Penulis sejarah asal Iran, Atha Malek Jouyani, menulis buku yang berjudul "Tarikhe Jahan-ghosha." Dalam bukunya, ia menyebutkan peristiwa sejarah terkait serangan bangsa Mongolia ke negara-negara Islam, termasuk Iran. Jengis Khan dan pasukannya melakukan banyak kejahatan dan melakukan banyak kerusakan. Buku karya Jouyani itu menyebutkan masuknya Jengis ke Bukhara dan menduduki masjid kota itu. Jouyani menulis, "Jengis setelah melihat masjid bertanya; Tempat apakah ini? Istana raja?" Pertanyaan Jengis itu dijawab bahwa tempat yang ditanyakan itu adalah rumah Allah. Mendengar jawaban itu, Jengis memerintahkan kotak-kotak yang berisi kitab al-Quran supaya dibawa keluar masjid untuk dibakar.
Mongolia dan para penguasanya yang dikenal sangat keji menorehkan berbagai kejahatan luar biasa. Meski demikian, mereka tidak mampu menghancurkan Islam. Akan tetapi dengan berlalunya masa, bangsa Mongolia secara perlahan-lahan malah menerima Islam sebagai agama dan menjadikan al-Quran sebagai kitab bimbingan mereka. Padahal pada awalnya, bangsa ini menghina Islam dengan membakar al-Quran.
Sejarah membuktikan bahwa kekerasan terhadap agama, moral dan budaya bukanlah fenomena baru di dunia. Bahkan dalam berbagai periode disebutkan bahwa banyak pihak yang berupaya mematikan cahaya hakikat. Akan tetapi mereka malah terjebak dalam kehancuran, dan sebaliknya, budaya yang berakar kuat pada kebenaran dan hakikat, malah dapat bertahan.
Penghinaan atas Islam dan al-Quran kembali terulang. Belum lama ini, sejumlah kelompok di AS dan negara-negara Eropa menghina Islam dan al-Quran. Semua ini menunjukkan superioritas jahiliah yang masih berakar dalam sejarah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jahiliyah ternyata tidak terbatas pada masa lalu, bahkan terus berlangsung hingga kini. Penghinaan terhadap al-Quran yang belum lama terjadi di AS, mengindikasikan jahiliyah modern.
George Zaidan, seorang penulis sejarah Kristen dalam bukunya History of Islamic Civilization, menulis, "Setelah tragedi Andalusia dan pembantaian massal atas ummat Islam di kawasan itu oleh bangsa Eropa pada abad keenam hijriah, ribuan buku dibakar." Padahal buku-buku berharga itu ditulis oleh ilmuwan muslim dalam berbagai bidang seperti biologi, matematika, sastra, filsafat dan ilmu logika. Bangsa Eropa juga membakar tiga juta buku dalam serangannya ke Syam (Suriah saat ini) dan Palestina.
Zaidan dalam bukunya juga menulis, tindakan pembakaran buku yang sangat memalukan, akan terus melekat pada Barat, bahkan hal itu tidak akan dapat menutupi kekalahan mental mereka. Setelah itu, bangsa Mongolia menyusul dengan melakukan hal yang serupa dalam berbagai serangannya ke negara-negara Islam.
Tokoh lain yang dapat dibandingkan dengan Jengis Khan dari sisi kebengisan, adalah Adolf Hitler. Ia selain melakukan banyak kejahatan, juga membakar buku-buku. Pada tanggal 10 Mei 1933, pengikut Nazi mengumumkan pesta rakyat. Mereka menyatakan akan melakukan pembakaran dalam pesta ini, sedangkan bahan pembakarnya adalah buku. Pada hari itu, orang-orang bodoh di berbagai kota Jerman menyerang toko-toko buku dan perpustakaan, serta membakar 30 ribu buku. Dalam acara itu, mereka bersenang-senang sambil mendengar musik dan membakar buku-buku.
Ini semua adalah buah pikiran jahiliyah. Orang-orang bodoh ini berpikir bahwa bila karya-karya seperti Bertolt Brecht dibakar, maka pemikiran oposisi akan sirna dan hanya ideologi rasis dan radikal yang tersisa.
Fernando Baez penulis buku A Universal History of the Destruction of Books mengungkap sejarah pembakaran buku di AS. Disebutkannya, "Karena serangan anti kemanusiaan AS terhadap Hiroshima dan Nagasaki, hanya sedikit orang yang menyinggung bahwa serangan udara itu juga menyebabkan terbakarnya perpustakaan besar dan terkenal di Tokyo."
Baez dalam bukunya menulis, "Nazi selain melakukan pembakaran buku pada tahun 1933, juga membakar 723 perpustakaan Perancis lainnya. Akan tetapi sejarah AS menyaksikan berbagai periode pembakaran al-Quran." Disebutkan, "Hanya antara tahun 1940 hingga 1941 terdapat ribuan buku yang dibakar di bundaran-bundaran umum AS. Buku-buku itu dibakar karena kandungannya bertentangan dengan pandangan Kongres."
Pembakaran buku hingga kini masih berlaku di AS. Diberitakan pula, Pentagon belum lama ini membakar 10 ribu buku yang dianggap mengancam keamanan nasional AS. Pentagon membeli 10 ribu ekslempar buku Operation Dark Heart yang mengungkap rahasia intelejen AS. Setelah dibeli, buku itu dibakar. Mantan perwira Badan Intelijen AS, Tony Shaffer dalam bukunya, Operation Dark Heart, menceritakan pengalamannya selama lima bulan di Afghanistan. Pentagon membayar 47 ribu dolar yang didapatkan dari pajak rakyat AS, kepada penerbit buku Operation Dark Heart.
Hal yang serupa pernah dilalukan CIA pada tahun 1964. Saat itu, CIA melarang buku yang berjudul The Invisible Government. Akan tetapi dampak pelarangan itu malah menjadikan buku itu terlaris di AS.
Tak diragukan lagi, peristiwa sejarah berpengaruh pada sejumlah seniman berbagai negara, bahkan memaksa mereka untuk bereaksi. Pada tahun 1966, Francois Truffaut membuat film Fahrenheit 451. Film itu menceritakan pembakaran buku secara detail.
Dalam film itu diceritakan bahwa semua buku membahayakan. Untuk itu, buku-buku harus dibakar. Masyarakat diceritakan tidak boleh memiliki buku. Pada suatu saat, seorang berpikir bahwa buku jangan dibakar, tapi harus terlebih dahulu dibaca. Dengan membaca buku, seseorang akan memasuki dunia baru, dan hal inilah yang menyebabkan pembaca buku berbeda dengan lainnya.
Film itu penuh dengan segmen yang menegangkan. Film itu menceritakan masyarakat yang terjebak pada kenihilan, dan solusinya hanya melalui membaca buku. Akan tetapi apakah yang menyebabkan buku itu dibakar? Jawabannya disebutkan dalam film tersebut. Disebutkan kepala pemadam kebakaran mengatakan, "Ketika membaca buku, berarti kamu lebih mengerti dari orang lain."
Saat ini, semua orang tahu bahwa buku adalah sarana tukar pikiran. Buku juga menyebabkan bertambahnya ilmu dan berubahnya pandangan manusia akan dunia dan sekitarnya. Inilah yang ditakuti kekuatan-kekuatan yang bertahan di tengah kebodohan masyarakat.
Bila masalah itu berhubungan dengan sebuah kitab suci milik agama Islam, maka hal itu akan menjadi masalah yang serius. Dari satu sisi, Barat terjebak dalam krisis akibat sejarah yang menjauhkan Tuhan. Akan tetapi dari sisi lain, Islam terus berkembang dan disambut di Barat. Kondisi ini tentunya mengkhawatirkan para penguasa di Barat. Untuk itu, kekhawatiran mereka tercermin pada pembakaran al-Quran yang dilakukan oleh orang-orang yang berwatak jahiliyah.
Selain itu, Barat juga melindungi orang-orang yang bersikap anti-Islam seperti Salman Rushdie, penulis Buku Ayat-Ayat Setan. Penulis anti-Islam ini mendapat dukungan dari pemerintah Inggris.
Pada faktanya, penghinaan atas nilai-nilai sakral ummat Islam itu cenderung dilakukan oleh para pejabat, politisi dan media-media, bukan masyarakat umum. Selain masyarakat biasa, sejumlah seniman juga terkadang menunjukkan sikap menentang penghinaan atas nilai-nilai suci dan sakral. John Ray Grisham, penulis asal AS, saat tiba di Jerman, mengkritik keras rencana pembakaran al-Qurandi AS. Dalam wawancaranya di Hamburg, Grisham mengatakan, "Ini adalah tindakan sekelompok fanatis dan radikal." Dikatakannya pula, "Pendeta Terry Jones adalah orang gila dan radikal yang cenderung menyebarkan kebencian dari pada harus melakukan tugas-tugasnya."
Di penghujung acara ini, kami akan mengajak anda untuk mendengarkan ayat 32 dan 33 surat Al-Taubah.
Yang artinya:
Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.(IRIB/AR/SL)