JAFFA – Wawancara pekerjaan untuk mengisi posisi imam Masjid-Masjid di Israel bukan dilakukan oleh ulama senior seperti seharusnya. Hal itu justru diserahkan di tangan Shin Bet, polisi rahasia Israel, demikian diungkapkan dalam sebuah persidangan buruh.
Sheikh Ahmed Abu Ajwa, 36, memerangi upaya Shin Bet yang menolak penunjukan dirinya sebagai seorang imam karena sebuah kasus yang telah membongkar pengintaian rahasia Israel terhadap para pemuka agama Islam di Israel.
Dalam sebuah rapat dengar pendapat bulan lalu, seorang pejabat senior pemerintahan Israel mengakui adanya 60 orang inspektur yang disamarkan sebagai mata-mata guna menghimpun informasi mengenai para ulama Muslim, melaporkan pendapat politik yang mereka sampaikan dalam ceramah-ceramah dan menyebarkan gosip mengenai kehidupan pribadi mereka.
Sheikh Abu Ajwa membawa kasus tersebut ke persidangan setelah tiga tahun lalu Shin Bet menolak dirinya sebagai imam Masjid di Jaffa (Yafa), di sebelah Tel Aviv, meski faktanya ia merupakan kandidat tunggal kala itu. Setelah melalui “wawancara keamanan,” Sheikh Abu Ajwa diberitahu bahwa pandangan-pandangannya “ekstremis” dan terlalu kritis terhadap Israel, meski imam tidak secara resmi ddefinisikan sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan keamanan.
“Dalam salah satu wawancara dengan Shin Bet, mereka memberitahu saya bahwa mereka telah mengumpulkan informasi mengenai saya sejak saya berusia 15 tahun,” kata Sheikh Abu Ajwa.
“Saya adalah imam pertama yang menentang penetapan imam oleh Shin Bet. Memenangkan peraturan dan menjadikan contoh dari pengadilan adalah hal yang penting untuk menghentikan campur tangan semacam ini.”
Michael Sfard, seorang pengacara HAM yang mewakili Sheikh Abu Ajwa, mengatakan bahwa sejauh yang ia ketahui, hal yang sama tidak diberlakukan sebelum mempekerjakan seorang rabbi.
“Pengintaian semacam ini ada hubungannya dengan sebuah jabatan yang tak ada kaitannya dengan keamanan, seperti imam, seperti pada era polisi Stasi di Jerman Timur atau periode McCarthy di Amerika Serikat,” katanya.
Kebebasan otoritas Islam setempat dicabut setelah Israel mendeklarasikan diri pada 1948, ketika pemerintah menyita hampir semua tanah wakaf dan properti yang dipergunakan untuk keuntungan komunitas Muslim Palestina. Israel menghilangkan sumber utama pendanaan bagi para ulama, pengadilan dan yayasan amal Islam.
Menurut para pakar, sekitar seperlima tanah Palestina yang telah diolah merupakan tanah wakaf sebelum 1948. Israel memberikan sebagian besar di antaranya kepada organisasi-organisasi Zionis seperti Jewish National Fund atau menjualnya kepada para pengembang.
Tanggung jawab atas ribuan Masjid, makam dan situs suci lainnya diserahkan kepada kementerian urusan keagamaan atau dewan-dewan Islam yang ditunjuk pemerintah.
Saat ini, hampir seluruh imam dan hakim Islam diwajibkan menjalani wawancara keamanan sebelum mendapatkan pekerjaan itu dan digaji pemerintah.
Minoritas Palestina di Israel, seperlima dari populasi keseluruhan, telah sejak lama mengatakan bahwa para pemimpin Muslim sudah dikendalikan Israel. Ajaran-ajaran tentang Islam dinomorduakan setelah kerja sama dengan aparat Israel.
Sabri Jiryis, seorang sejarawan yang mempelajari tahun-tahun awal Israel, mengatakan bahwa dewan komisaris seringkali menyetujui keputusan pemerintah Israel untuk menjual properti Islam kepada para pengembang. Yang paling kontroversial adalah persetujuan yang diberikan dewan Jaffa terhadap penjualan makam Islam di Tel Aviv pada tahun 1971, yang kemudian dijadikan lokasi pembangunan hotel Hilton.
Sheikh Abu Ajwa mengatakan: “Di Jaffa, pemerintah menunjuk banyak ulama yang todal membuktikan kesetiaan mereka, meski kesetiaan itu bukan terhadap sesama Muslim. Mereka (Israel) menjual properti kami, tapi mereka tidak bisa menjual milik Allah.”
Jaffa, yang dulunya merupakan ibu kota perdagangan Pakestina, saat ini dihuni oleh populasi 50.000 orang warga. Dua pertiganya adalah Yahudi sementara sisanya adalah Muslim.
Sheikh Abu Ajwa berceramah di Masjid Jabalya, satu dari enam Masjid di Israel, yang terletak di pinggir laut sejak berusia 19 tahun. Hal itu menjadikan Sheikh Abu Ajwa sebagai orang termuda yang menjadi imam dalam sejarah Israel. Ia memenuhi syarat sebagai imam setelah lulus dari universitas Islam di kota Umm Al-Fahm, Palestina, pada tahun 1998.
Komunitas setempat mendukung Sheikh Abu Ajwa sebagai imam bagi ketika pendahulunya pensiun tiga tahun yang lalu, namun ia tidak diakui secara resmi dan oleh karena itu tidak mendapatkan bayaran dari pemerintah, tanpa persetjuan Kementerian Dalam Negeri.
Ia diwawancarai oleh seorang pejabat Shin Bet bernama “Dror”. Pejabat tersebut mengajukan pertanyaan-pertanyaan pribadi yang dikumpulkan oleh para inspektur yang melakukan penyamaran. “Kami akan memutuskan siapa yang menjadi imam berikutnya,” kata Dror seperti diungkapkan Sheikh Abu Ajwa. Ia ditanya mengenai pendapat politik dan demontrasi yang dia hadiri.
Menurut Shin Bet, pengangkatan Sheikh Abu Ajwa “dapat membahayakan keamanan dan perdamaian Jaffa”. Kepada harian Haaretz, Shin Bet mengatakan bahwa sheikh tersesbut “memiliki sejarah panjang keterlibatan dalam aktivitas kekerasan, yang diwujudkan dalam hasutan terhadap Israel dan warga Yahudi.”
Sheikh Abu Ajwa mengatakan, hal itu ada hubungannya dengan posisinya sebagai pemimpin sayap utara dari gerakan Islam di Jaffa. Pemimpin gerakan tersebut, Sheikh Raed Salah, memicu kecurigaan para pejabat Yahudi karena menjalankan kampanye yang memperingatkan mengenai tujuan Israel untuk mengambil alih Masjid Al Aqsa di Yerusalem dan juga upaya mendorong boikot pemilihan anggota parlemen.
Yuval Diskin, pemimpin Shin Bet, pada tahun 2007 memperingatkan bahwa lembaga yang dipimpinna akan mencegah aktivitas apa pun, termasuk yang bersifat demokratis, yang bertentangan dengan kepentingan Israel.
Yaakov Salameh, kepala departemen agama minoritas di Kementerian Dalam Negeri Israel, bulan lalu mengatakan bahwa orang-orangnya menghimpun informasi mengenai para pemuka agama Islam, termasuk rumor kehidupan pribadi mereka. Informasi tersebut kemudian diserahkan kepada Shin Bet, yang menentukan apakah mereka layak ditunjuk atau tidak.
Sfard mengatakan bahwa hal itu di luar kebiasaan, karena berdasarkan hukum Israel, catatan kriminal kandidat pemimpin agama hanya dapat dipertimbangkan jika sang pelamar menyetujui penyerahan informasi dirinya.
David Baker, seorang juru bicara kantor perdana menteri, yang bertanggung jawab atas Shin Bet, menolak memberikan komentar mengenai apakah perlakuan terhadap para imam juga diberlakukan terhadap para rabbi.
Sheikh Abu Ajwa mengamati bahwa ada banyak rabbi, khususnya yang ada di pemukiman, ia mengatakan bahwa mereka menganut pemikiran yang sangat ekstrem, namun tidak ada yang memata-matai mereka. Bahkan, mereka mendapat dukungan penuh pemerintah.
Ia mengaku tidak pernah melanggar hukum dan tidak pernah menganjurkan kekerasan. “Saya berbicara mengenai identitas Palestina dan mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah dalam memperlakukan kami sebagai kaum minoritas,” katanya. “Ada hal-hal sensitif yang ingin mereka cegah agar tidak kami bicarakan.”
Dalam salah satu wawancara dengan Shin Bet, si pewawancara mengatakan: “Kami tahu segalanya tentang dirimu, kami selalu mengawasimu.” Tujuan dari wawancara semacam itu adalah merekrut ulama Muslim untuk dijadikan informan, katanya. (suaramedia/dn/mn)