Media-media Barat sudah sejak lama terkenal menerapkan sikap standar ganda dalam meliput sebuah peristiwa. Fenomena ini memang tidak aneh setelah mengetahui betapa media-media Barat yang kita anggap independen itu ternyata hanya corong kepentingan negaranya. Standar ganda negara-negara Barat pada akhirnya melahirkan standar ganda pada media-media massanya.
Media-media Barat saat meliput transformasi Tunisia dan Mesir, selalu berusaha untuk menyebarkan keraguan. Gaya peliputan media-media Barat atas revolusi Tunisia dan Mesir bertolak belakang ketika mereka meliput Revolusi Beludru di Georgia dan Ukraina. Karena dalam Revolusi Beludru Barat menjadi pemain utama baik dari sisi politik maupun media.
Media-media Barat di akhir tahun 2003 meliput secara luas demonstrasi rakyat di Georgia. Gambar yang ditayangkan oleh media-media Barat sangat mempengaruhi opini publik. Gelombang propaganda media-media Barat pada waktu itu dilakukan untuk mendukung Mikheil Saakashvili yang merupakan sekutu Barat di Georgia. Begitu gencar propaganda yang dilakukan sehingga revolusi Saakashvili disebut sebagai Revolusi Berwarna atau Revolusi Mawar.
Satu tahun setengah pasca Revolusi Beludru di Georgia, media-media Barat yang sama menerapkan cara yang sama dalam meliput Revolusi Oranye di Ukraina. Media-media Barat membusungkan dadanya menjadi pendukung utama Revolusi Oranye.
Namun yang menjadi pertanyaan saat ini, bagaimana sikap media-media Barat terkait dua revolusi rakyat Arab yang menentang dua tokoh yang selama ini menjadi sekutu mereka?
Dalam kebangkitan rakyat Tunisia, media-media Barat justeru berusaha melakukan penyensoran, hingga dua hari menjelang tumbangnya diktator Zine Al Abidine Ben Ali. Revolusi rakyat Mesir mulai mendapat perhatian media-media Barat karena merupakan kelanjutan dari kebangkitan rakyat Tunisia. Tapi yang patut dicermati, liputan media-media Barat ternyata hanya fokus pada kerusuhan dan konflik kecil yang terjadi di sana. Mereka menutup mata dari aksi demonstrasi besar-besaran rakyat dan aksi brutal pasukan keamanan terhadap warga. Pada prinsipnya, media-media Barat bahkan tidak berbicara mengenai hak asasi manusia, kebebasan dan demokrasi terkait Revolusi rakyat Mesir dan Tunisia.
Ironinya, media-media Arab sendiri ternyata menunjukkan kinerja yang patut disayangkan dan hanya mengekor kinerja Barat. Selain media-media televisi nasional sejumlah negara-negara Arab dan Islam dalam mendukung rezim Hosni Mubarak, sebagian televisi Arab bertaraf internasional justeru menyebut aksi demonstrasi luas rakyat sebagai aksi kerusuhan sejumlah kecil warga!
Televisi Alarabiya milik Arab Saudi dalam liputannya yang sudah tidak obyektif lagi malah berusaha menciptakan ketakutan di tengah-tengah rakyat Mesir agar tidak mengikuti aksi demonstrasi. Televisi Alarabiya menakut-nakuti warga Mesir akan munculnya kelaparan, naiknya harga-harga dan penjarahan kekayaan warga bila Hosni Mubarak lengser.
Lebih aneh lagi, televisi Arab Saudi ini hanya meliput pernyataan para pejabat rezim Hosni Mubarak, termasuk Omar Sulaiman dan Ahmad Abulgheit. Televisi ini berusaha mendoktrin pemirsanya bahwa pemerintahan yang baru dibentuk Mubarak mampu mengatasi kondisi yang ada dan bahkan memperbaiki kondisi ekonomi Mesir. Alarabiya dengan tayangan langsungnya berusaha meyakinkan pemirsanya bahwa hanya beberapa warga saja yang turun ke jalan-jalan untuk meneriakkan yel-yel anti rezim Mubarak.
Sebenarnya kinerja televisi Alarabiya seperti ini bukan hal yang aneh. Karena dalam Perang 33 Hari Lebanon, televisi ini telah mengambil sikap yang sama dengan mendukung Zionis Israel. Itulah mengapa Sayid Hasan Nasrullah, Sekjen Hizbullah tidak menyebutnya Alarabiya tapi Alibriya! (IRIB/SL/MZ)