3 Mar 2011

Revolusi Bahrain Di-Anak-Tiri-kan Media

ImageBahrain di Teluk Persia termasuk negara yang bergejolak anti-rezim arogan yang berkuasa di negara ini. Dalam beberapa hari terakhir ini, media-media dan kalangan politisi meliput gejolak di negara-negara seperti Mesir, Tunisia, Libya, Yaman dan Yordania. Akan tetapi peliputan berita terkait kebangkitan rakyat Bahrain dipenuhi dengan penyensoran. Para pejabat AS berupaya mengarahkan gejolak di negara-negara Afrika utara dan Timur Tengah demi kepentingan Washington di kawasan. Untuk itu, mereka kurang menaruh perhatian besar pada kebangkitan rakyat di Bahrain.


Kebangkitan yang terjadi di Bahrain mempunyai banyak kemiripan dengan kebangkitan rakyat di negara-negara kawasan. Akan tetapi Bahrain juga mempunyai perbedaan dengan negara-negara Arab lainnya. Perbedaan inilah yang membuat Bahrain kurang direaksi serius oleh Washington dan Televisi Aljazeera yang akhir-akhir ini menjadi media yang spesial dalam meliput gejolak di Timur Tengah. Salah satu perbedaan Bahrain dengan negara-negara lain adalah demografi populasi dan ideologi masyarakat negara ini. Menurut data yang ada, sekitar 70 persen warga dari sekitar satu juta warga Bahrain bermadzhab Syiah.


Meski mayoritas masyarakat Bahrain bermadzhab Syiah, namun kekuasaan dipegang oleh keluarga Al-Khalifa yang bermadzhab Sunni. Tak dapat dipungkiri, nasib masyarakat Bahrain sama dengan negara-negara Arab lainnya yang tengah bergejolak. Mereka juga ditindas oleh sebuah keluarga. Kondisi ini juga dapat disaksikan di Tunisia, Mesir dan Libya. Pada prinsipnya, gejolak yang muncul di Bahrain bermula dari semangat yang sama dengan masyarakat Timur Tengah lainnya setelah ditindas sebuah keluarga lalim yang berkuasa tanpa mempedulikan rakyat.


Bahrain dan Syiah


Sebelum dan sesudah pemisahan dari Iran dan pengumuman independensi pada tahun 1970, para raja Bahrain memberantas semua gerakan pro-keadilan Syiah . Mereka juga menangkap, mengasingkan dan membunuh para pemimpin gerakan Syiah. Akibatnya, kebangkitan Syiah terjadi di seluruh penjuru di negara ini pada tahun 1999. Masyarakat mayoritas Bahrain yang juga bermadzhab Syiah menuntut penegakan demokrasi dan pencabutan diskriminasi. Kebangkitan masyarakat Syiah itu menewaskan dan mencederai puluhan warga. Lebih dari itu, ratusan orang dijebloskan ke penjara.


Raja Bahrain saat ini, Sheikh Hamad bin Isa Al-Khalifa setelah memegang tampuk pemerintah pada tahun 1999, menjanjikan akan melakukan perombakan politik bahkan ia meratifikasi sebuah piagam yang dinamai "Piagam Persembahan Nasional". Akan tetapi janji hanyalah janji. Hingga kini, Hamad bin Isa Al-Khalifa tidak merealiasikan janji tersebut. Kondisi politik di Bahran terus mengalami stagnan.


Menyusul pergolakan di Tunisia dan Mesir, rakyat Bahrain terpanggil melakukan penentangan anti-rezim arogan yang tak menghiraukan aspirasi masyarakat. Masyarakat Bahrain kembali bangkit melawan pemerintah yang dipimpin Perdana Menteri Sheikh Khalifa bin Salman Al-Khalifa sejak tahun 1971.


Di tengah kian getolnya politik AS bersikap anti-revolusi dan gerakan Islam di Timur Tengah, masyarakat Bahrain tambah bersikeras mempertahankan tekad mereka untuk lepas dari cengkeraman asing. Selain itu, mereka juga menolak tegas rezim keluarga Al-Khalifa yang tidak memenuhi keinginan rakyat.


Pada dasarnya, keluarga Al-Khalifa tidak akan mampu berkuasa atas masyarakat mayoritas di Bahrain tanpa dukungan Inggris dan AS. Sebelum berpisah dari Iran, Bahrain berada di bawah pendudukan Inggris. Pada prinsipnya, para penjajah asal Eropa dan AS menaruh perhatian spesial pada negara pulau Bahrain ini. Sejak tahun 1970, Portugal, Inggris dan AS mencengkeram negara ini.


Pangkalan Militer AS


Setahun setelah independen, Raja Bahrain pada tahun 1971 menandatangani nota pejanjian militer bersama dengan AS. Berdasarkan kesepakatan tersebut, tanah seluas 40 kilometer persegi diserahkan kepada AS. Kesepakatan itu kemudian menjadi landasan perluasan kerjasama militer kedua negara pada tahun 1977. Dari hasil pengokohan kerjasama militer tersebut, Angkatan Laut AS mendapat kemudahan dalam skala luas di Pelabuhan Salman Bahrain.


Menyusul agresi Irak atas Kuwait pada tahun 1991, posisi militer AS di Bahrain kian diperkuat. Sejak tahun 1993, komando Angkatan Laut AS ditempatkan di Bahrain. Pada bulan Januari 1995, Bahrain menjadi tempat bercokolnya Armada Kelima Angkatan Laut AS. Dengan demikian, kapal induk AS akan bercokol secara langgeng di Bahrain. Selain itu, Bahrain menjadi sarang satuan militer yang mencakup kapal-kapal militer dan kapal selam yang dikendalikan dari luar Teluk Persia.


Armada Kelima Angkatan Laut AS di Bahrain berfungsi sebagai penjaga kepentingan-kepentingan ilegal AS di Teluk Persia, Laut Oman, Teluk Aden dan bagian dari Laut Merah. Pada tanggal 26 Mei, Angkatan Laut AS memulai pelaksanaan proyek perluasan Armada Kelima Angkatan Laut AS di Pelabuhan Salman yang terletak di timur Manama. Dana proyek itu diumumkan senilai 580 juta dolar AS yang dianggarkan Angkatan Laut AS.


Menurut rencana, proyek itu juga melebar ke wilayah darat. Proyek di darat itu seluas 28 hektar yang akan digarap empat tahap. Menurut rencana, proyek besar Angkatan Laut di Bahrain akan tuntas hingga tahun 2015. Melalui proyek itu, luas pangkalan militer AS di Bahrain akan melebar dua kali lipat. Selain itu, militer AS juga berniat meningkatkan kemampuan dan kapasitas Armada Kelima Angkatan Laut AS. Akan tetapi perkembangan terbaru di negara ini membuat rencana AS dihadapkan pada nasib yang tidak jelas.


AS sangat membutuhkan Bahrain untuk terus mengeruk cadangan minyak di Timur Tengah. Washington juga meyakini bahwa tidak ada seperti keluarga Al-Khalifa di Bahrain yang dapat melayani Washington dengan baik. Al-Khalifa benar-benar menjadi pelayan AS, bahkan negaranya siap diduduki untuk kepentingan AS. Karena inilah AS mendukung penuh keluarga Al-Khalifa untuk tetap berkuasa di negara ini. Apalagi pihak-pihak yang melawan rezim adalah kelompok Syiah. AS mempunyai trauma tersendiri atas negara-negara yang mayoritasnya bermadzhab Syiah seperti Iran dan Irak.


Efek Domino


Yang jelas, AS dan para penguasa di Timur Tengah benar-benar khawatir akan perubahan sistem yang mengarah pada demokrasi. Hampir semua negara di Timur Tengah menerapkan sistem kerajaan dalam memerintah rakyat. Dengan sistem kerajaan, rakyat sama sekali tidak mempunyai peran untuk menentukan nasib mereka dalam mengatur sistem negara, termasuk urusan minyak yang melimpah di Timur Tengah.


Di antara negara-negara Arab hanya Kuwait yang mempunyai sistem parlemen. Itupun wewenangnya sangat terbatas. Para emir di negara-negara Timur Tengah dapat disebut sebagai orang-orang terkaya di dunia. Pada umumnya, kekayaan mereka dihasilkan dari perdagangan minyak.


Dengan meningkatnya kesadaran rakyat, sistem kerajaan adalah sistem yang tidak dapat diterima. Apalagi para penguasa yang biasa duduk di kursi kekuasaan berasal dari sebuah keluarga yang mementingkan kepentingan mereka dibanding kepentingan rakyat. Tak diragukan lagi, kondisi ini membangkitkan aksi protes rakyat atas para penguasa yang lalim.


Pada umumnya, para raja itu bertahan semenjak masa penjajahan Eropa. Dengan demikian, para emir itu adalah warisan imperialisme yang diskenario sedemikian rupa sehingga kepentingan Barat tetap terjaga di kawasan. Ini adalah permainan cantik Barat untuk menghilangkan jejak penjajahan di kawasan. Melalui tangan-tangan para raja yang rakus dan lalim ini, Barat tetap dapat mengeruk kekayaan di Timur Tengah, hingga kini.


Akan tetapi sistem kerajaan telah berakhir. Menurut sejumlah analis politik, kehancuran rezim diktator Ben Ali di Tunisia dapat diibaratkan seperti efek domino yang akan menghancurkan seluruh sistem arogan di Afrika Utara. Inilah yang dikhawatirkan oleh Barat. Sebab, gejolak di Bahrain adalah kelanjutan kebangkitan rakyat di Timur Tengah.


Kekhawatiran itu tenyata bukan dialami Barat saja, tapi juga Arab Saudi. Kerajaan Saudi juga meminta Bahrain supaya terus menekan kebangkitan rakyat di Bahrain. Menurut keyakinan keluarga Kerajaan Saudi, kebangkitan Bahrain dapat dikatakan sebagai benteng pertama untuk menghadapi kebangkitan rakyat. Jika rezim Bahrain gagal menghadapi kebangkitan rakyatnya, maka Arab Saudi akan terancam menjadi sasaran berikutnya.


Sistem despotik di Timur Tengah benar-benar berada di ujung tanduk. Sejarah membuktikan bahwa kekerasan dan intimidasi atas rakyat bukanlah solusi, bahkan kian membangkitkan amarah rakyat. Terlebih hal itu terjadi di era informasi. Bahkan tergulingnya sejumlah rezim di Afrika utara belum lama ini dapat dikatakan sebagai buntut dari kekerasan atas rakyat.


Penyensoran berita terkait perkembangan terbaru di Bahrain malah justru akan membongkar skandal baru bagi Barat, khususnya AS yang selama ini mengklaim sebagai pembela demokrasi dan kebebasan berekspresi. Meski Bahrain menjadi anak tiri di mata media-media, masyarakat Bahrain yang sudah muak dengan arogansi rezim, tetap akan melanjutkan perjuanganan mereka. Apalagi kebangkitan rakyat Bahrain kali ini sudah menelan korban yang tidak sedikit. (IRIB/AR/NA)