Sejak akhir bulan Mei, aksi mogok kerja buruh melanda pabrik-pabrik industri modal asing di China. Berawal dari bunuh diri 11 buruh Foxconn, perusahaan elektronik pemasok Dell, Sony, Panasonic, dan Apple, yang pendapatannya minim, unjuk rasa dan mogok kerja pun merebak.
Aksi itu akhirnya menghantam industri otomotif China. Dimulai dari mogok kerja di pabrik pemasok suku cadang dan komponen penting di Honda Motor, aksi merambat ke pabrik milik Toyota dan Nissan.
Juru bicara Toyota Motor mengatakan, salah satu pabrik terbesar mereka di China masih tutup karena aksi mogok kerja. Sebanyak dua lajur perakitan terpaksa berhenti karena ketiadaan pasokan suku cadang dari perusahaan pemasok.
Sedangkan Honda Motor menerangkan, awal pekan depan pabrik mereka di Guang Qi kembali beroperasi setelah tercapai kesepakatan dengan buruh.
Toyota sebagai pabrikan otomotif terbesar di dunia mengaku, pabrik perakitan di Guangzhou tutup sejak Selasa-Kamis (22-24/6). Belum dicapai kesepakatan apa pun dengan pihak buruh mereka.
Rangkaian aksi di pabrik milik Honda Motor bisa berdampak pada strategi pemasaran Honda. Saat ini Honda Motor menjadikan China sebagai pusat industri murah untuk mobil dengan pasaran ekspor.
Mogok kerja di pabrik-pabrik Honda dan anak perusahaan milik mereka memaksa kantor pusat Honda di Tokyo menaikkan upah buruhnya hingga 24 persen.
Honda menghentikan produksi di dua buah pabrik di Provinsi Guangdong akibat mogok kerja buruh, Rabu (23/6). Terhambatnya produksi Honda diperkirakan mengurangi keuntungan Honda sekitar 2-5 persen dalam tahun fiskal yang berakhir Maret 2011.
Analis memperkirakan, kenaikan upah buruh di China akan memaksa Honda untuk mempertimbangkan ulang rencana ekspor otomotif yang berbasis dari China. Tahun 2009, Honda mengekspor 29.000 mobil dari pabrik mereka di China. Angka itu merupakan jumlah terbesar dari produk ekspor otomotif China.
Pabrik Honda di Guangzhou— satu dari empat pabrik di China—menjadi pusat pembuatan Honda Jazz untuk pasar Eropa dengan kapasitas produksi 50.000 unit mobil. Honda memiliki 65 persen saham, Guangzhou Auto Group 25 persen, dan Dongfeng Motor Group 10 persen dari kepemilikan pabrik di Guangzhou.
”Aksi mogok kerja membuat Honda harus berpikir ulang terhadap strategi menjadikan pabrik di China sebagai tulang punggung ekspor otomotif,” kata analis Advanced Research Japan, Koiji Endo.
Kenaikan upah buruh Honda diperkirakan membuat seorang buruh mendapat penghasilan senilai 400.000 yen (Rp 41.000.000) hingga 500.000 yen (Rp 51.500.000) per tahun. Jumlah tersebut, menurut Koiji Endo, dua kali nilai jika dibandingkan dengan upah buruh otomotif di India dan lebih tinggi 33 persen dari buruh di Thailand.
Kondisi tersebut membuat Honda sulit bersaing dengan produsen otomotif Jepang lainnya seperti Toyota yang memiliki perakitan di Thailand dan Nissan Motor ataupun Suzuki Motor yang memiliki perakitan di India.
Seorang juru bicara Honda menerangkan, pihaknya tidak akan meningkatkan ekspor dari pabrik di Thailand untuk menjaga daya saing terkait aksi mogok kerja pabrik di China.
”Honda selalu fleksibel dalam menjalankan bisnis. Produksi dari pabrik di China bisa dialihkan dari pasar ekspor ke domestik,” kata Mamoru Kato dari Pusat Riset Tokai Tokyo.
Produsen mobil Jepang di China mengalami peningkatan penjualan sekitar 23 persen tahun lalu dengan jumlah mencapai 579.597 unit mobil. Jumlah tersebut barulah separuh dari peningkatan penjualan di pasar otomotif yang mencapai 50 persen.
Saat ini Honda berusaha menggenjot kapasitas produksi di China agar dapat menghasilkan 830.000 mobil per tahun, angka sekarang 650.000 unit, yang diperkirakan dicapai pada tahun 2012.
Kasus Honda dan aksi buruh diperkirakan masih terus berlanjut. Para buruh di China bekerja dalam kondisi yang memprihatinkan. Kesehatan kerja tidak diperhatikan. Gaji minim diterima para buruh yang umumnya berasal dari pedesaan dan harus menanggung tingginya biaya hidup di daerah industri China yang memiliki taraf hidup di atas kawasan pedesaan.
Mendukung buruh
Perdana Menteri China Wen Jia Bao mengingatkan pentingnya menciptakan kesejahteraan buruh. Nyaris di seluruh pusat perindustrian di pesisir selatan dan timur China, para pejabat menyatakan dukungan terhadap tuntutan buruh.
”Kita harus mengutamakan pemerataan dan kesejahteraan buruh,” kata Wen seperti dikutip Harian Rakyat (Ren Min Ri Bao), yang merupakan koran terbesar China.
Partai Komunis China (Gong Chan Dang) yang mengandalkan dukungan dari buruh dan petani tentunya tidak mau kehilangan basis massa.
Harian Rakyat secara tegas menyerukan kenaikan upah buruh di China. Peningkatan kesejahteraan China membuat analis menilai era buruh murah sudah berakhir di China maupun Asia.
Kondisi di China mengingatkan kita pada masa awal produk murah Jepang menguasai Asia pada awal abad ke-20. Semula produk Jepang dilecehkan masyarakat Eropa dan penduduk lokal di Asia.
Pengarang Pramoedya Ananta Toer pernah mencatat betapa produk Jepang semula dilihat sebelah mata oleh penduduk Hindia Belanda. Perlahan tetapi pasti, produk Jepang meningkat kualitas. Demikian pula kesejahteraan buruh Jepang. Kondisi tersebut tampaknya sedang dialami para buruh di China. (AP/Dow Jones/AFP/Ong)