WASHINGTON – Pemerintahan Obama melakukan upaya aktif, namun juga diam terhadap kedua kubu yang berselisih dalam kontroversi pemilihan umum Irak, yang semakin memburuk di Baghdad.
Saat ini, pemerintah mendapat banyak kritikan terkait upaya pendekatan yang dilakukan tim Obama pasca pemilihan umum nasional Irak bulan lalu. Kubu konservatif menuding pemerintah Obama terlalu banyak menjauhkan diri saat Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki ingin mendiskulifikasi beberapa kandidat agar menguntungkan kelompoknya dan menjatuhkan kubu Ayad Allawi.
“Amerika Serikat mungkin akan kehilangan kesempatan untuk mencapai keberhasilan di Irak karena telah menolerir gerakan politik untuk membalikkan hasil pemilihan umum,” tulis para akademisi, Frederick dan Kimberly Kagan di Washington Post edisi Jumat.
“Washington harus bertindak cepat untuk mempertahankan integritas proses pemilihan dan mendukung upaya sementara pemimpin Irak untuk mengendalikan komisi pelarang Partai Baath yang mengancam merusak keseluruhan proses demokratis. Berdiam diri tidak sama dengan bersikap netral.”
Para pejabat pemerintahan AS menekankan bahwa memang itulah yang mereka lakukan, meski masyarakat tidak bisa melihatnya.
“Pemerintahan (AS) sudah terlibat dalam di dalam proses itu sejak dari awal, pada setiap tingkatan dengan duta besar (Christopher) Hill, Jenderal (Raymond) Odierno, wakil presiden dan lainnya membuat pandangan kita diketahui dan menawarkan bantuan kita jika diperlukan,” kata seorang pejabat senior kepada The Cable, ia mengatakan Wakil Presiden Joseph Biden menjalin kontak secara reguler dengan para pemimpin Irak sejak pemilihan umum usai.
“Seperti yang kami katakan, Iraklah yang memutuskan masalah ini,” kata pejabat tersebut. “Tapi, proses yang adil dan transparan penting bagi kredibilitas pemilihan dan sertifikasi pemilihan. Penting juga bahwa setiap suara dihitung dan tidak ada warga Irak yang kehilangan hak suara.”
Secara praktis, hal itu berarti kapan dan jika kandidat didiskualifikasi, partai-partai mereka harus diberi hak untuk menggantikan orang-orang itu jika mereka memenangkan kursi dan mempertahankan suara mereka jika mereka tidak memenangkan kursi.
Agaknya bukan itu yang terjadi di Baghdad, menurut James Danly, seorang mantan komandan peleton di Irak yang kini bergabung dengan Institut Studi Peperangan (ISW), think tank yang dioperasikan Kimberly Kagan.
Danly mengatakan Komisi Keadilan dan Pertanggungjawaban (AJC), yang dikendalikan oleh Ahmed Chalabi dan Ali Faisal al-Lami, jelas berusaha untuk menguntungkan Maliki dan menjauh dari Allawi yang lebih sekuler, dan mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok Sunni.
Hill dan Jenderal Odierno mengkritik keras komisi Chalabi sebelum pemilihan berlangsung, ketika komisi tersebut berusaha mendiskualifikasikan ratusan kandidat karena memiliki keterkaitan dengan Partai Baath. Keduanya mengatakan bahwa Chalabi dipengaruhi Iran.
ISW mempersiapkan bagan yang menunjukkan situasi politik pasca pemilihan. Mereka berusaha menunjukkan bahwa Komisi Tinggi Elektoral Independen mempertahankan keputusan AJC, yang dapat memberikan kesempatan bagi Maliki untuk membentuk pemerintahan sendiri.
“AJC bukan hanya berusaha menyingkirkan para kandidat yang terpilih, mereka juga berusaha menyingkirkan surat suara yang berisi nama para kandidat tersebut,” kata Danly. Hal itu merupakan pelanggaran nyata terhadap proses yang dianggap Gedung Putih sebagai proses yang adil dan transparan.
Stephen Biddle, seorang anggota senior Dewan Hubungan Luar Negeri, setuju dengan Kagans bahwa pengaruh dan bahkan tekanan AS harus diberikan untuk mendorong hasil akhir yang adil. Namun, ia juga setuju dengan Gedung Putih bahwa tekanan semacam itu lebih baik dilakukan di belakang layar.
“Keterlibatan AS akan dilanjutkan seperlunya dan sepantasnya. Kami tidak dapat menolerir proses demokrasi tambahan dan kami harus tahu bahwa kami bisa mencegah hal itu,” kata Biddle. Ia mencatat bahwa Departemen Luar Negeri AS biasanya melakukan tidak campur tangan jika dibandingkan dengan militer, yang menginginkan keterlibatan lebih langsung.
Masalah sesungguhnya dalam pemilihan Irak adalah ambiguitas cara pengambilan keputusan komisi tersebut, kata Biddle. Begitu pula dengan ketidakpastian apakah Maliki berusaha memaksakan kemenangan atau hanya berusaha memainkan setiap kartu yang ada di tangannya.
Dan akan ada lebih banyak upaya koalisi sebelum kandidat mana pun dapat menyatakan kemenangan. Penghitungan ulang suara di Baghdad, yang dimulai hari Sabtu, dapat membalikkan apa yang terjadi.
Apa pun itu, jika sang pemenang mengambil alih kekuasaan dalam proses yang dianggap ilegal oleh masyarakat Irak, hal itu dapat memantik kekerasan sektarian yang menyelimuti Irak selama bertahun-tahun, saat pasukan AS hendak menarik diri dari negara tersebut.
“Proses pengampunan perang sipil masih terlalu awal untuk mengharapkan hilangnya sektarianisme,” kata Biddle. “Itulah mengapa kurangnya kredibilitas demokrasi di Irak akan menjadi hal yang sangat berbahaya.”(sm)