Kekerasan berulang kali yang dilakukan Pemerintah Israel sejak dulu tidak bisa diselesaikan dengan kutukan dan demonstrasi. Perlawanan kekerasan dengan tindak kekerasan lainnya juga tidak akan mungkin mewujudkan perdamaian.
Sedikit saja ketegangan yang muncul akibat ulah Israel, baik terhadap bangsa Palestina maupun terhadap para relawan kemanusiaan, seperti yang terjadi terhadap misi kemanusiaan ke Gaza, Freedom Flotilla, akan memberi efek besar ke negara-negara lain, khususnya negara berpenduduk Muslim. Karena itu, pemerintah dan masyarakat Indonesia seharusnya memberikan perhatian khusus untuk membantu penyelesaian konflik Israel-Palestina.
Sekretaris Jenderal Konferensi Internasional Cendekiawan Islam (International Conference of Islamic Scholar/ICIS) KH A Hasyim Muzadi di Jakarta, Kamis (3/6), mengatakan, Pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan kedekatan hubungan dengan AS untuk menekan dan menjatuhkan sanksi atau hukum bagi Israel. Indonesia seharusnya bisa mendorong AS agar mampu membedakan antara tindakan terorisme dan perjuangan melawan penjajah. ”Hubungan dekat dan loyalitas Pemerintah Indonesia terhadap AS harus dimanfaatkan untuk menekan Israel,” katanya.
Tekanan itu juga dapat dilakukan dengan mendorong Mahkamah Internasional agar segera mengambil aksi nyata, tidak hanya diam menyaksikan aksi Israel. Selama ini, lanjut Hasyim, Mahkamah Internasional sering banyak menindak kasus-kasus kejahatan yang dilakukan sejumlah Presiden di negara berpenduduk Muslim. Namun, Mahkamah Internasional tidak pernah mengusut kejahatan yang dilakukan Israel.
Di luar jalur diplomasi yang dilakukan antara pemerintah dan pemerintah, masyarakat Indonesia juga dapat melakukan diplomasi dengan menggalang dukungan masyarakat internasional yang cinta kemanusiaan serta membangun hubungan dan kesepahaman dengan warga Israel yang menolak kekerasan negaranya.
Guru Besar Ilmu Sejarah Pemikiran Islam Fakultas Adab Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Abdul A’la, yang pernah berkunjung ke Israel akhir 2007, mengakui, pemahaman masyarakat Israel sendiri terhadap Islam masih banyak yang keliru. Salah satunya ditunjukkan oleh Menteri Luar Negeri Israel saat itu, Tzipi Livni, yang bertanya tentang Islam kepada A’la. Saat dijawab Islam adalah agama yang membawa kedamaian, Livni tidak percaya.
Isu sensitif
Ketidakperyaan itu bisa dimaklumi karena Israel harus berhadapan dengan serangan pejuang Palestina, yang secara salah dipersepsikan Israel sebagai serangan Islam. Perlawanan Palestina sebagai pembelaan tanah air mereka atas pendudukan Israel dianggap sebagai ancaman bagi Israel.
Meskipun demikian, lanjut A’la, banyak warga Yahudi di Israel yang menentang keras tindak kekerasan pemerintahnya. Mereka berjuang mewujudkan perdamaian Israel-Palestina ataupun menyokong pembebasan Gaza dari blokade Israel.
Kelompok perdamaian ini banyak beranggotakan para rabi, seperti Jewish Voice for Peace maupun Jewish Fast for Gaza. Organisasi-organisasi ini terus menyuarakan penghentian pendudukan Israel serta desakan mengakhiri blokade atas Gaza.
”Lobi kelompok ini memang jauh lebih lemah dibandingkan kelompok pendukung Pemerintah Israel. Tetapi, mereka dapat dirangkul untuk membangun solidaritas kemanusiaan guna mengakhiri konflik,” ungkapnya.
Kelompok Yahudi yang peduli dengan Palestina ini memang tidak dapat bersuara lantang di negara sendiri. Namun, mereka bebas menyampaikan gagasannya saat berada di AS. Kelompok Yahudi yang cinta damai ini dapat dimanfaatkan untuk memengaruhi kelompok Yahudi ultrakanan, yang menyokong penuh segala tindakan Israel.
A’la mengingatkan, untuk menekan Israel sebaiknya tidak menggunakan pendekatan agama karena justru dapat membuat renggang hubungan antarkelompok masyarakat yang sebenarnya sama-sama cinta dan peduli kemanusiaan. Pendekatan kemanusiaan seharusnya digunakan menggalang dukungan publik mana pun yang menolak kekejaman Israel.
Dianggap penjilat
Hasyim juga mengingatkan negara-negara Timur Tengah yang telah membuka hubungan diplomatik dengan Israel meninjau kembali hubungan itu. Hubungan diplomatik itu ternyata tidak memberikan manfaat bagi rakyat Palestina. Hubungan itu justru dijadikan alat bagi Israel untuk memperkuat posisinya, seperti menekan Mesir menutup gerbang Rafah, jalur darat bagi warga Gaza ke dunia luar.
Diakui, tanpa hubungan diplomatik dengan Israel, Indonesia sulit melakukan tekanan terhadap Israel. Selama ini, peran diplomasi Indonesia dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina hanya dilakukan terhadap Palestina tanpa Israel.
Persoalan perlu tidaknya membuka hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel juga merupakan persoalan sensitif yang sering menimbulkan pro dan kontra yang tidak produktif.
Diplomasi yang dilakukan Indonesia terhadap Palestina juga sudah dilakukan lewat dua cara, yaitu lewat pemerintah dan masyarakat. Hubungan antara Pemerintah Indonesia dan Palestina sudah akrab sejak dulu. Adapun diplomasi publik sejumlah lembaga di Indonesia, termasuk ICIS, menjalin hubungan personal yang baik dengan pemimpin kelompok Fatah ataupun Hamas.
Hubungan dengan Israel hampir tidak pernah dilakukan Indonesia. Hal yang bisa dilakukan Indonesia umumnya adalah melalui Duta Besar Israel untuk Singapura atau melalui Pemerintah AS.
Menurut A’la, publik Indonesia sebenarnya bisa membangun hubungan dengan kelompok-kelompok masyarakat Israel yang cinta damai. Namun, kunjungan tokoh Indonesia ke Israel selalu mendapat tentangan dari masyarakat Indonesia dan tudingan ”menjilat” Israel, seperti yang dialami A’la dan empat tokoh Muslim moderat Indonesia lainnya pada akhir 2007.
”Kami datang untuk memperkenalkan Islam dan Indonesia. Menjalin hubungan persahabatan atas dasar kemanusiaan bukan menjilat,” tegasnya. Tidak seluruh warga Yahudi dan Israel jahat dan kejam seperti pemimpin negaranya.
Oleh sebab itu, tambah A’la, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel perlu dipertimbangkan agar Indonesia dapat membantu lebih nyata dalam menyelesaikan konflik antara Israel dan Palestina dan menekan Israel setiap berbuat salah. Namun, saat hubungan Indonesia-Israel itu sudah terbangun, Indonesia harus bersikap tegas terhadap Israel dan tidak setengah hati.
Indonesia harus berani mengatakan benar atau salah atas setiap tindakan Israel. Selama ini, banyak negara yang menjalin hubungan dengan Israel justru tunduk dengan kepentingan politik Israel.
Persatuan Palestina
Menurut Hasyim, kunci menyelesaikan konflik Israel-Palestina adalah persatuan bangsa Palestina sendiri. ”Tanpa rekonsiliasi di antara sesama bangsa Palestina, kelompok yang satu akan dibiayai oleh pihak tertentu untuk membunuh kelompok yang lain. Selama Palestina tetap tercerai-berai seperti saat ini, Israel tidak akan menghentikan agresinya,” ujarnya.
Namun, persatuan bangsa Palestina itu sendiri sepertinya sulit terwujud. Selain terbagi dalam dua kelompok besar, Hamas dan Fatah, mereka juga terbagi dalam faksi-faksi kecil yang jumlahnya sangat banyak. Kelompok penentang pemerintah resmi Palestina sendiri juga banyak.
”Tidak ada saling kepercayaan di antara bangsa Palestina sendiri,” kata A’la.
Saling percaya di antara bangsa Palestina itu akan menjadi modal dalam membangun hubungan dengan Israel. Untuk membangun saling percaya itu dibutuhkan kearifan untuk tidak saling curiga dan menunjukkan itikad baik dari setiap pihak karena semua ajaran agama mengajarkan kedamaian.
”Upaya membangun rasa saling percaya memang lambat dan tak bisa diharapkan segera hasil dalam menyelesaikan konflik. Akan tetapi, langkah tanpa kekerasan ini harus dimulai karena merupakan cara yang paling mungkin dilakukan,” kata A’la.(kompas)
oleh: M Zaid Wahyudi