RATUSAN truk yang membawa barang kebutuhan sehari-hari itu berbaris melalui Kerem Shalom ke Jalur Gaza, sejak pekan lalu. Barang bantuan itu datang dari berbagai sumber: negara-negara Arab, Eropa, hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa. Isinya tak cuma makanan, tapi juga bahan untuk membangun rumah.
Kesibukan di gerbang penyeberangan di tenggara Gaza yang berbatasan dengan Israel itu kontras dengan situasi selama tiga tahun terakhir. Sejak 2007, Israel menghambat bantuan yang melewati gerbang tersebut. Mesir mengikuti dengan lebih kerap menutup ketimbang membuka gerbang perbatasan Rafah.
Mulai saat itu pula, Gaza praktis menjadi penjara besar bagi penduduknya. Mereka tak bisa bepergian ke mana pun dan hanya sedikit barang kebutuhan yang bisa masuk. Blokade makin menyesakkan karena Israel menutup pula akses dari arah laut.
Israel berdalih harus memblokade Gaza lantaran roket Hamas sering meluncur ke permukiman Yahudi. Mereka juga menuntut dibebaskannya Gilad Shalit, tentara Israel yang diculik kelompok Hamas, yang memerintah Palestina sejak menang dalam pemilihan umum pada 2006.
"Kami tak pernah melihat penduduk Gaza sebagai musuh. Kami tak pernah keberatan barang keperluan sehari-hari masuk ke sana," juru bicara Israel, Mark Regev, berkilah. Meski jalan darat dibuka, penjagaan masih ketat di laut. "Agar tak ada penyelundupan," ujar Regev. Tak boleh ada roket dan amunisi, dari Iran, Suriah, Hizbullah di Libanon, yang sampai ke tangan Hamas. "Kalau masuk, itu semua mengarah ke warga kami," Regev menambahkan.
Sebelum Israel mengendurkan blokadenya, Mesir telah lebih dulu melonggarkan perbatasan dengan Gaza. Sikap yang meringankan penderitaan warga Gaza itu tak lepas dari lobi bekas Perdana Menteri Inggris Tony Blair sepanjang dua pekan lalu.
Blair diutus empat sekawan, Amerika, Rusia, Uni Eropa, dan PBB, untuk berunding dengan Israel sejak tahun lalu. Namun baru sekarang upayanya membuahkan hasil. Blair juga mengawasi selama sehari arus angkutan itu keluar-masuk Gaza. "Saya ingin melihat bagaimana efektivitas kesepakatan itu," kata Blair. "Kami ingin menyumbang harapan buat warga Gaza dan masa depan mereka."
l l l
Pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu itu cuma berlangsung setengah jam. Blair sudah cocok dengan dokumen usulan perjanjian yang dibuat stafnya dengan pemerintah Israel. Pertemuan berlangsung di kantor sang Perdana Menteri, Selasa dua pekan lalu. Itu pertemuan ketiga di antara mereka dalam dua pekan. Sebelumnya, mereka juga melakukan pembicaraan intensif lewat telepon.
Hanya lima hari waktu yang dibutuhkan untuk menyepakati pelonggaran blokade atas Jalur Gaza. Israel melunak lantaran tekanan internasional begitu kuat meminta penyelidikan atas kebijakan menembak para aktivis kemanusiaan di kapal Mavi Marmara. Penembakan oleh pasukan parakomando Israel yang menewaskan sembilan aktivis dan melukai ratusan lainnya itu dikecam lawan dan kawan.
Kanselir Jerman Angela Merkel mengecam Israel. Rusia bahkan mendukung Dewan Keamanan PBB membentuk tim penyidik internasional atas kasus itu. Cuma Inggris dan Amerika yang lunak. Kedua negara tersebut selama ini memang dikenal sebagai pendukung kebijakan Israel. Tekanan internasional itu membuat Netanyahu melunak soal blokade.
Kesepakatan melonggarkan blokade itu terdiri atas tiga hal. Pertama, mengkaji kembali barang yang tak boleh masuk ke Gaza dan mendaftarnya secara eksplisit. Di luar daftar itu, barang lain diperbolehkan masuk ke Gaza. Kedua, mendukung upaya PBB membuat gedung sekolah, rumah sakit, dan permukiman buat warga Gaza. Dengan demikian, bahan bangunan diperbolehkan masuk.
Sebelumnya, Israel menganggap bahan bangunan sebagai bagian dari infrastruktur Hamas untuk melawan Israel. Negeri Yahudi itu khawatir bahan bangunan digunakan Hamas untuk membuat terowongan guna menyelundupkan senjata dan amunisi. Ketiga, Israel bersama Uni Eropa dan Otoritas Palestina menjadi pengawas lalu lintas barang di Jalur Gaza. Yang terakhir ini belum sepenuhnya direalisasi.
Tak semua pihak di Israel gembira dengan kesepakatan ini. Kepala Keamanan Dalam Negeri Shin Bet, Yuval Diskin, memperingatkan Komisi Keamanan dan Luar Negeri Knesset perihal kesepakatan ini. "Ini bisa membahayakan pembangunan di Israel, meski nantinya akan ada pemeriksaan di pelabuhan (Ashdod), sebelum masuk ke Gaza."
Diskin mengingatkan saat ini Hamas masih menyelundupkan berbagai senjata rakitan. "Hamas punya empat ribu roket, dengan jarak tembak hingga 40 kilometer," ujarnya. Belum lagi peluru kendali yang bisa mencapai perkotaan Israel.
Toh, Netanyahu memiliki ruang gerak yang terbatas. Empat sekawan tak mau ada masalah lebih besar dari dunia internasional terkait dengan aksi tentara Israel pada akhir Mei lalu. Abang Sam menghitung, sekutunya untuk membuat Iran tak bisa membuat senjata nuklir berkurang bila Turki terus-terusan protes. Kawan lama di Timur Tengah itu telah mengancam Amerika untuk tegas terhadap Israel.
Taktik Israel membentuk komisi penyelidik kasus Mavi Marmara tak sepenuhnya berhasil, apalagi mereka belum merealisasinya. Menurut Blair, Israel mendapat bantuan dari PBB dan Uni Eropa untuk mengawasi pengenduran blokade itu. Dalam jangka panjang, prajuritnya yang diculik Hamas, Gilad Shalit, bisa kembali ke tanah airnya. Blair telah meminta Otoritas Palestina membantu membujuk Hamas agar mau membebaskan sang serdadu. "Satu nyawa ditukar satu setengah juta warga Gaza, saya pikir itu hal yang baik."
Blair tak menyia-nyiakan pula kesempatan untuk meretas jalan agar Otoritas Palestina, Hamas, dan Fatah berunding dengan Israel untuk mencapai perdamaian di Timur Tengah. "Sekarang semua terserah Hamas, kami sudah mengundangnya ke perundingan, termasuk dengan kesepakatan ini," kata Blair.
Pejabat Palestina, Raed Fatouh, menilai kebijakan Israel masih belum cukup. Dia menunjuk bahan mentah yang tak bisa diproduksi karena bahan bakar kurang. Banyak pabrik tutup lantaran kekurangan bahan baku. Truk yang diizinkan lewat baru sekitar 140 unit, belum bisa menggenjot produksi buat Palestina. "Kami menunggu janji Israel mengizinkan alat pancing serta bahan kosmetik dan kimia masuk ke Palestina."
Warga Palestina mesti diyakinkan, kata Fatouh, bahwa kebijakan Israel betul-betul berubah, tak cuma sementara. Bukan sekadar menanggapi kecaman keras dunia internasional atas perbuatan telengas mereka terhadap konvoi kapal pembawa bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Seiring dengan lebih bebasnya barang masuk ke Gaza, penjagaan lebih ketat dilakukan pihak Hamas. Para pedagang Palestina khawatir barang Israel mendominasi Gaza. Soalnya, barang Israel dan produk asing lainnya biasanya lebih mahal ketimbang produk serupa dari Mesir. "Dengan membayar bea masuk saja, barang Mesir lebih murah separuh harga ketimbang produk Israel," ujar seorang pedagang.
"Kami mulai ketat, tak seperti saat perdagangan masih informal," seorang pejabat Hamas menambahkan. Mereka mengawasi barang selundupan dan barang terlarang yang bisa masuk ke Gaza, seperti minuman keras.
Seorang pejabat Uni Eropa mengatakan aspek ekonomi diharapkan dapat menjadi jembatan perdamaian antara Israel dan Palestina. Investasi ke Gaza bisa membangun negeri itu, sekaligus menciptakan perdamaian di Timur Tengah. "Sudah ada yang melihat prospek membangun pusat belanja di Gaza, untuk menciptakan lapangan kerja."
Meski sudah ada tanda-tanda bahwa kegiatan ekonomi bisa menggeser isu politik antara Israel dan Palestina, Blair masih berhati-hati. Dia menilai yang penting proses pembangunan Gaza dan kesepakatan pelonggaran blokade bisa terealisasi dengan baik. "Ini bisa jadi cikal bakal perdamaian di sana. Kita amati setahap demi setahap perkembangan realisasinya."
Di Kerem Shalom, deru truk yang melintasi perbatasan kini semakin sering terdengar. Gerbang penyeberangan tersebut sebelum ini cuma dibuka enam jam sehari, dan lima hari dalam sepekan. Itu pun tak banyak truk yang diizinkan berlalu oleh tentara Israel setelah melewati pemeriksaan ketat di Ashdod-bahkan kendati truk tersebut menggunakan atribut organisasi internasional.
Sekarang jantung Gaza berdenyut lebih kuat. Blair berharap kesepakatan pengenduran blokade menjadi pintu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi warga Gaza dengan pengawasan bersama Uni Eropa dan Otoritas Palestina. (majalahtempo)