Kasus bentrok Cikeusik, Pandeglang, Banten. Menyisakan tanda tanya besar, siapa dalang atau aktor intelektual dibalik bentrokan tersebut.ini merupaka tanda tanya besar. Apalagi Polres Pandeglang menahan terhadap 8 orang kyai di daerah Banten. Dari delapan kiai yang dikabarkan ditahan, baru tujuh orang yang telah diketahui identitasnya. Yakni, KH Endang, dari Kecamatan Binwangeun, Kebupaten Lebak; KH Muhammad dari Binawangeun; KH Tono dari Cibaliung, dan KH Babay dari Labuan.KH Munir dari Binwangeun; KH Kosim dari Binwangeun; KH Pe'i dari Kecamatan Cobaliung, Pandeglang; Sementara identitas seorang kiai lagi masih simpang siur (Republika.co.id,10/2).
Seolah penahanan ini menjadi pembenaran atas statemen Kapolri ; "Terkait kejadian yang di Temanggung memang ada aktor intelektual yang menggerakkan. Baik di Temanggung maupun di Cikeusik, kita menduga kejadian tersebut terjadi karena ada pihak yang menggerakkan," kata Kapolri (detik.com, 10/2), artinya bisa jadi 8 kyai yang ditahan di Polres Pandeglang dituduh sebagai dalang atau actor intelektual di balik bentrok fisik hari ahad yang lalu (6/2).
Akhirnya gelombang demonstrasi muncul dari kalangan para ulama dan kyai, mereka mendatangi Polres Pandeglang dan menuntut pembebasan. Di hari kamis (10/2) Koordinator Tim Pembela Muslim (TPM) Banten, Agus Setiawan, mengatakan negosiasi sejumlah ulama, yang diwakili KH Muhtadi dan KH Kurtubi dengan Kapolres Pandeglang, AKBP Alex Fauzi Rasyad, masih berlangsung. "Kapolres sudah melaporkan aspirasi kita ke Kapolda, Brigjen Agus Kusnadi. Dari kapolda diteruskan ke Kapolri, Jenderal Timur Pradopo," kata Agus dalam orasinya pada Kamis (10/2). Dan para ulama berjanji akan terus menggelar aksi hingga para kyai dibebaskan (republika.co.id,10/2).
Kita melihat tindakan aparat sangat gegabah dan beresiko, jika tidak melihat aspek persoalan secara holistic disamping tidak melupakan akar persoalan sebenarnya yang menjadi pemicu munculnya kontraksi social yang ada, sangat mungkin justru akan meningkatkan eskalasi konflik social lebih luas dan tanpa kendali.
Sementara yang pasti sebab utma pemicu keresahan dan ketidakpuasan masyarakat di daerah Cikeusik dan Pandeglang pada umumnya adalah eksistensi jemaat Ahmadiyah. Mereka paham karena Ahmadiyah adalah kelompok sesat dan menyesatkan, menodai keyakinan kaum muslim. Dan ketika ada fatwa MUI, bahkan pemerintah sudah mengeluarkan SKB (surat keputusan bersama) tiga menteri itu juga tidak di indahkan oleh jemaat Ahmadiyah. Justru mereka terus konsulidasi dan menjalankan keyakinannnya. Di sisi lain pihak penguasa juga tidak bersikap tegas dan jelas atas persoalan Ahamdiyah, ini makin memicu keresahan ditengah masyarakat dan kecondongan main hakim sendiri.
Fakta yang tidak boleh diabaikan adalah sikap provokatif dari jemaat Ahmadiyah sendiri beberapa saat sebelum penyerangan oleh warga. Keberanian mereka mungkin dilatarbelakangi oleh doktrin teologi kebenaran versi Ahmadiyah, dan mereka tahu bahwa masalahnya juga telah menjadi isu yang diperhatikan oleh berbagai pihak Asing dan para komprador lokalnya. Wajar kalau kemudian energi keberanian jemaat Ahmadiyah makin tumbuh, plus optimisme melihat pemerintah tidak akan berani membubarkan mereka karena akan dianggap melanggar HAM. Dan perlakuan kasar atau tindakan fisik oleh masyarakat terhadap mereka masuk dalam pelanggaran pidana. Mereka bersembunyi dibalik lemahnya hukum dan perundang-undangan yang ada dan sikap hipokrit sebagian orang yang duduk di pemerintahan.
Akhirnya ketika pecah bentrok, umat Islam kembali menjadi tertuduh. Logika hukum memang mengharuskan ada pihak yang bertanggung jawab, artinya kalau kembali kepada tempat kejadian perkara (TKP) maka tindakan yang dilakukan oleh masyarakat tentu sebuah pelanggaran jika main hakim sendiri. Karena dalam law enforcement (penegakkan hukum) itu ada pihak yang memiliki kewenangan, dalam hal ini adalah aparat penegak hukum.Tapi persoalan mendasarnya justru yang perlu dijawab; kenapa masyarakat bertindak sendiri? Kalau kita perhatikan justru karena macetnya aspirasi umat dan pemerintah kurang peka mengapreasiasi keinginan umat Islam dalam kasus Ahamdiyah.
Umat Islam merasa penguasa belum bisa menjamin rasa keadilan yang semestinya dalam kasus penodaan keyakinan mereka yang dilakukan oleh jemaat Ahmadiyah. Disamping jemaat Ahmadiyah sendiri tidak jarang bersikap arogan dan provokatif memancing kemarahan warga.
Kemungkinan konspirasi?
Kalau membaca apakah kasus Cikeusik adalah murni tidak ada campur tangan dan kepentingan luar? Sulit rasanya mengbaikan kejanggalan-kejanggalan dari fakta yang ada dilapangan.Dan jika kita mengkaji kronologi kejadiannya, ada beberapa hipotesa dan kemungkinan bisa saya ajukan;
pertama, bentrok fisik itu murni antara jemaat ahmadiyah dan masyarakat yang masing-masing bersikukuh dengan cara dan pilihannya untuk menyelesaikan konflik lama ini. Tapi kemudian di blowup oleh kelompok liberal dengan dukungan media yang ada untuk kembali mempersoalkan kerukunan, toleransi, urgennya liberalism dalam kehidupan beragama, sampai pada tingkat kembali dilakukan proyek advokasi untuk membela eksistensi jemaat Ahmadiyah.
Kedua; bentrok fisik di desain oleh pihak ahmadiyah dan yang pro-Ahmadiyah sendiri, mendesain bahwa Ahmadiyah adalah pihak yang terdzalimi agar bisa melahirkan empati luas termasuk pihak asing. Caranya dengan melakukan provokasi, kehadiran orang luar ke Cikeusik melahirkan asumsi ini. Sikap dan pilihan mereka yang provokatif memungkinkan skenario ini. Dan jika apa yang mereka inginkan betul-betul terjadi maka ini bisa di dijadikan pijakan menekan penguasa untuk mengeliminasi ormas atau kelompok-kelompok yang dianggap radikal dan menjadi inspirator kekerasan.Ini sebuah pengorbanan untuk target yang lebih besar bagi mereka.
Ketiga;bisa juga bentrok karena ada dari pihak masyarakat yang mengorganisir untuk menyelesaikan kasus Ahmadiyah di wilayah Cikeusik tapi tidak berfikir jauh bahwa ini bisa dijadikan sebagai entri point untuk kembali mengangkat kasus Ahmadiyah ke permukaan dengan target pembubaran Ahmadiyah. Pemicunya lebih karena “bisul Ahmadiyah” tidak kunjung tiba penyelesaian yang tegas dari pemerintah, artinya masyarakat dan tokoh-tokohnya kecewa. Dalam kontek ini bisa jadi kemudian para kyai sebagai pemimpin umat di Pandeglang dituduh dengan alasan menggerakkan, karena tuntutan asumsi intelijen bahwa bentrok terjadi karena ada actor intelektualnya.
Keempat: tidak menutup kemungkinan pihak ketiga bermain, dengan memanfaatkan kemarahan dan kekecewaan warga terhadap jemaat Ahmadiyah plus sikap apriori dan arogansi jemaat Ahmadiyah. Dua posisi antogonis ini disusupi dan di beri stimulant untuk berlaga, disamping memanfaatkan titik-titik kelemahan dan kekurangsigapan aparat di lapangan. Dan tergetnya bisa jadi untuk pengalihan isu, dari kasus bobrok dan carut marutnya aparat penegak hukum dalam kasus korupsi, rekening gendut perwira tinggi, markus, hingga masalah citra “Negara gagal” di bawah pemerintahan SBY. Atau target lain yang bisa didapatkan adalah pembubaran ormas yang dianggap meresahkan masyarakat dan perlunya segera revisi Undang-Undang keormasan dan implementasi proyek De-radikalisasi secara serius dengan melibatkan banyak pihak.Dari empat point diatas, waktu yang akan membuktikan kebenarannya.
Saat ini, justru saya melihat arus opini dan propaganda yang tidak proporsional. Aneh, kenapa kasus Cikeusik larinya ke opini pembubaran ormas? Kenapa lupa bahwa akar persoalannya adalah eksistensi Ahmadiyah itu sendiri dan sikap penguasa yang tidak tegas. Kenapa juga kesannya aparat dilapangan melakukan pembiaran, padahal tanda-tanda bentrokan juga sudah kehendus lebih dahulu.Dan akhirnya masalah ini mendapatkan perhatian dari pihak AS, HRW, Amnesty International, Komisi HAM Antar Pemerintah ASEAN (AICHR) dan LSM komprador berkoar kesana-kemari menyodok dan menyalahkan umat Islam wabil khusus ormas Islam tertentu, ada apa ini? Target dan tujuan ending dari kasus ini mengisaratkan adanya by design, konspirasi dan bukan murni accident.
Keuntungan bagi LSM liberal?
Kasus Cikeusik jelas-jelas menjadi “angin surga” kelompok pengusung Sepilis (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme). LSM komprador, mereka itu cuma cari duit recehan dari pihak Asing. Setiap ada kasus seperti ini, kesempatan membuat proposal dengan alasan mengadvokasi dan memperjuangkan HAM dalam berbagai aspek. Ini ironi dengan sikap mereka ketika bisu dan tuli terhadap kekerasan fisik sarat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara melalui aparat Densus88 dalam kasus “terorisme”. Demikian juga kekerasan-kekerasan simbolis yang terjadi akibat tuduhan gegabah dengan melabeli “teroris” kepada orang-orang yang mengusung penegakkan syariat dalam bingkai Negara. Saya Tanya; dimana mereka dalam kasus ini??
Pemerintah dengan pemimpin yang ambigu?
Sikap presiden selalu ambigu dalam banyak kasus. Saya dengar dia presiden yang taat asas dan prosedur, seharunya sekarang buktikan donk! SKB sudah keluar, pelanggaran jemaat Ahmadiyah yang disampaikan MUI dan masyarakat seharusnya ada respond dan penyikapan yang semestinya. Payung hukum tentang penodaan agama juga ada (PNPS no.1 tahun 1965), kurang apa lagi? Kalau perlu presiden mengeluarkan Keppres pembubaran Ahmadiyah. Tapi belakangan malah mempersoalkan ormas yang dianggap meresahkan, apa maunya? Saya lihat presiden lebih condong memperhatikan “citra” dan pandangan “Asing” terhadap dirinya seraya mengabaikan rasa keadilan public dalam kasus penodaan keyakinan oleh Ahmadiyah terhadap mayoritas umat Islam Indonesia. Apalagi setelah AS mengkritisi, LSM internasional juga angkat bicara, sering kali umat Islam ini di dzalimi dinegerinya sendiri yang katanya menjunjung tinggi asas demokrasi dan HAM!
Dan saat ini Amerika juga ikut-ikutan menyikapi kasus dalam negeri Indonesia. Ini logis karena isu Ahmadiyah bisa menjadi pintu masuk intervensi dan menjaga kepentingan mereka. Karena isu ini masuk dalam ranah HAM, dan Indonesia sudah terjebak dalam logika HAM ala Amerika dan sekutunya. Sementara AS paling mudah melakukan intervensi politik dengan kedok HAM dan Demokrasi terhadap para penguasa negeri Islam yang gandrung untuk disebut sebagai pemimpin yang demokratis, moderat dan loyal kepada war on terrorism.
Solusi isu Ahmadiyah?
Saya hanya melihat jalan keluar yang paling “kompromistis” hanya satu pilihan; mereka rujuk ilal haq atau jika tetap tidak mau maka pemerintah wajib bubarkan Ahmadiyah dan perlu dinyatakan mereka adalah non-muslim dengan segala konsekuensi hukumnya. Jika tidak demikian; sama artinya pemerintah memelihara benih konflik, permusuhan dan disharmononisasi dalam kehidupan social politik. Kesabaran umat Islam ada batas toleransinya, dan itu harus dimengerti oleh semua pihak.
Wallahu a’lam bisshowab
Oleh: Harits Abu Ulya (Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI)