi strategis, baik dalam konteks negara-negara Arab secara khusus ataupun dalam konteks Timur Tengah secara umum. Setidak-tidaknya Libya tidak mempunyai peran strategis seperti Mesir, Yaman, dan beberapa negara Arab lain. Sikap negara-negara sekutu AS yang sangat berambisi untuk menginvasi Libya tak lepas dari kecilnya peran dan posisi negara itu dalam konteks perpolitikan di kawasan. Negara-negara tersebut pun berani mengkhianati Khadafi dan tidak merasa khawatir bila 'pemimpin aneh' tersebut tetap bisa bertahan ke depan dan bermusuhan dengan negera-negara itu.


Sebaliknya, negara-negara sekutu AS tidak memperlakukan Mesir dan beberapa negara Arab lain seperti yang dilakukan kepada Libya karena hal itu mengandung spekulasi sangat tinggi. Terutama bila mereka yang dikhianati dan dimusuhi (umpama) berhasil menjadi penguasa ke depan.


Ketiga, gejolak politik yang terjadi di Timur Tengah mutakhir membuat negara-negara sekutu AS harus mengalkulasi ulang kebijakan politik dan strategi mereka untuk melindungi semua kepentingan mereka, termasuk di dalamnya adalah kepentingan menghadapi terorisme global. Hal itu tak lain karena gejolak politik yang ada membuat semua tatanan kekuasaan dan peta politik menjadi porak-poranda.


Ini adalah waktu bagi semua pihak (termasuk negara Barat dan para teroris sekalipun) untuk melakukan segala hal yang bisa dilakukan. Hingga kepentingan mereka bisa menjadi bagian dalam konstruksi baru politik negara-negara Arab pascagejolak politik yang terjadi sekarang.


Di sini dapat ditegaskan, intervensi militer ke Libia yang berkedok untuk menyelamatkan rakyat Libya dari kediktatoran Khadafi tak lebih hanya untuk kepentingan negara-negara sekutu AS semata yang tak menutup kemungkinan justru akan mengantarkan negara tersebut ke jurang peperangan berkepanjangan seperti yang terjadi di Irak. Khadafi melakukan kesalahan besar dengan membantai para demonstran sebesar kesalahan yang dilakukan negara-negara sekutu AS dengan menginvasi Libya secara militer. Dalam situasi seperti sekarang, turun atau bahkan terbunuhnya Khadafi tak berarti kabar baik bagi rakyat Libya, sebagaimana terbunuhnya Saddam Husein dahulu sama sekali bukan kabar baik bagi rakyat Irak. Penumbangan Khadafi yang ditumpangi kepentingan global secara terselubung bisa menjatuhkan Libia ke dalam jurang perang saudara berkepanjangan, sebagaimana sebelumnya terjadi di Irak. Ujung-ujungnya, negara-negara itu menarik tentara mereka dari Libya sebagaimana terjadi di Irak. Sebaliknya masyarakat Libia tetap dalam kecamuk perang saudara, pun sebagaimana telah terjadi di Irak hingga hari ini.


Oleh Hasibullah Satrawi, Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; pengamat politik Timur Tengah pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta


sumber: mediaindonesia

Artikel Terkait

- Reviewer: Asih - ItemReviewed: Libya Pasca-Resolusi 1973 Deskripsi: Pada Jumat (18/3), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi 1973 terkait dengan krisis politik di Libya. Resolusi tersebut men... Rating: 4.5
◄ Newer Post Older Post ►