Setelah pemberitaan oleh media lokal Australia yang dilansir dari WikiLeaks, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkejut, Ibu Ani Kristiani menangis, petinggi Partai Demokrat gusar, dan Menlu RI memprotes serta meminta klarifikasi Amerika.
Beruntung, heboh pemberitaan The Age itu segera pudar, digusur oleh berita musibah tsunami di Jepang. Hubungan AS dan Indonesia juga tak akan terganggu. Jadi, akankah tuduhan penyalahgunaan kuasa presiden itu akan segera berlalu, seperti api yang padam? Ataukah akan membawa dampak membekas, menjadi bara?
Apakah benar Presiden menyalahgunakan kekuasaan untuk melindungi koruptor besar dan memperalat aparat intelijen untuk kepentingan politiknya? apakah Ibu Ani memanfaatkan posisi sang suami untuk mengembangkan pengaruh dan bisnisnya? Soal benar tidaknya gunjingan diplomat Amerika itu, sebagian sudah menjadi asumsi umum, dan sebagian layak diteliti.
Semua itu, untuk sementara, bisa tenggelam di balik berita seputar musibah tsunami Jepang, atau soal PSSI. Namun, hanya sementara. Masuk akal, presiden yang namanya pernah naik daun karena komitmen pemberantasan korupsi itu, merasa terpukul. Tapi SBY tentu juga menyadari Amerika membutuhkannya sebagai sekutu dan 'good guy' yang berhasil memberantas terorisme.
Jaga citra
Dengan kata lain, kemarahan presiden terhadap berita harian Australia The Age itu merupakan keharusan politik untuk menjaga citra dirinya. Toh, pemerintahnya, melalui Menlu Marty Natalegawa, sudah memprotes dan memperoleh klarifikasi dari Dubes AS di Jakarta.
Lagi pula, sehari setelah kemarahan presiden, harian The Age sudah melaporkan bantahan Istana yang oleh Presiden Yudhoyono dianggap cukup adil karena telah memuat kedua sisi berita. Dengan begitu, Jakarta pun segera mengatakan telah menutup masalah bocoran Wikileaks.
Istana tidak ingin memperpanjang masalah. Heboh The Age harus diakhiri karena presiden berkepentingan memulihkan popularitasnya yang merosot belakangan ini, baik karena kepemimpinannya yang dinilai tidak efektif, tidak cepat dan tuntas soal kekerasan sektarianisme, mau pun karena tidak tegas soal reshuffle kabinet yang ditunggu kawan dan lawan.
Tanggapan berbeda-beda
Namun, di luar semua itu, yang menarik, bocoran Wikileaks itu ditanggapi berbeda-beda. Mantan Wapres Jusuf Kalla mengakui membayar jutaan rupiah untuk mengangkut wakil-wakil daerah yang memilihnya jadi bos Golkar dan Cawapres. Sebaliknya, Ketua MPR Taufik Kiemas, yang tertuduh korupsi besar namun tidak diusut Kejaksaan atas permintaan presiden, memilih diam.
Perbedaan ini mau tak mau memperkuat kesan publik permainan politik uang, yang juga membawa citra buruk pada presiden sendiri. Pilihan diam Taufik, yang juga patron PDI-P, hanya membingungkan soal reshuffle kabinet yang dihembuskan dan dibantah oleh presiden sendiri.
Siapa diuntungkan
Sementara itu, ada pihak ketiga yang beruntung atau selamat, namun juga diam. Aburizal Bakrie, bos Golkar, tidak terkena getah, namun cepat atau lambat dapat memanfaatkannya. Politik juga soal persepsi. Maka, terlepas dari kebenarannya, gunjingan diplomat Amerika itu ibarat sekam yang dapat melahirkan dinamika baru dalam politik nasional.
Wikileaks adalah kumpulan kawat diplomatik berdasarkan sejumlah narasumber yang mau memberi informasi karena mengira namanya tak akan diungkap. The Age memberi petunjuk jelas tentang orang-orang yang di luar pengetahuan publik ternyata berpengaruh besar dalam roda negara, seperti peran TW alias taipan Tommy Winata dan aparat intelejen BIN, penasehat Presiden, dan Jaksa Agung yang dekat dengan presiden.
Jika BIN bermanfaat, mengapa, misalnya, presiden belum juga berhasil membongkar kasus Munir seperti pernah dijanjikannya? Dan, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menyatakan untuk sementara tidak akan menyelidiki tuduhan The Age, namun tidak tegas menutup kemungkinan itu.
Jadi, heboh Wikileaks boleh saja pudar, tapi masih ada bara dalam sekam.(rnw)
Catatan: Aboeprijadi Santoso