Masih ingat Perang Teluk 2003 yang sukses mendongkel Saddam Hussein di Irak? Kala itu Pasukan AS membawa gerombolan wartawan sehingga muncul istilah embedded journalist.
Dengan cara itu, operasi militer AS ke Irak ditulis berdasarkan versi AS dan menutup "suara lain", terutama media Arab dan media netral seperti BBC.
Saking ingin menutup "suara lain", AS membom markas Al-Jazeera dan TV Abu Dhabi, bahkan wartawan Tareq Ayyoub dari Al-Jazeera tewas dirudal.
Pada 2006, Israel mengadopsi metode itu saat "menghukum" Hizbullah di Lebanon, tapi gagal. Dua tahun kemudian, diulanginya di Gaza. Lagi-lagi gagal, malah reputasi Israel hancur karena dunia mendapatkan versi-versi lain mengenai Gaza.
Kini, giliran Freedom Flotilla memakai metode itu untuk "mengalahkan" Negara Yahudi itu karena opini publiklah yang bisa mengalahkan Israel.
Seperti AS di Perang Teluk atau Israel di Lebanon, Freedom Flotilla membawa rombongan media yang umumnya "suara lain" termasuk Al-Jazeera dan para pembela HAM, sastrawan, seniman serta politisi Barat.
Mereka hendak menulis "siapa sesungguhnya" Israel dan menyebarkan itu pada dunia.
Hari Minggu pekan lalu, Angkatan Laut Israel mencegat armada kapal milik satu LSM Turki yang hendak menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Gaza dalam misi yang disebut Freedom Flotila.
Armada itu dicegah masuk Gaza, namun mereka ngotot. Komando Israel lalu bertindak. Kapal Mavi Marmara diserbu, sembilan tewas dan puluhan terluka.
Dunia serempak mengutuk, namun Israel menuduh flotilla telah memprovokasinya untuk berbuat ekstrem agar dunia mengutuk dan memusuhinya.
George Friedman, dalam Flotillas and the Wars of Public Opinion di jurnal intelijen online STRATFOR pada 31 Mei, menyebut Israel terjebak oleh metodenya sendiri yang dulu sukses membuat musuh Israel terdeskreditkan.
George menyebut misi Freedom Flotilla ibarat skenario "Exodus" yang ditulis Leon Uris pada 1950an dan mengisahkan propaganda Israel ketika mengusir Inggris dari Palestina.
Di penghujung Perang Dunia II Inggris yang menguasai Palestina membatasi arus imigran Yahudi ke Palestina dan yang melanggar ditahan di Siprus.
Zionis lalu merancang propaganda untuk mendeskreditkan Inggris dengan membawa warga Yahudi dari Siprus (kebanyakan anak-anak yang selamat dari pembantaian Nazi) untuk diapungkan di kapal "Exodus" tanpa perbekalan cukup.
Ketika dunia tahu Exodus terlunta-lunta di laut, dunia serentak menuduh Inggris telah menelantarkan warga Yahudi dan Inggris tertekan oleh opini dunia untuk kemudian membolehkan emigran Yahudi ke Palestina.
"Exodus" juga ingin menunjukkan pada dunia bahwa dengan memerangi Inggris, Israel dianggap antiimperialis seperti nasionalis India dan Mesir di masa itu sehingga niat sesungguhnya Zinois di Palestina tidak terlihat.
Zionis tahu dunia tak mengetahui isu Palestina dan ketidaktahuan ini diisinya dengan cerita-cerita keadaan Palestina berdasarkan versi Zionis.
Benar dan salah adalah urusan belakang karena yang terpenting adalah mendramatisasi perasaan "menjadi korban" agar dunia memihaknya. Konteks itulah yang terjadi pada Flotilla, demikian STRATFOR.
Sejak 1967 dan Hamas-Fatah retak, Palestina mengalihkan fokus perjuangan ke arah perundingan dengan mengekspos penderitaan warga Palestina di bawah penguasaan Israel.
Gaza adalah fokus dari fokus itu, dan manuver ini jauh lebih efektif ketimbang bom bunuh diri atau Intifada.
Palestina berusaha membentuk persepsi global bahwa mereka korban Israel sehingga bisa menempatkan Israel dalam posisi defensif terhadap opini publik global.
Freedom Flotilla yang dikomandani organisasi sipil Turki, memuat misi seperti itu.
Krisis
Seperti skenario Zionis ke Inggris dalam "Exodus," flotilla berusaha mendefinisikan lagi "siapa sebenarnya" Israel sehingga persepsi negara-negara Barat terhadap Israel berubah, sekaligus memancing guncangan politik di dalam negeri Israel.
Di Israel sendiri ada dua kelompok bertentangan, yaitu mereka yang memandang isolasi internasional bisa membahayakan kelangsungan negara itu, dan mereka yang menilai tunduk pada flotilla adalah menunjukkan Israel itu lemah.
Kelompok terakhir menggambarkan flotilla sebagai persekongkolan kaum ekstrimis. Masalahnya, ada atau tidak ekstremis, flotilla sukses merusak citra Israel.
Faktanya, dengan cepat Israel diasingkan dunia, sementara hubungannya dengan Eropa dan AS terancam karena para politisi di kawasan ini pasti mempedulikan opini publik yang kini menentang Israel.
Israel mungkin akan didesak untuk membolehkan flotilla masuk Gaza, sementara musuh-musuh Israel memakai momen ini untuk membuktikan bahwa Israel memang haus darah.
Antipati dunia sendiri terus merusak reputasi Israel, bahkan terhadap hubungan Israel dengan negara-negara yang selama ini diangap penting, seperti Turki, Uni Eropa dan AS.
Pemerintah Turki selama ini berupaya menjauhkan diri dari Israel, namun ditentang militer dan kaum sekuler. Tapi insiden Mavi Marmara telah mempermudah Turki untuk menceraikan Israel.
Sementara AS mungkin meredefinisikan hubungannya dengan Israel karena pemerintahan Obama sudah jengkel pada Israel, apalagi, mengutip Washington Post (3/6), salah satu korban tewas di Mavi Marmara adalah warga negara AS.
Obama bisa saja mengikuti opini publik dunia sehingga hubungan AS-Israel memasuki babak baru yang tak menguntungkan Israel, sementara dunia akan menyerukan sanksi untuk Israel.
Washington Post melaporkan, pemerintahan Obama mempertimbangkan untuk tidak mempertahankan blokade Gaza dan akan mendesak Israel untuk membolehkan bantuan kemanusiaan masuk Gaza.
"Jelas kami menginginkan sebuah pendekatan baru ke Gaza," kata seorang pejabat pemeritahan Obama seperti dikutip Washington Post (2/6).
Israel mungkin mengeluh telah diperlakukan tidak adil karena merasa diprovokasi, tapi seperti Inggris di era lalu, dunia tak menggubrisnya karena dunia tak melihat Israel sebagai "korban". Lagi pula, siapa yang menumpahkan darah di Mavi Marmara?
Tak heran, jika editor Leon Wieseltier mengatakan di The New Republic (3/6), bahwa serangan ke Mavi Marmara justru menguntungkan mereka yang ingin mendelegitimasi blokade Israel ke Gaza.
Israel berusaha melawan opini dunia, namun di termin itu, isu yang diangkat tidak menyentuh kepentingan hakiki banyak bangsa dan Israel sendiri tak dianggap penting oleh banyak negara.
Sebaliknya, insiden Mavi Marmara memicu krisis politik di Israel, apalagi orang-orang Israel yang bersedia mengakomodasi Palestina, kini menguasai kembali wacana nasional.
Mungkin pemerintahan Benjamin Netanyahu akan bertahan, tapi Israel bakal menghadapi isolasi internasional. Sebaliknya jika jatuh, Negara Yahudi itu memasuki priode domestik yang tak menentu.
Israel pun kini terapung di lautan antah berantah, tak tahu bagaimana harus bersikap, karena opini publik menjadi jauh lebih sulit dikendalikannya, demikian George Friedman.
Sementara Freedom Flotilla dan misi-misi tanpa kekerasan lainnya akan terus ke Gaza dan jika Israel terpancing mengkerasinya maka Israel bakal "menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri."(antara)