Pemberian remisi kepada sejumlah terpidana korupsi disayangkan sejumlah pihak. Pasalnya, pemberian remisi kepada para koruptor itu terjadi saat Indonesia getol memerangi korupsi.
"Bagaimana bisa saat Indonesia getol memerangi korupsi, justru pemerintah memberikan hujan remisi kepada koruptor. Jadi jangan diobral," kata Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, 21 Agustus 2010.
Zaenal mengatakan mudahnya pemberian remisi kepada para koruptor merupakan bentuk lemahnya penegakan hukum dalam upaya pemberantasan korupsi. Sehingga, kata dia, jika remisi itu diobral untuk para koruptor, sulit bagi Indonesia untuk menghentikan korupsi yang terjadi di berbagai level.
"Itu lah, ada dua hal yang sangat lemah, penjatuhan hukumannya sangat lemah setelah dihukum mendapat remisi pula," kata dia.
Menurut dia, penegakan hukum semacam ini melemahkan efek jera terhadap para pelaku korupsi. "Akibatnya, rasa takut untuk melakukan korupsi semakin berkurang dan bahkan tidak ada lagi," kata dia.
Sebagaimana diketahui, kemarin sebanyak 58.234 narapidana mendapatkan remisi pada perayaan HUT RI ke-65. Dari jumlah tersebut, sebanyak 330 narapidana kasus korupsi dan 11 orang di antaranya langsung bebas setelah masa penjaranya dikurangi.
Alasan pemberian remisi karena para narapidana berkelakuan baik, tidak pernah memiliki catatan buruk selama menjalani masa hukuman.
Narapidana korupsi yang mendapat remisi itu diantaranya Aulia Pohan. Seperti diketahui Aulia Pohan yang merupakan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus aliran dana Bank Indonesia sebesar Rp 100 miliar.
Mantan Deputi Bank Indonesia itu pada tingkat kasasi diputus hukuman penjara tiga tahun dengan denda Rp200 juta. Aulia, mendapat hadiah pengurangan hukuman selama tiga bulan melalui remisi.
Tapi Sudi Silalahi menegaskan bahwa pemberian remisi kepada Aulia Pohan itu bukan atas petunjuk presiden. Remisi itu, katanya, murni pertimbangan Menteri Hukum dan Ham.
Pemerintah diminta jangan lagi memberi remisi pada koruptor. Patut dicatat, korupsi adalah kejahatan luar biasa seperti halnya terorisme. Mereka tidak pantas mendapatkan diskon masa penahanan atas kejahatan yang dilakukannya.
"Remisi hukuman yang diberikan tidak akan memberi efek jera, bahkan menciderai semangat pemberantasan korupsi," kata ahli hukum pidana, Eddy OS Hiariej, Sabtu (21/8/2010).
Dia menjelaskan, atas alasan apapun, seorang koruptor tidak layak mendapatkan remisi. "Korupsi adalah kejahatan atas kemanusiaan," terangnya.
Karena itu, perlu dibuat aturan menteri yang mengatur bahwa sejumlah tindak pidana tidak pantas mendapatkan remisi, seperti terorisme, narkoba, dan korupsi. "Kejahatan itu merusak sendi-sendi masyarakat, dan dalam melakukan kejahatannya mereka pun tidak memiliki perasaan atas kepentingan masyarakat" tutupnya.
Seperti diketahui, dalam peringatan HUT ke-65 RI, beberapa koruptor mendapatkan remisi. Bahkan 11 di antaranya mendapatkan pembebasan bersyarat setelah mendapatkan remisi itu, antara lain Aulia Pohan, Yusuf Erwin Faishal, dan beberapa lainnya yang tersangkut kasus aliran dana BI. (Suaramedia.com)