Drink Responsibly. Minum atau mabuklah secara bertanggung-jawab. Kampanye itu terpampang dalam iklan sebuah minuman keras di arena pertandingan Liga Inggris. Kampanye ini juga layak ditujukan kepada Ulil Abshar Abdalla dan kawan-kawan liberalnya di JIL, atau sekalian juga di Partai Demokrat.
Inilah kebebasan itu. Siapa saja yang mabuk janganlah menyetir mobil. Siapa saja yang banci janganlah berusaha menularkannya ke orang lain. Siapa saja yang korup janganlah mengelak ketika ketahuan. Siapa saja yang ingin berbuat sesuka hati jangan membuat kekacauan.
Satu, dua, beberapa, ratusan atau ribuan sekalipun aktivis Islam Liberal yang anti-Islam -yang tidak "liberal" seperti mereka- sekarang ini masih harus berhadapan dengan jutaan, puluhan juta, bahkan ratusan juta orang Islam Indonesia lainnya yang –dianggap- tidak modern. Jika mereka sudah tidak tahan ingin mengubah kondisi masyarakat itu secepatnya, dunia hari ini tidak sempit lagi. Ikuti saja jejak Salman Rushdie ke Inggris, atau bergabung dengan Geert Wilders di Belanda, atau hijrah bersama Irshad Manji ke Kanada. Orang-orang ini ingin menikmati kehidupan damai di tengah masyarakat muslim Indonesia namun mendorong-dorong negara memberikan kebebasan kepada mereka untuk mengusik kedamaian tersebut.
Panitia bedah buku Irshad Manji di Salihara itu tidak memiliki izin, melanggar aturan, tapi tetap bersikeras menolak dibubarkan. Mereka seperti orang yang diberhentikan Polisi di tengah jalan karena mengemudi dalam keadaan mabuk tapi menolak berhenti. Mereka tidak peduli bahwa banyak masyarakat muslim yang menolak Irshad Manji. Mereka merasa menjadi orang paling berhak berbuat bebas sekehendaknya di Republik ini, barangkali karena orang-orang lain di luar itu mereka anggap kolot, tak berbudaya, bukan orang Islam sebenarnya, kaum terbelakang, ekstrimis, teroris dan lain sebagainya -ataukah karena ada Ulil, lalu menjadi berani dan menganggap SBY berdiri di belakangnya?
Bahkan Muhammadiyah yang moderat menolak Irshad Manji. Secara sangat meyakinkan, seratus persen, Islam yang asli mengharamkan homoseksualitas. Dan Irshad Manji yang seorang lesbian menulis buku tentang hakikat Islam? Judul bukunya itu Allah, Liberty and Love -Allah, Kebebasan dan Cinta. Mengetahui jika penulisnya seorang lesbian yang menuntut kebebasan sekuler liberal di dalam agama Islam, judul tersebut berangsur-angsur berubah menjadi Allah dan Kebebasan Bercinta. Tidak aneh jika ada pembacanya yang menilai, di dalam buku-bukunya orang ini hanya mengedepankan egonya yang luarbiasa. Seorang lesbian tentu saja merasa resah karena ajaran agamanya sendiri mengecam kesenangannya itu lalu memimpikan sebuah perubahan.
Jika orang-orang anti-Islam ini ingin membangun paham baru tidak ada yang melarang. Namun, mengajak orang-orang Islam meninggalkan nilai-nilai Islam tentu sudah melanggar wilayah, mengganggu kebebasan berkeyakinan umat Islam. Jadi wajar jika organisasi militan seperti FPI turun ke lapangan. Untungnya, dalam kejadian kemarin kepolisian mampu menjadi penengah yang baik.
Orang Islam yang bukan aktivis, penonton dari kejauhan, hanya bisa mencoba membubarkan ide-ide tentang kebebasan yang memabukkan itu di dalam wilayahnya masing-masing. Mungkin mereka tidak sepintar Ulil Abshar Abdalla tapi sebagian besar umat Islam Indonesia yang "bodoh" itu masih mempunyai Kitab Suci dan Hadis Nabi sebagai sandaran. Sekali waktu mereka akan keliru dalam berpikir dan bertindak, namun mereka selalu memiliki tempat bagi akalnya untuk kembali. Mereka tidak mau membiarkan alam pikirannya berkelana jauh sampai benua lain, terpesona oleh kemegahan, gagap melihat kemajuan ilmu pengetahuan, lalu tersesat jalan.
Umat Islam Indonesia tidak menjadi berkurang pluralitasnya sebelum muncul orang-orang yang menamakan diri Islam liberal itu. Sudah lama umat Islam Indonesia hidup dalam diversifikasi keyakinan dan pemikiran. Tidak ada permasalahan dengan pluralitas dan kebebasan selama itu, selama tidak ada yang mabuk dan melanggar aturan. (IRIB Indonesia/Kompas/SL)