Adegan kekerasan antar anak bangsa yang yang berbau SARA itu kembali terbayang di negeri ini. Minggu, 6 Februari 2011, sekitar 1.500 orang dengan wajah beringas menyerang rumah Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Tiga warga Ahmadiyah tewas mengenaskan, setelah dianiaya secara sadistis. Banyak yang menduga, serangan itu dilakukan secara terencana.
Kasus Ahmadiyah lantas jadi besar. Tak hanya soal pidana, tuntutan pembubaran Ahmadiyah bahkan menempatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam posisi sulit. Menanggapi instruksi Presiden agar aparat tak segan menindak dan membubarkan ormas anarkis, Front Pembela Islam (FPI) balik mengancam akan "me-Mesir-kan" Indonesia dan menggulingkan SBY.
Persoalan ini kembali digaungkan oleh stasiun televisi Al Jazeera. Dalam laporan investigasi berjudul “Plot to Topple Indonesian President Uncovered” atau “Plot untuk Menggulingkan Presiden Indonesia Terbongkar”, media yang berbasis di Qatar ini mengungkapkan gerakan sejumlah jenderal purnawirawan senior mendukung kelompok-kelompok Islam garis keras untuk menjatuhkan sang Presiden.
“Jenderal-jenderal ini menggunakan grup Islam garis keras untuk menggulingkan Presiden Yudhoyono, karena mereka menganggap SBY terlalu lemah dan terlalu reformis," demikian dilaporkan koresponden Al Jazeera, Step Vassen, dalam rekaman yang ditayangkan Selasa malam, 22 Maret 2011. Lihat videonya di sini.
Dalam laporannya itu, Al Jazeera mewawancarai beberapa narasumber. Salah satunya adalah Ketua Umum Gerakan Reformis Islam (GARIS), Chep Hernawan.
"Para pensiunan jenderal sudah muak dengan berbagai kebohongan Presiden. Semula mereka berupaya menggunakan isu-isu lokal seperti korupsi, tapi gagal. Kini mereka menggunakan isu Ahmadiyah, dan berhasil," kata dia. "Para jenderal itu mengatakan Ahmadiyah harus dilarang, atau bakal ada revolusi."
Kepada Al Jazeera, Chep mengaku bahwa pada Januari lalu dia didekati oleh seorang pensiunan jenderal berbintang tiga. "Dia kasih semangat, pokoknya jalan terus. Ini namanya jihad. Jangan mundur, sehingga si pembohong itu bisa ditumbangkan," Chep menirukan.
Al Jazeera juga mewawancarai mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI (purn) Tyasno Sudarto, yang selama ini memang dikenal sangat kritis terhadap pemerintahan SBY. Al Jazeera bahkan menyiarkan bahwa Tyasno menyatakan mendukung gerakan-gerakan Islam radikal untuk menggulingkan SBY melalui "revolusi".
"Kami bekerja sama. Angle-nya atau jalan masuknya berbeda. Mereka berjuang atas nama Islam, kami menggunakan politik. Tapi kami punya tujuan yang sama, yaitu perubahan. Kami ingin menyelamatkan negara ini, bukan meruntuhkannya. Revolusi harus berjalan damai, bukan dengan pertumpahan darah," demikian dinyatakan Tyasno di liputan itu.
Tyasno adalah mantan Pangdam Diponegoro dan pernah menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat tahun 1999-2000.
Video Al Jazeera juga menayangkan daftar "Dewan Revolusi Islam" yang beredar di Internet. Tertera di situ, dewan ini dipimpin oleh Abu Bakar Ba'asyir, sedangkan Tyasno menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.
Muhammad Al Khaththath, Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI) yang kerap memimpin berbagai aksi unjuk rasa menentang Ahmadiyah, mengakui dia memang salah satu yang telah menyusun daftar itu.
“Saya memang pernah bertemu dengan jenderal yang ingin menggulingkan Presiden," katanya kepada Al Jazeera. "Saya tidak akan mengatakan apa-apa lagi."
Ditanya soal ini oleh wartawan VIVAnews, Al Khaththath tetap menolak menyebutkan siapa jenderal musuh SBY itu yang pernah bertemu dengannya. "Nggak tahu saya. Saya kan nggak sebut," kata dia di sela-sela konperensi pers Tim Pengacara Muslim di Jakarta, Rabu, 23 Maret 2011.
Al Khatthath mengakui, dia memang pernah menyatakan di tvOne agar Presiden SBY tidak menambah musuh. "Kan mau bubarin ormas Islam. Jangan menambah musuh, karena yang memusuhi SBY kan sudah banyak, termasuk jenderal-jenderal itu," kata dia. "Saya nggak menyebut jenderal itu siapa. Kan hak saya untuk tidak menyebut."
Aya-aya wae
Menanggapi soal ini, pemerintah tampaknya tak begitu ambil pusing. "Aya-aya wae (ada-ada saja), kita kan sudah mengembangkan demokrasi di negara ini," kata Menko Polhukam Djoko Suyanto.
Menurut mantan Panglima TNI itu, isu kudeta itu isu lama. "Saya sudah tahu sejak seminggu-sepuluh hari yang lalu." Namun, apapun isu itu, Djoko menambahkan pemberitaan tersebut tidak terlampau menganggu kinerja pemerintahan. Tidak ada langkah tertentu yang diambil pemerintah menghadapi rumor itu.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menyatakan sejauh ini tak pernah laporan yang masuk soal gerakan penggulingan itu. "Tidak ada itu, dan tidak pernah boleh ada di Indonesia,” katanya.
Ditanya soal langkah apa yang akan diambil, Purnomo mengatakan pemerintah selama ini terus memantau di lapangan. “Kami juga tahu persis seberapa besar gerakan itu,” kata dia. “Kalaupun ada (upaya penggulingan), akan kami hadapi. Kami punya informasinya, kami punya mata dan telinga.”
FPI ditunggangi?
Salah satu kelompok Islam garis keras yang disebut secara eksplisit oleh Al Jazeera telah ditunggangi para jenderal adalah Front Pembela Islam (FPI). Menanggapi itu, Ketua Dewan Pimpinan Daerah FPI Jakarta, Habib Salim Umar Alatas membantah keras.
"Tidak benar. FPI tak pernah disetir jenderal. FPI nggak gampang disetir. Kami bicara akidah, tak minta duit, tak minta jabatan," kata dia kepada VIVAnews. "Yang ngomong bukan FPI. Jenderal siapa? Jangan mudah dipancing berita dari luar negeri."
Dijelaskan Salim, FPI masih menunggu keputusan presiden tentang pembubaran Ahmadiyah. "Tak ada maksud menggulingkan Presiden. Kalau Presiden mengeluarkan Keppres itu, bahkan kami akan dukung," katanya.
Senada, Ketua Front Pembela Islam Habib Rizieq Shihab menyatakan tidak tahu menahu soal Kabinet Dewan Revolusi Islam seperti yang diberitakan Al Jazeera itu.
"Saya pikir itu sesuatu yang tidak benar. Jadi, saya tidak tahu," kata Rizieq di Kementerian Agama, Rabu, 23 Maret 2011. "FPI sama sekali tidak pernah membuat daftar kabinet revolusi."
Rizieq mengaku khawatir jika FPI terus dituding sebagai kelompok yang berencana melakukan makar. "Ini jadi kontraproduktif, dikira akan membuat makar. Saya tidak menolak apresiasinya tapi kami harus main di koridor konstitusional," ucapnya.
Rizieq menyatakan tidak akan mempermasalahkan berita Al Jazeera itu melalui jalur hukum. "Kalau sudah menyangkut permasalahan hukum, akan kami pelajari dulu. Kita selesaikan secara elegan," katanya.
Tentara kudeta?
Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD), Letnan Jenderal (purn) Soerjadi juga membantah keras kabar itu. "Di tubuh TNI, darat, laut, udara, tidak pernah diajarkan untuk berontak dan kudeta," kata dia saat kepada VIVAnews. "Kalau ada jenderal yang kudeta, itu bukan TNI. Amerika mungkin iya."
Menurut dia, "Meski banyak orang bilang bahwa kepemimpinan SBY ragu-ragu dan sama sekali tidak memperbaiki keadaan, para purnawirawan tidak mungkin merencanakan kudeta."
"PPAD mendukung perubahan, tapi jangan seperti 1998 dulu. Kami ingin perubahan yang terkelola dan terkawal dengan baik, dengan agenda dan konsep yang jelas," dia menegaskan.
Soerjadi mendesak agar masyarakat jangan menyudutkan para purnawirawan dengan menyebarkan rumor seperti itu. Dia justru menduga isu ini semata upaya pengalihan isu. "Isu apa saja sekarang ini bisa dibuat untuk menggiring publik, menggiring pemerintah untuk lupa pada tugas pokoknya mensejahterakan rakyat."
Dia melihat isu ini diembuskan untuk kembali mendiskreditkan TNI. "Kok TNI disorot lagi? Yang mulai baik-baik dirusak," kata dia.
Soerjadi melihat ada benang merah antara isu ini dengan bertiupnya kabar tentang 'Operasi Sajadah'--gerakan meng-Islam-kan kembali warga Ahmadiyah yang disebut-sebut melibatkan TNI.
"Katanya melibatkan Pangdam Siliwangi. Tidak ada itu. Pangdam hanya melakukan silaturahmi dan berkomunikasi dengan pesantren, tahu-tahu diisukan 'Operasi Sajadah'," kata dia.
Di mata Soerjadi, isu tersebut diciptakan untuk menimbulkan kesan bahwa TNI digunakan oleh satu golongan saja, dan tidak lagi setia pada prinsip Bhinneka Tunggal Ika.(vivanews)