Setelah membaca buku Irshad Manji yang berjudul "Allah, Liberty, and Love", saya melihat buku ini sebetulnya bukan berisi promosi homoseksualitas. Benar, dalam beberapa bagiannya berisi uraian Manji seputar homoseksualitas, namun terlalu dini untuk mengatakannya promosi, yang bermakna ajakan untuk menjadi homoseksual. Di sini Manji hanya berupaya untuk membela keyakinannya. Membela keyakinan tentu berbeda dengan promosi, karena membela keyakinan tidak berarti "mengajak".
Dengan demikian, terlalu dini pula untuk mengatakan bahwa Manji berbohong saat berkata bahwa bukunya bukan tentang homoseksualitas. Karena, hanya sebagian kecil yang membahas seputar homoseksualitas menurut pandangan dan pemahamannya. Kecuali, bila seluruh atau sebagian besar buku itu berbicara tentang homoseksualitas.
Terkait isu "islamo-tribalisme". Pada bab tiga, Manji cukup panjang lebar mengulas istilah tersebut, yang sebenarnya berasal dari budaya "penjagaan kehormatan keluarga dan masyarakat" yang lebih ditekankan pada anak perempuan. Ini berasal dari budaya kesukuan masyarakat Arab, yang melebur dalam praktik keislaman. Bentuk lain dari islamo-tribalisme adalah budaya penokohan yang begitu kental, sehingga ucapan Syaikh A atau Kyai B atau Habib C adalah segalanya dan seolah mewakili keinginan Tuhan.
Di banyak negara Muslim, budaya ini memang telah dipraktikkan secara ekstrem, sehingga amat memasung kebebasan wanita dan bahkan mengancam nyawa wanita. Sebagai contoh dari islamo-tribalisme adalah kisah Aqsa Parvez, yang disampaikan Manji. Aqsa menolak mengenakan jilbab dengan alasan bahwa itu adalah bagian dari budaya Arab, bukan ajaran Islam. Tekanan yang ia rasakan pernah membuatnya kabur dari rumah. Ayahnya yang kelahiran Pakistan bersumpah demi al-Quran bahwa ia akan membunuh Aqsa jika kabur lagi dari rumah. Teman-temannya meyakinkan kalau ayahnya tidak mungkin serius. Tiga puluh menit setelah Aqsa kembali ke rumah, dari percobaan kaburnya yang kedua, ayahnya mencekiknya hingga tewas. Aqsa dianggap telah mencemarkan nama baik keluarga. [hal. 136-137]
Menurut saya, islamo-tribalisme memang sesuatu yang tidak bisa dibenarkan, bila dipraktikkan secara ekstrem. Namun sayangnya, para penolaknya juga terjebak ke dalam ekstremitas yang lain. Penolakan terhadapnya membuat mereka mengusung kebebasan yang seolah tanpa batas. Bahkan, membela kehormatan agama dalam bentuk apa pun dianggap sebagai budaya tribal, termasuk pada kasus Salman Rushdie. [hal. 154]
Sebagai seorang yang ingin membela keyakinannya, menurut saya sah-sah saja bila Manji menyampaikannya kepada siapa pun, termasuk dunia akademik, tanpa tekanan dari pihak mana pun. Manji toh tidak memaksakan pandangannya, tidak mengajak orang lain untuk menjadi homoseks, dan tidak pula mengklaim sesat bagi yang tidak sejalan dengannya. Bandingkan dengan kelompok-kelompok radikal yang menolaknya, dan bahkan memukuli orang-orang yang hadir dalam sebuah diskusi Manji di Yogyakarta.
Kalau dunia akademik yang dianggap sebagai institusi paling rasional dan toleran saja sudah tunduk pada arogansi sekelas ormas, maka apalagi yang tertinggal dari negeri ini? Lembaga yang diharapkan menghasilkan insan cerdas telah sedemikian dipasung dengan dalih subversif atas nama agama. Tuhan telah sedemikian jauh diperalat. Padahal kelompok-kelompok penekan yang radikal itu kerap mendatangkan ustad-ustad Timteng untuk "tour de Indonesia" dalam rangka propaganda pengafiran. Lebih "nakal" mana dibanding Manji?
Mestinya kedatangan Manji bisa menjadi kesempatan untuk mengkritisi pandangan-pandangannya secara ilmiah dan santun. Kekerasan hanya akan menjadikan Manji dan kaum islamofobik menang sebelum bertanding. Seperti pengakuan Manji sendiri:
"Cercaan justru semakin membuatku berani berterus terang mengapa aku meyakini apa yang kuyakini, dan apakah aku perlu mempercayainya secara mutlak. Dari sisi ini, para pengritik yang sarkastis pun bisa menjadi sahabat dalam evolusiku. Merekalah yang berulang kali mengajarkanku bahwa beberapa hal lebih penting dari sekadar rasa takut. Pena mereka adalah zenku." [hal. 25]
Tanggapan atas Irshad Manji
Kekurangan Manji yang pertama adalah kurangnya (atau bahkan tiadanya) pembahasan ilmiah seputar isu-isu penting yang diangkat dalam bukunya tersebut. Seperti saat menyeru tentang kebebasan untuk berijtihad, Manji tidak menyertakan argumen tentang ijtihad itu sendiri dalam Islam. Bagaimanakah ijtihad dalam Islam menurut pemahamannya? Berbeda dengan tulisan pemikir modern Khaled Abou el-Fadhl misalnya, yang sarat dengan argumen ilmiah seputar ijtihad. Demikian pula halnya dengan penafsiran ayat-ayat al-Quran.
Terkait isu homoseksualitas, Manji tampak terlalu dini dalam menyampaikan pandangannya. Bahkan tampak mengandung paradoks. Di satu sisi, ia mengatakan bahwa homoseksualitas adalah kebebasan (yang berarti pilihan). Namun, di sisi lain, ia berkata bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang deterministik (ketetapan Tuhan).
Penentangan atas homoseksualitas bukanlah budaya tribal, melainkan masalah agama dan moral. Setidaknya demikian yang diyakini oleh sebagian besar ulama, berdasarkan teks al-Quran dan Hadis. Selain itu, homoseksualitas juga lebih merupakan problema psikologis ketimbang genetis. Penelitian laboratorium membuktikan hal itu.
Namun demikian, kalaupun homoseksualitas bisa dikaitkan dengan problema genetis, maka tentu tidak terkait dengan "kehendak Tuhan". Alias, homoseksualitas bukan sesuatu yang deterministik. Melainkan, boleh jadi disebabkan oleh faktor kesalahan orang tua dalam mengonsumsi makanan, atau saat berhubungan seksual, dan sebagainya. Buktinya, homoseksualitas dapat disembuhkan dan dicegah. Selain itu, ayat-ayat al-Quran juga menjelaskan bahwa Allah hanya menciptakan dua jenis jender: laki-laki dan perempuan. Tidak ada jender ganda.
Dengan demikian, orientasi seksual sebenarnya hanya dua: laki-laki terhadap perempuan dan sebaliknya. Bagi pengidap homoseksual, syariat sebenarnya juga telah memberi jalan dalam bentuk pilihan untuk menjadi lelaki atau perempuan, tergantung kecenderungan seksualnya. Untuk itu, syariat bahkan mengizinkan ganti kelamin.
Di Amerika sendiri, meskipun sangat terbuka dengan homoseksualitas, namun ternyata mayoritas masyarakatnya belum merestui. Data polling sekitar tahun 2007 menunjukkan bahwa 51 persen warga AS menganggap homoseksualitas keliru secara moral, dan hampir 60 persen menolak perkawinan gay. Bahkan pada 2004, gubernur New Jersey, James McGreevey, mengumumkan pengunduran dirinya, seiring dengan pengakuannya sebagai seorang gay, meskipun ia telah beristri dan memiliki anak. [Mark J. Penn, Microtrends, hal. 120-123]
Dampak buruk homoseksualitas, baik secara fisik maupun mental, juga kerap dikemukakan oleh para pakar. Secara fisik, homoseksualitas telah menjadi kontributor munculnya penyakit AIDS. WHO melaporkan bahwa di Belanda kaum homoseksual menyumbang 68,6 persen pada kasus HIV/AIDS. Sedangkan di Inggris, kontribusi mereka sebesar 65,8 persen. Selain AIDS, homoseksualitas juga mengakibatkan penyakit sipilis, herpes kelamin, kanker dubur, kanker kelenjar getah bening, dan lain-lain.
Secara mental, kaum homoseksual memiliki kecenderungan melakukan upaya bunuh diri sebesar 6,5 kali lebih besar, memiliki ide bunuh diri sebesar 4,1 kali lebih besar, dan memiliki keinginan untuk mati sebesar 4,4 kali lebih besar, ketimbang kaum normal. Selain itu, kaum homoseksual memiliki karakter posesif yang kebablasan. Mereka rela melakukan apa saja demi memuaskan libidonya dan mempertahankan pasangannya, termasuk dengan cara merampok, membunuh, hingga mutilasi.
Mengingat dampak buruk yang bisa ditimbulkan homoseksualitas—secara fisik, psikologis, dan sosial—maka melakukan penyembuhan tentu lebih baik dan bijaksana ketimbang mempertahankan identitas sebagai homoseks. (IRIB Indonesia/PH)
Oleh: Muhammad Anis