Peristiwa Halabcheh yang jatuh Tanggal 16 Maret 1988. Mantan Presiden Irak Saddam Husein melakukan sebuah kejahatan anti kemanusiaan yang paling keji dalam sejarah umat manusia. Pada hari itu, kota Halabcheh, Provinsi Kurdistan, Irak menjadi sasaran serangan senjata destruksi massal oleh Rezim Saddam. Kota ini mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengan kota Nagasaki, Hiroshima, serta kota-kota di Vietnam. Dalam pembantaian massal di Halabcheh, lebih dari lima ribu orang tewas seketika akibat gas beracun. Serangan senjata kimia yang dilancarkan Saddam tidak hanya menimpa kota Halabcheh, namun juga menerpa warga Iran di kawasan barat dan selatan negara ini.
Sepanjang perang Iran dan Irak, warga kota Halabcheh berkali-kali menyaksikan lalu lintas jet-jet tempur Saddam untuk menyerang Iran. Kali ini, mereka juga keluar rumah untuk menyaksikan burung-burung besi yang memecah keheningan, namun jet-jet tempur itu memutar di wilayah udara Halabcheh dan menjatuhkan 200 buah bom kimia di kota itu. Pemboman ini termasuk salah satu peristiwa perang yang paling tragis setelah Perang Dunia II.
Satu pekan setelah pemboman kimia Halabcheh, pada tanggal 23 Maret 1988, wartawan koran Guardian Inggris menuturkan kesaksiannya tentang peristiwa tersebut. Dikatakannya, "Permukaan lorong-lorong dan rumah-rumah yang sudah rata dengan tanah di kota terbelakang itu, dipenuhi oleh jasad laki-laki, perempuan dan anak-anak dan bahkan binatang ternak. Terlihat luka dan tanda-tanda ledakan pada jasad-jasad mereka. Kulit mayat-mayat itu secara aneh mulai kehilangan warna. Sebagian hanya mampu menjangkau pintu rumahnya. Di sini, terlihat seorang ibu yang tergeletak di atas tanah dan memeluk anaknya pada detik-detik terakhir."
Mengingat kawasan sudah terkontaminasi oleh gas beracun, regu penyelamat untuk beberapa hari tidak dapat mendekati kota itu. Gambar-gambar yang dirilis dari Halabcheh pasca pemboman, hanya memperlihatkan secuil dari kejahatan Saddam di kota tersebut. Pemboman kimia Halabcheh membuktikan puncak kekejaman seorang diktator terhadap rakyatnya. Namun yang lebih penting dari itu, adalah kebungkaman dan sikap pasif negara-negara Barat, yang mengklaim dirinya sebagai pembela HAM dan nilai-nilai kemanusiaan.
Halabcheh, bukan tempat pertama bagi uji coba senjata kimia Saddam. Puluhan ribu tentara dan warga sipil Iran pada masa Perang Pertahanan Suci selama delapan tahun, dan juga mayoritas warga Kurdi Irak, telah lebih dulu menjadi korban senjata kimia Saddam Hussein. Mereka dimusnahkan karena membela diri terhadap serangan rezim despotik Irak. Pemboman kimia kota Sardasht, Kurdistan, Iran terjadi sembilan bulan sebelum tragedi Halabcheh. Serangan bom kimia ini dilakukan pada tanggal 28 Juni 1987 dan merupakan sebuah pembunuhan massal yang paling mengerikan sepanjang perang Iran-Irak.
Sebanyak 350 orang, termasuk anak-anak dan perempuan tewas seketika, dan tujuh ribu orang lainnya terluka dan sebagiannya hingga hari ini masih hidup dengan menanggung penyakit akibat bahan kimia. Selain menanggung penyakit parah, sebagian korban senjata kimia ini juga harus menanggung kepedihan, karena anak-anak keturunan mereka menderita kelainan fisik atau mental akibat pengaruh dari bahan-bahan kimia berbahaya. Senjata kimia juga berdampak pada kerusakan DNA yang diwariskan secara genetik kepada keturunan para korban.
Sepanjang perang yang dipaksakan rezim Saddam atas Iran, Republik Islam Iran berkali-kali mengadukan kekejaman diktator Irak itu kepada lembaga-lembaga internasional. Irak, termasuk salah satu negara terdepan dalam penandatanganan konvensi larangan penggunaan senjata kimia, namun rezim yang tidak meyakini prinsip-prinsip kemanusiaan dan moral, tentu saja tidak akan melaksanakan undang-undang internasional. Seluruh negara, terutama Barat mengetahui tindakan-tindakan tidak manusiawi dan kejahatan Saddam. Harapan minimal dari negara-negara Barat adalah mengutuk rezim Saddam dalam kasus penggunaan senjata kimia.
Tragisnya, Barat selain tidak mengecam kejahatan Saddam, tapi malah dokumen-dokumen yang dipublikasikan kemudian hari, memperlihatkan kerjasama dan peran besar Barat terutama AS dalam mempersenjatai rezim diktator Irak dengan senjata kimia. Berdasarkan laporan PBB, sejumlah perusahaan dari AS, Jerman, Inggris, dan Perancis memiliki peran dominan dalam memasok bahan kimia untuk keperluan memproduksi senjata kepada Irak. Tentu saja beberapa negara lainnya seperti Uni Soviet, Spanyol, Argentina, dan Belanda juga turut membantu dalam mempersenjatai Irak dengan senjata kimia.
Amerika dan negara-negara Eropa yang mengaku sebagai pemuja HAM, punya peran maksimal dalam mendorong rezim Saddam untuk menggunakan senjata kimia. Saddam hanya eksekutor dan alat kebijakan Barat. Jika ingin mengadili sekutu-sekutu Saddam dalam menggunakan senjata kimia, maka negara-negara AS, Jerman, Inggris, Perancis dan Belgia harus bertanggung jawab atas kejahatan itu. Menyusul kemenangan Revolusi Islam dan runtuhnya pemerintah boneka di Iran, Amerika dan sekutunya berupaya menumbangkan sistem baru rakyat Iran atau minimal memperlemahnya.
Dengan alasan itu juga, Barat memaksakan perang delapan tahun atas Iran. Namun bangsa Iran berhasil memukul mundur militer Saddam, yang didukung penuh oleh Barat. Rezim Saddam yang merasa kecolongan setelah menyaksikan kemenangan para pejuang Iran, bangkit melakukan tindakan tidak manusiawi dan bertentangan dengan undang-undang internasional, yaitu penggunaan senjata kimia. Kini, meski perang sudah 23 tahun berlalu, namun dampak dari serangan bom kimia itu masih terasa dan sekitar 45 ribu warga Iran masih menderita penyakit akibat serangan senjata terlarang rezim Saddam.
Delapan tahun lalu, Amerika menginvasi dan menduduki Irak dengan alasan ancaman senjata pembunuh massal rezim Saddam. Padahal, negara adidaya itulah penyebab utama terciptanya tragedi kemanusiaan di kawasan. Dari satu sisi, pemerintah Washington mempersenjatai Saddam dengan senjata kimia untuk menggulingkan Republik Islam Iran. Dari sisi lain, negara itu menyerang Irak dengan dalih kepemilikan senjata inkonvensional.
Moralitas sama sekali tidak punya tempat dalam kebijakan luar negeri Amerika. Nilai-nilai moral dan kemanusiaan hanya alat untuk memajukan ambisi-ambisi ekspansionis Gedung Putih. Sikap bungkam Amerika terhadap tragedi Halabcheh dan serangan negara itu ke Irak, merupakan bukti nyata atas klaim tersebut. Senjata kimia dan nuklir merupakan noktah hitam bagi kemanusiaan. Penggunaan senjata ini merupakan tragedi besar dalam lembaran sejarah.
Amerika dan segelintir kekuatan dunia dalam kerangka hubungan yang tidak adil dan ambisi hegemoni, memposisikan dirinya sebagai pihak penentu nasib bangsa-bangsa lain dan menjadikan Dewan Keamanan PBB sebagai alat untuk mensahkan resolusi-resolusi politis demi kepentingan-kepentingan ilegalnya. Kebijakan itupun diambil atas dasar kebohongan dan klaim-klaim tak berdasar. Berdasarkan sejumlah laporan, Amerika menyimpan sekitar 10 ribu hulu ledak nuklir dan tercatat sebagai pelanggar utama kesepakatan-kesepakatan internasional. Negara adidaya ini memanfaatkan Dewan Keamanan PBB dan IAEA sebagai alat untuk menekan negara-negara lain.(irib)