Keresahan terus mendera Markus Bugaleng. Tokoh masyarakat suku Amungme, Mimika, Papua ini mengaku prihatin atas kehidupan warganya yang tak kunjung lepas dari kemiskinan. Persoalan gizi buruk masih merajalela di sekitar tempat tinggalnya. Padahal di tanah mereka berdiri perusahaan raksasa PT Freeport Indonesia. Tambang emas terbesar di dunia asal Amerika.
"Keberadaan Freeport di daerah kami tidak membawa kesejahteraan terhadap masyarakat, utamanya bagi suku Amungme dan suku Komoro," tutur Markus.
Dua suku inilah pemilik tanah yang berlimpah tembaga dan emas itu. "Total tanah kami yang digunakan Freeport adalah 1,6 juta hektar," tambahnya. Namun anggota masyarakat kedua suku ini yang bekerja di Freeport bisa dihitung dengan jari.
PT Freeport Indonesia yang merupakan anak perusahaan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. diketahui telah hadir di Bumi Cenderawasih itu sejak tahun 1967. Tercatat sebagai perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani presiden Soeharto. Kontrak Karya I Freeport dengan pemerintah ditandatangani pada 7 April 1967 (No.82/EK/KEP/4/1967). KK ini berlaku selama 30 tahun.
Saat itu, Freeport hanya mengambil biji tembaga di atas tanah seluas 100.000 hektar. Dalam perkembangannya, Freeport menemukan emas dan perak serta diam-diam menambangnya dan baru ketahuan pada tahun 1978. Namun pemerintah tak memberikan sanksi apa-apa.
Kewajiban membayar royalti emas itu baru terjadi ketika ada pembaruan Kontrak Karya II tertanggal 30 Desember 1991 dimana luas wilayah kontrak karya PT Freeport bertambah menjadi 212.950 hektar. Freeport memperoleh kembali hak eksplorasi selama 30 tahun. Dapat diperpanjang dua kali, masing-masing sepuluh tahun.
Dalam rentang itu entah telah berapa banyak keuntungan yang diraup Freeport. Namun dalam laporan keuangan 2010 saja, Freeport menjual sebanyak 1,2 miliar pounds tembaga dengan harga rata-rata 3,69 dolar AS per pound atau setara dengan Rp 39,42 triliun.
Selain itu, Freeport juga menjual sebanyak 1,8 juta ounces emas dengan harga rata-rata pada 2010 sebesar 1.271 dolar AS per ounce atau setara Rp 20,59 triliun. Jadi total penjualannya mencapai Rp 60,01 triliun.
Tak aneh jika produktivitas dan kontribusi PT Freeport Indonesia jauh di atas rata-rata perusahaan lain yang tergabung dalam grup FCX (Freeport-McMoran Cooper Gold Inc). Grup FCX sendiri terdiri dari 14 perusahaan, sedangkan PT Freeport Indonesia memberikan kontribusi sebanyak 50,75 persen kepada FCX pada tahun 2010.
Ironisnya, di tengah besarnya keuntungan yang diraup Freeport, kehidupan kedua suku yang tanahnya dipakai itu tak berubah, bahkan kian miskin. Sehari-hari, masyarakat suku Amungme bertani, sementara masyarakat suku Komoro tetap meramu untuk sekadar bertahan hidup. "Di sini gizi buruk masih tinggi. Kemiskinan
juga makin tinggi," ujar Markus.
Juru Bicara PT Freeport Indonesia, Ramdani Sirait yang dikonfirmasi menyatakan pihaknya berkomitmen akan terus berkontribusi terhadap pemerintah Indonesia, pemerintah daerah dan masyarakat Papua. Kontribusi itu menurut dia diwujudkan dalam bentuk kepatuhan membayar pajak, royalti dan deviden. Serta pengembangan masyarakat yang didanai langsung dari perusahaan.
Selain suku Amungme dan suku Komoro yang merasa kurang mendapatkan manfaat, kesepakatan perjanjian Freeport dengan pemerintah juga dinilai merugikan negara. Pasalnya, royalti emas yang diberikan Freeport ke pemerintah hanya 1 persen. Padahal jika mengacu PP Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari hasil tambang menyebutkan, royalti bagi pemerintah untuk emas sebesar 3,75 persen, tembaga 4,00 persen, dan perak 3,25 persen dari perhitungan seluruh hasil tambang yang diolah perusahaan.
"Tapi Freeport menolak ketentuan itu dan berpedoman pada Kontrak Karya II yang bersifat lex specialist," kata Gunawan, Sekretaris Jendral Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS). Memang, lanjut Gunawan, dalam pembaharuan Kontrak Karya II PT Freeport Indonesia menyebutkan, royalti emas yang harus dibayarkan ke pemerintah Indonesia antara 1 hingga 1,5 persen.
Tapi secara hukum, kata Gunawan, dalih lex spesialist itu secara otomatis tak berlaku lagi karena sudah lahir peraturan hukum baru, yaitu PP No. 45 tahun 2003. "Dengan begitu, maka perjanjian Kontrak Karya II Freeport itu batal demi hukum," ujarnya.
Gunawan mengaku heran dengan keengganan Freeport mematuhi peraturan tersebut. Padahal angka 3,7 persen itu tak seberapa jika dibanding keuntungan yang didulang Freeport. Serta jika dibanding aturan royalti di negara-negara Afrika yang berkisar antara 5-8 persen untuk emas.
Dari Annual Report PT Freeport, mereka membayarkan royalti periode 2003-2010 sebesar 110,3 juta dolar AS. Jika dihitung berdasarkan PP Nomor 45, terhitung sejak 31 Juli 2003, seharusnya mereka membayar royalti emas 366,5 juta dolar AS. "Ada kerugian negara sebesar 256,1 juta dolar AS," ujarnya.
Ketidakadilan ini membuat banyak kalangan geram. Hingga muncul suara-suara yang menuntut renegosiasi ulang kontrak pertambangan PT Freeport. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, menyebut pihaknya masih memproses rencana renegosiasi ulang tersebut. Di tengah upaya pemerintah memperjuangkan renegosiasi ulang kontrak karya, nasib Markus yang ingin terangkat ke sejahteraannya dengan keberadaan Freeport tak kunjung terpenuhi. (IRIB Indonesia/Prioritas)