Sembilan orang tewas dan puluhan luka di atas kapal misi kemanusiaan Mavi Marmara yang berlayar ke Gaza oleh serangan tentara Israel. Sebanyak 12 WNI bergabung dalam misi kemanusiaan Freedom Flotilla ke Jalur Gaza yang diblokade Israel.
Misi gabungan bantuan kemanusiaan internasional yang membawa pangan, obat-obatan, selimut, dan air dihadapi Israel secara keji dengan kekerasan. Sederet fakta tragis baru muncul di tengah krisis internasional konflik Israel-Palestina.
Dunia menyaksikan warga sipil, tim relawan tanpa senjata dalam misi kemanusiaan, kembali dibantai operasi militer Israel, bahkan di tengah laut bebas. Masyarakat internasional mengecam tindakan Israel. Dunia mengecam keras serangan Israel. Badan dunia, seperti PBB, Uni Eropa, ASEAN, dan NATO, melakukan pertemuan darurat. Mulai Perdana Menteri Turki Recep Erdogen hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bereaksi keras menyerukan segera menghentikan tindakan brutal Israel. Unjuk rasa mengecam Israel merebak di seantero dunia.
Israel sang adidaya?
Apa yang terjadi? Israel jalan terus: tak tersentuh kecaman dunia. Oleh puluhan resolusi, kecaman keras, kemarahan publik, unjuk rasa, dan tekanan politik, Israel tetap bergeming dengan kemauannya. Amerika Serikat tak ia takuti. Uni Eropa dan NATO diabaikan. Gaza tetap diblokade. Warga sipil Palestina, wanita dan anak-anak, tetap menjadi bulan-bulanan sasaran peluru, penggeledahan, pemeriksaan, dan ancaman lain yang menyulitkan hidup sehari-hari. Kematian warga Palestina di Jalur Gaza adalah kabar menyedihkan. Dunia tak mampu menghentikannya.
Bertani tanpa tanah, menjala tanpa laut. Begitulah potret penduduk Gaza. Badan Pangan Dunia, FAO, pada Mei 2010 melaporkan bahwa seribu hari pascablokade Israel, kualitas hidup warga Jalur Gaza semakin merosot. Seluas 46 persen tanah pertanian tak bisa dipakai, sedangkan 17 persen praktis rusak. Sekitar 73 persen warga di daerah netral yang mengantarai dua daerah yang bermusuhan berada di bawah garis kemiskinan. Ekspor stroberi sekitar 2.300 ton, tomat ceri seberat 714 ton, dan bunga anyelir 55 juta per tahunnya dari kawasan Jalur Gaza praktis terhenti.
Bantuan kemanusiaan adalah satu-satunya sumber kehidupan di tengah kelangkaan pasokan dan harga pangan yang mahal. Rata-rata hanya 56 sen dari setiap dollar dapat dibelanjakan untuk membeli makanan karena warga tak bekerja secara layak dan tetap. Hanya sekitar 3 persen tenaga kerja wanita bekerja di sektor perikanan, sementara angka penganggur mencapai 38,6 persen di Jalur Gaza.
Keberlangsungan Operasi Cast Lead selama enam bulan semakin mempersulit warga Gaza mencari kehidupan di darat ataupun di laut. Larangan impor mencapai angka menakjubkan: 268 juta dollar AS.
Kelumpuhan diplomatik
Potret penderitaan warga Palestina di Gaza ini adalah ironi sekaligus refleksi dari dunia tak berdaya. Dunia yang tak mampu mengubah Palestina merdeka. Dunia yang takluk di bawah ketiak Israel. Dunia yang hanya mampu berteriak tanpa bisa menghentikan sepak terjang Israel.
Kelumpuhan diplomatik, dialog, pertemuan tingkat tinggi, dan konferensi internasional hanya membuat frustrasi dan menelantarkan ratusan resolusi PBB, Liga Arab, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam doktrin dunia tak berdaya: dunia yang tak mampu berbuat banyak menghentikan kekejaman Israel.
Seruan masyarakat internasional pada akhirnya hanya menjadi retorika yang tak mampu menghentikan tindak sepihak Israel. Israel yang seharusnya terkepung dan terkucil justru mampu membalikkan dunia internasional menjadi bulan-bulanan pergulatan tanpa daya.
Doktrin dunia tak berdaya membuat Israel berada di atas angin. Kecaman setengah hati ala AS dan standar ganda ala Barat membuat Israel mampu mengembangkan sebuah doktrin baru yang amat berbahaya bagi perdamaian dunia: ”dunia yang tak berdaya”. Dunia sama sekali tak berdaya menghadapinya.(kompas)
PLE Priatna Alumnus FISIP UI dan Universitas Monash; Bekerja di Brussels, Belgia