Banyak dari kita masih tercengang oleh berita yang sangat aneh tentang warga negara Amerika berusia 19 tahun kelahiran Somalia, Muhammad Osman Mohamud, yang ditahan pada 25 November karena berusaha meledakkan sebuah upacara menghidupkan pohon Natal di Portland, Oregon. Mengesampingkan pertanyaan yang berhubungan dengan awal dari keterlibatan FBI dalam kasus ini, nampaknya bahwa meskipun terdapat ratusan juta dolar yang dihabiskan pada program kontra-radikalisasi di AS, Eropa, dan negara-negara mayoritas Muslim di seluruh dunia, seorang pemuda Amerika yang nampaknya menyesuaikan diri dengan baik sekali lagi berkeinginan untuk melakukan sebuah tindakan kekerasan yang mengerikan.
Jika strategi untuk menghalangi kekerasan ekstrimis menjadi efektif, kita harus melihat kelebihan dan kekurangan strategi tersebut.
Di mana suara Osama bin Laden dan Ayman Al-Zawahiri telah memudar, aliran baru dari pemuda berada dalam resiko terinspirasi oleh kecenderungan ideolog Anwar Al-Awlaki. Meskipun terdapat jumlah mereka yang sedikit dan kurangnya para pengikut, para ekstrimis seperti Al-Awlaki secara tidak proporsional mempengaruhi wacana hubungan Muslim-Barat karena tindakan-tindakan kekerasan mereka tertangkap sebagian besar halaman utama media dan memberikan amunisi pada para opurtunis politik untuk menetapkan lebih jauh mempersulit hubungan Muslim dan dunia Barat.
Dalam sebuah upaya untuk memerangi pengaruh radikal para ideolog, keseluruhan kader para pemimpin Muslim di seluruh dunia telah maju dengan kampanye aktif untuk membawa "Islam" keluar dari "terorisme Muslim". Mereka bertujuan untuk memperjelas bahwa tindakan-tindakan kekerasan tidak hanya secara moral memuakkan namun pelanggaran nyata dari prinsip-prinsip dan hukum Islam.
Contohnya, awal tahun ini sebuah kelompok cendikiawan Muslim internasional berkumpul di Mardin, Turki dengan tujuan untuk secara publik membantah fatwa yang bernama buruk oleh ulama abad ke-14 Ibnu Taymiyyah yang menyerukan kekerasan terhadap para penguasa non-Muslim. Fatwa tersebut telah digunakan berulang kali sebagai pembenaran oleh para ekstrimis.
Sama halnya, awal tahun ini cendikiawan Dr. Muhammad Tahir ul-Qadri mengeluarkan sebuah fatwa 600 halaman mengutuk "terorisme Muslim". Mengandalkan sumber-sumber dan metodologi tradisional, para cendikiwan tersebut, seperti halnya ul-Qadri berharap untuk menghentikan ideolog-ideolog monopoli kekerasan yang pernah memegang atas wacana tentang hubungan Muslim dan dunia Barat.
Pemerintah, kelompok sipil dan para pemimpin Muslim di seluruh dunia telah mendukung upaya ini dalam sejumlah cara. Contohnya, dalam Radical Middle Way dan Yayasan Quilliam Inggris telah mengusahakan untuk mendidik publik tentang Islam, sementara pada saat yang bersamaan memajukan sebuah identitas Muslim Inggris dengan nyata untuk memunculkan para pemuda. Mereka melakukan hal tersebut dengan bantuan para pemimpin Muslim ternama seperti Hamza Yusuf dan Abdul Hakim Murad.
Sementara upaya-upaya tersebut seharusnya dikutuk, banyak dari mereka telah gagal dari mandat mereka karena sebagian besar orientasi non-politik mereka. Jika secara potensial menetralkan radikalisasi kekerasan para muda Muslim dan menghalangi ekstrimisme keagamaan adalah tunjuannya, bagaimana pendekatan-pendekatan semacam ini mencapai target penonton tanpa menawarkan sebuah katup tekanan yang layak dalam dunia yang sangat penuh konflik saat ini? Bagaimana bisa program semacam itu bisa mempengaruhi kemarahan dan sifat permusuhan untuk menghalangi ekstrimisme?
Ini merupakan hal yang masuk akal bagi sebagian besar orang bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok seperti Al-Qaeda dan calon-calonnya yang terus bertumbuh adalah politik pada asalnya namun dikemas dalam ideologi keagamaan. Para pemuda Muslim saat ini sangat marah, contohnya, dengan serangan drone yang salah arah di Pakistan yang membunuh para wanita dan anak-anak yang tidak berdosa, dan yang nampaknya penindasan tanpa akhir warga Palestina. Keduanya, Afghanistan dan Somalia, tempat-tempat panas teroris telah digagalkan selama dua generasi; para muda di negara-negara tersebut hanya mengenal perselisihan sosial, perang dan janji-janji yang teringkari dari komunitas internasional.
Ini adalah kondisi-kondisi kasar yang mematangkan ekstrimisme. Meskipun demikian, program-program kontra-radikalisasi sering menjauhkan diri dari percakapan politik yang susah dan langsung. Malahan, mereka terlalu menekankan topik seperti warisan multikultural dari Cordoba di Spanyol, ajaran spiritual batin dari saga-saga Sufi, dan pencapaian ilmiah dari dunia Muslim pertengahan.
Para pemimpin Muslim dan sekutu-sekutu mereka di pemerintahan dan masyarakat sipil harus bergerak semata-mata melebihi mendidik teladan "Muslim yang Baik" dan mendorong tindakan-tindakan baik kewarganegaraan seperti amal dan layanan masyarakat. Mereka harus menyadari bahwa cerita-cerita penyiksaan dengan siraman air dan gambar-gambar Abu Ghraib akan memiliki sebuah pengaruh yang jauh lebih mendalam pada pembentukan persepsi politik para muda Muslim dari para kata-kata pidato penuh perasaan Presiden AS Barack Obama tentang perdamaian atau deklarasi antar agama dari para ulama Muslim.
Jika para pemimpin Muslim diharapkan untuk membimbing para muda mereka dalam sebuah alasan keagamaan menentang kekerasan dan ekstrimisme mereka juga seharusnya didorongkan keberanian untuk berbicara kebenaran untuk memberikan kekuatan menentang masalah ketidakadilan politik, yang adalah faktor-faktor nyata dalam memperparah ekstrimisme. Dengan mengabaikan seruan ini, para pemimpin Muslim dan sekutu-sekutu mereka tidak akan hanya terlihat oleh penonton target mereka hanya sebagai boneka pemerintah Barat, namun menjamin bahwa masa yang tidak terpengaruh tersebut dipaksa masuk ke dalam dunia ektrimisme dunia maya yang muram dan tangan-tangan tokoh-tokoh seperti Al-Awlaki.
Abbas Barzegar adalah Asisten Profesor Islam dalam Departemen Studi Keagamaan di Universitas Negeri georgia dan Co-editor dari "Islamism: Contested Perspectives on Political Islam" (Suaramedia.com)