"Saya tidak mau mengajukan gugatan hukum, dan sampai sekarang pun saya tidak ingin membicarakannya lagi. Saya sudah berusaha melakukan setiap langkah yang bisa membuat saya hidup dengan kenangan ini dengan niat baik dan rasa cinta, tapi semua itu tidak memberikan saya sebuah pilihan," kata Dokter Izzedin Abulaish lewat sambungan telepon dari Toronto, Kanada.
Dokter spesialis ginekolog asal Palestina itu memilih pindah ke Kanada setelah tiga putrinya gugur syahid dalam agresi Israel ke Jalur Gaza dua tahun yang lalu. Meski mencoba menerima kehilangan puterinya, dokter yang bekerja di sejumlah rumah sakit Israel selama puluhan tahun itu tak bisa melupakan tragedi itu. Ia akhirnya memutuskan untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap pemerintah Israel atas "kerugian besar" yang dialaminya. Tuntutan itu akan diajukan secara resmi hari Minggu (26/12) ke pengadilan Israel.
"Menurut hukum, undang-undang pembatasan akan diberlakukan dalam kasus ini dalam beberapa minggu--tapi tidak undang-undang pembatasan tidak berlaku atas nama darah puteri-puteri saya. Tragedi itu akan mengikuti saya selamanya. Ini adalah bencana yang tidak mungkin dilupakan," ujar Dokter Abulaish.
Peristiwa yang menimpanya terjadi pada 16 Januari 2009, ketika militer Zionis Israel sedang gencar-gencarnya melakukan operasi "Cast Lead" ke Jalur Gaza. Pasukan Zionis menembakkan dua mortir ke jendela rumah Abulaish dan seketika menewaskan tiga puteri Abulaish yang berada di dalam rumah; Bessan (20), Mayar (15) dan Aya (14). Seorang ponakan perempuan Abulaish bernama Nour (17) juga gugur syahid dalam insiden itu, sementara puterinya yang lain bernama Shada (18) dan anggota keluarganya lainnya menderita luka-luka.
Insiden mengerikan itu secara kebetulan tayang di televisi Israel dan disaksikan publik Israel, karena saat itu Abulaish sedang diwawancarai oleh sebuah saluran televisi Israel. Awalnya, Abulaish meminta kuasa hukumnya untuk tidak mengajukan gugatan hukum dan hanya meminta "penyelesaian" dari militer Zionis Israel. Abulaish hanya menuntut militer Israel mengakui serangan tersebut dan memberikan kompensasi. Tapi pihak militer Zionis tidak juga memenuhi permintaan Abulaish. Penasehat hukum Departemen Pertahanan Israel Ahaz Ben-Ari pekan ini bahkan menyatakan bahwa Abulaish tidak pantas menerima kompensasi.
"Meski berakibat menyakitkan, dari sisi hukum, kami berpendapat bahwa operasi militer yang menyebabkan anggota keluarga Dokter Abulaish menjadi korban adalah sebuah operasi peperangan. Oleh sebab itu, negara Israel tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perang itu," kata Ben-Ari.
Michael Sfrad, pengacara yang mewakili Abulaish menilai sikap Departemen Pertahanan Israel memalukan. "Departemen Pertahanan bukan hanya menunjukkan kebiadabannya, tapi juga tidak sensitif dan tidak bijak," kecam Sfrad.
Ia memastikan bahwa pemerinta Israel akan menghadapi balasan yang keras dari gugatan yang akan diajukan Abulaish. "Pada akhirnya, Israel pasti harus membayar kompensasi. Sebagai pengacara Abulaish, saya tidak hanya marah tapi sangat malu sebagai orang Israel," tukas Sfrad.
Meski mengajukan gugatan hukum, Abulaish mengatakan bahwa ia tidak pernah kehilangan harapan akan adanya perdamaian dan rekonsiliasi. "Saya bangun setiap pagi dan mendengar puteri-puteri saya mengatakan 'jangan marah. Ubahlah kemarahan menjadi sesuatu yang positif. Selamatkan banyak nyawa, lanjutkan pesan-pesan yang dengannya engkau mendidik kami,'" ungkap Abulaish.
"Saya bersumpah demi Allah dan demi puteri-puteri saya, bahwa saya tidak akan berhenti sampai bertemu mereka dan mengatakan pada mereka 'saya sudah mendapatkan keadilan, dan darah kalian yang tumpah tidak sia-sia tapi telah mengubah sesuatu di dunia ini,'" imbuh Abulaish. (eramuslim.com)