TEL AVIV – Menteri Luar Negeri Israel Avigdor Lieberman pada hari Kamis (24/6) menampaikan permintaan amat spesifik mengenai "pertukaran kawasan" hunian yang memungkinkan pemindahan warga Arab Israel ke negara Palestina.
Usulan tersebut disampaikan Lieberman dengan dalih bahwa "sejarah menjauh dari upaya menampung aspirasi nasional dalam satu negara."
Dalam sebuah opini yang diterbitkan kantor berita Jerusalem Post edisi Kamis, Lieberman menekankan bahwa hal itu tidak akan memerlukan "transfer populasi fisik atau penghancuran rumah," namun "menciptakan perbatasan yang belum ada, berdasarkan demografi penduduk."
Ia menambahkan, "Orang-orang Arab itu, yang ada di Israel, akan mendapatkan kewarganegaraan Palestina."
Lieberman menyebut artikel tersebut "cetak biru saya untuk mendapatkan resolusi konflik."
Dalam artikel itu, menteri luar negeri Israel tersebut menulis bahwa semakin meningkatnya tekanan dari komunitas internasional agar Israel kembali ke garis batas pra-gencatan senjata 1967 tidak memiliki dasar hukum. "Hal itu hanya menyenangkan tuntutan tanah maksimum Palestina dan tidak akan menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Menurut Lieberman, "Tidak terhindarkan lagi, konflik itu akan melintasi perbatasan dan memasuki Israel."
Ia mengatakan, intinya, komunitas internasional mendorong agar tercipta negara Palestina yang homogen dan murni, serta sebuah negara berkewarganegaraan ganda di Israel.
"Ini menjadi solusi satu setengah negara. Demi perdamaian dan keamanan jangka panjang, kita harus menciptakan perbedaan politik yang nyata antara Arab dan Yahudi, masing-masing memerintah sendiri-sendiri.
"Oleh karena itu, untuk solusi yang tahan lama dan adil," tambah Lieberman, "Diperlukan adanya pertukaran wilayah populasi untuk menciptakan dua negara homogen, Israel untk Yahudi dan Palestina untuk Arab. Tentu saja, tanpa mengesampingkan kemungkinan kaum minoritas tetap meninggali negara mana pun dan tetap mendapatkan hak-hak sipil secara penuh."
Untuk mendahului kritikan yang menyebut pencabutan kewarganegaraan penduduk Arab Israel adalah ilegal, Lieberman mengutip Resolusi Majelis Umum PBB 55/153 yang ditulis pada tahun 2001.
"Ketika sebagian wilayah sebauh negara diserahkan oleh negara yang bersangkutan kepada negara lain, maka negara penerus harus memberikan kewarganetgaraan kepada orang-orang yang telah lama meninggali wilayah yang diserahkan, sementara negara pendahulu harus mencabut kewarganegaraan dari orang-orang itu."
Mengenai kemungkinan keberatan dari warga Arab, Lieberman menulis: "Pertama, kita harus menanyakan mengapa orang-orang Arab yang mengklaim mendukung aspirasi nasional Palestina akan menolak rencana ini."
Tapi, pada akhirnya Lieberman menyerukan dilaksanakannya referendum di antara seluruh warga Israel untuk menyelesaikan permasalahan.
"Saya yakin kita bisa melakukan referendum untuk menyelesaikan masalah semua penduduk Israel dan membiarkan mereka yang mengambil keputusan. Saya tidak ragu bahwa penduduk Israel, apa pun ras atau agamanya, akan menunjukkan kedewasaan politik guna memastikan perdamaian permanen dan merupakan hal yang diinginkan semua orang."
Artikel Lieberman muncul satu hari setelah ia mengambil langkah yang lebih samar dan mendesak Kadima menerima prinsip pertukaran wilayah dan populasi penduduk sebagai solusi masalah Palestina dan menyetujui prinsip tanah untuk perdamaian.
Dalam wawancara dengan agensi berita Los Angeles Times, anggota Knesset Arab Israel Ahmed Tibi mengkritik Menlu Avigdor Lieberman, ia mengatakan, berlawanan dengan mendiang ekstremis Austria, Jorg Haider yang merupakan seorang politikus pribumi yang rasis terhadap orang asing. Lieberman adalah seorang politisi imigran (kelahiran Moldova) yang rasis terhadap orang pribumi (Palestina).
Tibi, yang menyebut diri sebagai seorang "penduduk Palestina-Arab di Israel" mengatakan kepada Los Angeles Times, "Coba lihat perbuatan dan ucapan Avigdor Lieberman dan kawan-kawan partainya. Mosi dan RUU yang mereka ajukan murni rasisme.
Permintaan yang mereka sebut mosi kesetiaan meminta kami setia terhadap Zionisme dan mengakui Israel sebagai negara Yahudi. Jika tidak, kami dilarang menjadi kandidat Knesset atau menerima alokasi anggaran dari pemerintah. Mereka mengatakan orang-orang Arab harus diserahkan kepada pemerintah Palestina."
Tibi mengemukakan fakta bahwa hanya 6% pejabat Israel yang berdarah Arab dan tidak ada pejabat Arab yang berpengaruh dalam pemerintahan Israel.
Mengenai RUU "sumpah setia" yang digagas oleh partai Lieberman dan mengharuskan figur-figur publik mengucapkan sumpah setia terhadap Israel sebagai 'negara Yahudi', Tibi menngatakan, "Kami dianggap pengkhianat. Tapi, saya tidak bisa mengkhianati sesuatu yang bahkan bukan bagian dari saya. Saya bukan bagian dari militer, saya bukan bagian dari ideologi Zionis. Saya korban Zionisme, bukan hal yang berperikemanusiaan memaksa kami setia pada Zionisme atau menerima Israel sebagai 'negara Yahudi'. Saya tidak bisa menerima definisi yang memperkuat diskriminasi terhadap orang-orang non-Yahudi di Israel."
Ketika dimintai pendapat mengenai Israel sebagai "negara Yahudi", Tibi mengatakan: "Saya menginginkan (Israel) berdasarkan kebangsaan mereka sendiri, minoritas Arab harus diakui sebagai minoritas nasional."
"Menurut hukum, Israel didefinisikan sebagai 'negara' Yahudi demokratis, tapi ada pertentangan dari dua nilai tersebut. Jika sebuah negara adalah negara demokratis, maka negara yang bersangkutan harus meyakini kesetaraan.(suaramedia)