28 Feb 2012

Kedok AS dibalik Masalah JAT dan Terorisme

kompas.comJumat, 24/02/2012, koran nasional Indonesia Kompas.com menurunkan berita berdasarkan laporan informasi dari Departemen Luar Negeri AS, kalau organisasi bentukan Abu Bakar Ba’asyir, Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), adalah organisasi teroris internasional.

Kompas bilang; “Departemen Luar Negeri AS menyatakan, JAT selama ini terkait dengan sejumlah serangan di Indonesia. Kelompok berusia tiga tahun itu berada di belakang pengeboman gereja di Jawa Tengah September lalu, sejumlah serangan mematikan terhadap polisi Indonesia dan berbagai perampokan bank yang bertujuan mengumpulkan uang guna membeli senjata dan bahan-bahan peledak.” Kompas, Jumat, 24/02/12..

JAT adalah organisasi berumur tiga tahun, tepatnya didirikan 27 Juli 2008 di Solo, oleh Abu Bakar Ba’asyir dan dideklarasikan pada 17 September 2008. Organisasi ini dalam situs resminya menyatakan diri sebagai organisasi terbuka. Silahkan baca situs resminya; http://ansharuttauhid.com/

Situs berita online Detik.com bilang, otoritas AS memasukkan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dalam daftar kelompok teroris, tapi Polri mengakui JAT sebagai organisasi biasa.

Tapi persoalan penting bukan disitu sebenarnya, tapi ada persoalan penting yang dilupakan oleh kalangan terkait isu terorisme yang seringkali dimegafonkan oleh AS sebagai pintu masuk infiltrasi militer ke sebuah negara tertentu utamanya Indonesia.

Dan dibawah ini adalah penggalan kisah yang tak ingin didengar kalangan diplomat Amerika dan semua informan mereka. Sebuah cerita tentang tusukan infiltrasi yang sistematis dan perihnya nasib Republik Indonesia yang takluk dan bersimpuh di kaki Kedutaan Amerika. “Emperior” yang mengklaim dirinya sebagai Hansip Dunia.

Sebelum ini kita telah mencatat sebagian kisah yang mirip dalam tulisan sebelumnya. Tapi sejatinya, masih banyak yang tak tersentuh dan hingga detik ini tetap jadi misteri bagi publik, utamanya di tengah kekompakan banyak media untuk menutup mata pada informasi sensitif, kontroversial dan menyangkut hajat hidup dan maruah bangsa di Republik Indonesia ini.

Kisah yang tertulis dalam catatan ini bersumber dari belasan kawat telegram yang merekam proyek kontra terorisme Kedutaan Amerika di Jakarta. Detil yang tertera di dalamnya memunculkan persepsi kalau Kedutaan Amerika di Jakarta adalah pihak yang paling diuntungkan dari setiap teror bom yang terjadi di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Teror bom, seperti terekam dalam telegram, melapangkan jalan bagi Kedutaan untuk membangun jalan tol kemesraan dengan pihak polisi, kejaksaan, kementrian luar negeri, kementrian kehakiman dan hak asasi, KPK, BPK, Kementrian Keuangan, PPATIK dan masih banyak lagi.

Dalam soal dukungan mereka pada Detasemen Khusus 88, telegram bahkan seolah bercerita kalau via kerjasama kontraterorisme, Kedutaan Amerika – dan bahkan Komando Militer Amerika Serikat di Pasifik – bisa punya pasukan sendiri dalam tubuh kepolisian Indonesia; pasukan yang mereka bentuk, mereka latih, mereka biayai dan mereka perhatian setiap langkah dan kebutuhannya.

Telegram juga merekam kalau terorisme membuka jalan bagi Kedutaan Amerika untuk membangun semacam pangkalan di pusat pendidikan dan pelatihan polisi di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Dan dalam soal ini, Australia, New Zealand, Kanada dan Singapura ikut menancapkan kuku tajamnya:

1. Telegram berjudul “Prosecutors Unfazed By Amrozi’s Testimony For Ba’asyir”, dikawatkan pada 20 April 2006, antara lain mengungkap ‘pembicaraan akrab’ antara seorang Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Jakarta Pusat, Salman Maryadi – juga disebutkan sebagai bekas jaksa penuntut utama dalam kasus Ba’asyir – dengan kalangan diplomat Amerika di Jakarta.

Kata telegram: “Maryadi bilang ke kami (diplomat Amerika, red) kalau urusan Peninjauan Kembali (oleh kubu pengacara Baasyir) tak boleh jatuh ke tangan pejabat di Kantor Kejaksaan Tinggi hanya karena jabatannya, tapi harus tetap di tangan jaksa yang dia percaya dan berpengalaman dalam kasus Baasyir”. Dia juga bilang kalau dia telah memilih sendiri jaksa-jaksa dari Jakarta untuk pergi ke Cilacap dan mengamati sesi dengan Amrozi. Kejaksaan mengirim Kuntadi (peserta International Visitors Program 2005), Narendra Jatna (peserta Paris Program 2005), Nanang Sigit (peserta Program IV 2006). (Catatan: Maryadi belum pernah ke Amerika meski telah mengungkapkan keinginannya untuk bisa kesana dalam beberapa kali pertemuan.)

Telegram lain menggambarkan Gugus Kerja Terorisme dan Kejahatan Transnasional di Kejaksaan Agung sebagai ‘kelompok elit dukungan Amerika’ yang berhasil memenangkan perkara atas 13 tersangka Jamaah Islamiyah pada 2007. Kami juga menemukan sebuah telegram yang merekam pengiriman sekitar 100 orang birokrat, dari kejaksaan, kepolisian, kehakiman, PPATK, BPK, KPK, Kementrian Keuangan, dalam proyek “peningkatan kapasitas” sekaitan “ perang melawan kejahatan keuangan, termasuk kontra keuangan terorisme” di Seattle, New York, Washington, Bangkok dan Singapura. Telegram bilang pendanaan proyek ini bersumber dari USAID, FBI, Kejaksaan Amerika, dan Kementraian Keuangan Amerika dan terlaksana via “kanal bilateral”.

2. Sebuah telegram bertajuk “Ct Rewards Program Update”, dikawatkan dari Jakarta pada 27 Juni 2007, merekam penyerahan hadiah uang tunai untuk empat orang informan polisi Indonesia yang membantu mengungkap sebuah kasus terorisme.

Telegram bilang uang hadiah itu bersumber dari program hadiah Departemen Pertahanan Amerika dalam anggaran U.S. Pacific Command, komando militer Amerika Serikat di Pasifik, yang kemudian diserahkan oleh Kedutaan Amerika ke polisi Indonesia: “Pada 20 Juni, investigator senior polisi di Yogyakarta menyerahkan hadiah uang tunai dalam rupiah pada keempat kandidat. Mereka adalah yang pertama yang menerima hadiah kontraterorisme dalam upaya di balik layar untuk membantu polisi Indonesia mengembangkan program hadiah dengan fokus pada kontraterorisme. Keempat kandidat telah membantu polisi menemukan jejak Azahari, Jabir dan Abdul Hadi.”

Telegram juga bilang kalau penyerahan uang hadiah berlangsung pada 20 Juni di Yogyakarta, di sebuah tempat yang dipilih oleh Polisi Indonesia dan disetujui oleh Rewards Working Group, gugus kerja pembagian hadiah di Kedutaan Amerika.

Kata telegram, dua orang pejabat kedutaan dan dua perwakilan PACOM (Komando Militer Amerika di Pasifik) di Kedutaan datang ke Yogyakarta dan menyaksikan penyerahan hadiah dari sebuah ruang yang bersebelahan dengan tempat acara, via kamera CCTV. Inspektur Gories Mere, kata telegram, memberikan pengantar singkat saat acara dan menyampaikan ucapan terima kasih dari bos besar Polisi Indonesia, Sutanto. Pejabat lainnya yang hadir adalah Brigadir Jenderal Surya Dharma (Komandan Gugus Kerja Kontraterorisme), Petrus Golose dan Rycko Amelza.”

Lepas penyerahan, telegram bilang kalau RWG bertemu lagi (dengan pihak polisi Indonesia) pada 25 Juni. Bersama-sama, katanya, mereka mengevaluasi penyerahan hadiah pekan sebelumnya. “Baik Kedutaan dan Polisi Indonesia tetap setuju kalau bantuan Amerika dan program hadiah harus tetap dirahasiakan dan tak diketahui publik. Baik upaya penyerahannya dan informannya tak bakal diungkap ke publik,” kata telegram.

Di bagian akhir, telegram menyebut kalau ada anggaran US$ 800.000 (sekitar Rp 8 miliar) dari U.S. Special Operations Command ( Komando Operasi Khusus Militer Amerika, USSOCOM) untuk pengembangan, produksi dan diseminasi produk TV, radio, cetak, dan material promo yang mendukung Program Anti Kekerasan di Indonesia. Sebagian dana itu, kata telegram, juga bakal digunakan untuk penyiapan perangkat nomer telpon pengaduan setiap aktivitas kriminal/terorisme di Indonesia.

Telegram ini nampaknya bisa menjelaskan kemunculan mural dan pamflet yang mengutuk terorisme di sudut-sudut Jakarta sejak beberapa tahun silam – sebagiannya hingga kini masih bisa disaksikan. Ia juga nampaknya bisa menjelaskan sumber pendanaan acara di sejumlah tv nasional yang formatnya mirip acara perburuan buronan di tv Amerika.

3. Pada 7 September 2007, dalam sebuah telegram bertajuk “Request For Dod Rewards Program Assistance For Indonesian Police”, kedutaan melaporkan kalau mereka telah mengkaji peristiwa penangkapan Abu Dujana dan percaya kalau kerja polisi patut mendapat hadiah. Dalam kaitan itu, mereka meminta agar unit polisi di Jawa Tengah “dipertimbangkan untuk mendapat hadiah” dari anggaran USPACOM.

4. Pada 12 Juni 2008, dalam sebuah telegram bertajuk “Dod Rewards — Indonesian Police Pay 13 Informants For Abu Dujana Arrest”, kedutaan melaporkan kalau polisi – dengan dana dari USPACOM — telah menyerahkan masing-masing US$ 3.000 ke 13 orang yang membantu polisi menangkap Abu Dujana setahun sebelumnya.

Telegram bilang ini adalah pemberian hadiah yang kedua untuk informan polisi. “Kemampuan polisi untuk memberi hadiah pada warga yang membantu mereka menangkap teroris adalah penting pada upaya kontraterorisme polisi. Jumlah yang diberikan ke setiap informan (US$ 3.000) adalah realistis, jika tak berlebih, mengingat standar hidup indonesia dan memberi kredibilitas pada presentasi program yang disebutkan diatur dan didanai oleh polisi. Polisi mengapresiasi bantuan Amerika, dengan dasar polisi Indonesia sejauh ini telah menyerahkan hadiah uang tunai yang totalnya mencapai US$ 187.000 untuk 17 informan.”

5. Sebuah telegram bertajuk “Indonesia’s Top Three Wanted Terrorists And A Promising New Lead”, dikawatkan pada 18 Desember 2006, mengungkap kalau polisi Indonesia sudah lama mengetahui keberadaan Abu Dujana, memantau pergerakannya setiap saat dan baru memutuskan melakukan penangkapan pada 9 Juni 2007: “Laporan seorang Polisi Federal Australia (AFP) yang dibagi ke kami belum lama ini mengkonfirmasi kalau polisi Indonesia telah mengetahui keberadaan Dujanah dan saat ini telah menempatkan dia dalam penyelidikan di Jawa Tengah. Tim pengintaian polisi telah mengamati pertemuan Dujanah dengan anaknya, Yusuf. Laporan AFP selanjutnya mengkonfirmasi niat polisi menggelar pemantauan guna mencari tahu adakah dari situ bisa terbaca kaitan dia dengan Noordin Top.”

Catatan; Telegram bilang Ainul Bahri alias Abu Dujana adalah veteran Perang Afghanistan, fasih berbahasa Arab dan pernah menjadi sekretaris pribadi Abu Bakar Baasyir.

6. Sebuah telegram bertajuk “Jakarta - Ds/ata And Special Detachment 88”, dikawatkan pada 15 November 2007, memberi gambaran hubungan mesra antara Kedutaan Amerika Serikat, Kementrian Luar Negeri Amerika Serikat dan polisi Indonesia via Diplomatic Security Anti-terrorism Assitance Program (DS/ATA). Telegram antara lain bilang kalau ada Memorandum of Intent (nota kesepahaman) antara Kedutaan Amerika dan Polisi Indonesia dalam soal kontraterorisme.

Memorandum ini antara lain membuka jalan DS/ATA untuk mendukung program kontraterorisme Detasemen Khusus 88. Kata diplomat Amerika, mereka sempat terpikir menggunakan personel militer Amerika untuk melatih polisi Indonesia, tapi kecemasan kalau TNI mengetahui soal ini dan lalu marah, membuat pilihan mereka jatuhkan pada “sipil dengan pengalaman SWAT”. Telegram juga bilang kalau sebuah tim penasihat teknis DS/ATA bakal merancang evaluasi kemampuan Detasemen 88 dan pengembangannya, dan menerapkan sebuah program training yang “bisa membawa Detasemen 88 ke level berikutnya”.

Telegram bilang, Detasemen masih perlu latihan beragam jenis operasi taktis – kota ataupun desa. Personel Detasemen 88 juga perlu mengembangkan kemampuan pengintaian dan investigasi, kemampuan intelijen teknis, dan tekni “room entry”. Telegram juga bilang kalau penting bagi DS/ATA untuk tetap low profile dan berada “di balik layar” dan di luar jangkauan media dan memberi kredit “ke pihak seharusnya”, yakni polisi Indonesia. Telegram juga bilang, guna menjadikan Detasemen 88 lebih efektif dan unit yang kohesif, DS/ATA sedang dalam proses membangun sebuah pusat pelatihan khusus untuk SD-88 di pusat pelatihan kontra terorisme Polisi Indonesia. Fasilitas berlokasi di Cikeas yang nantinya berisi pusat komando dan briefing room. Pembangunan diperkirakan kelar pada Mei 2008.

Telegram juga mencantumkan nama dan nomer telpon Regional Security Officer (RSO) Kedutaan Amerika di Jakarta: Jeff Lischke, 62-21-3435-9013.

7. Telegram berjudul “Indonesian Counterterrorism And Deradicalization Initiatives”, dikawatkan pada 6 Februari 2008, merekam pertemuan pejabat senior Kedutaan Amerika dengan koordinator desk kontraterorisme Indonesia, Inspektur Jenderal Ansyaad Mbai, pada 30 Januari.

Mbai, digambarkan dalam telegram sebagai “pensiunan polisi”, “koordinator kontra terorisme di Kantor Kementrian Politik dan Keamanan”. Telegram bilang Mbai telah menjabat sejak Bom Bali I pada 2002, saat Presiden Susilo masih menjabat sebagai Menteri Koordinator di era Megawati. “Mbai ditemani oleh bekas duta besar Rousdy Soeriaatmadja, kontak langsung Kedutaan dalam program bantuan kontraterorisme”.

Telegram bilang Mbai mengungkapkan terima kasih pada Kedutaan yang ikut menangkal “rekrutmen teroris” lewat kampanye via media tradional, seperti pagelaran wayang, klinik sepak bola dan workshop kontraterorisme. Kata telegram, Mbai “menekankan dampak negatif jika publik luas mengetahui Amerika mensponsori program-program itu” dan meminta agar kerjasama di antara mereka tetap tidak didiskusikan ke publik”.

8. Sebuah telegram berjudul “Counterterrorism — Indonesian Developments”, dikawatkan dari Jakarta pada 19 Maret 2009, mengungkap sosok “Team Bomb”.

Isi telegram bilang kalau inilah gugus kerja ad hoc kontraterorisme di kepolisian Indonesia, yang memainkan peran utama, kadang lebih berpengaruh dari Detasemen 88, dalam melacak orang-orang Jamaah Islamiyah dan kelompok-kelompok militant lainnya.

Kode “protect” di belakang penyebutan nama “Team Bomb” dalam telegram, mengisyaratkan kalau polisi yang bergabung dalam tim ini rutin memasok informasi rahasia ke Kedutaan Amerika. Telegram juga bilang kalau “… Team Bomb (protect), yang mengorganisir pembayaran hadiah untuk informan polisi dan bekerja dengan pejabat Kementrian Pertahanan dan Kementrian Luar Negeri Amerika “agar uang bisa sampai ke markas polisi di Jakarta”.)

Telegram juga bilang kalau “Team Bomb dan Detasemen Khusus 88 (SD-88) punya target dan misi kontraterorisme yang saling mendukung. Operasi Team Bomb pada dasarnya bagian dari SD-88 dan unit kepolisian lainnya karena alasan keamanan dan konterintelijen, dan pemisahan unit kerja ini “berkontribusi pada kesuksesan Team Bomb”. Team Bomb disebutkan juga sebagai “gugus kerja kontra terorisme yang “pre-eminent”, paling mantap. Telegram lain bilang: sementara SD-88, digambarkan sebagai tim respon kontraterorisme, yang banyak menerima kredit publik atas penangkapan tokoh-tokoh JI, khususnya Zarkasih dan Abu Dujani pada Juni 2007, Team Bomb lah yang sebenarnya mengumpulkan informasi sekaitan sejumlah teroris, mengeksekusi serangan ke rumah-rumah persembunyian, dan melakukan penangkapan.

Telegram juga bilang dengan satunya pimpinan Team Bomb dan Densus 88, yakni di bawah komando Surya Dharma, kedutaan berharap koordinasi upaya kontra terorisme menjadi lebih baik.

9. Sebuah telegram berjudul “Counterterrorism — Goi Deradicalization Efforts Show Promise”, dikawatkan pada 24 Maret 2009, menyebutkan “… “Bersama Team Bomb, gugus kerja polisi ad hoc dalam urusan kontra terorisme, pejabat SD-88 mengindentifikasi tersangka dan terpidana terorisme di penjara yang cenderung pada ide –ide moderat dan membina hubungan dengan mereka. Pejabat ini, yang semua muslim, menyediakan bagi keluarga radikal yang ditahan bantuan uang dan membuka peluang para teroris untuk berhubungan dengan keluarga dan masyarakat selama masa penahahan. Dengan shalat dan makan bersama tersangka teroris, pejabat memperlihatkan alternatif dalam berislam. Individual ini terus mendampingi terpidana selama masa persidangan, pemenjaran dan pelepasan dari tahanan.

10. Sebuah telegram lain mengungkap kalau Mbai pernah bilang ke diplomat Amerika di Jakarta kalau Brigadir Jenderal Surya Dharma punya daftar 100 orang terpidana teroris yang berpotensi untuk dijinakkan, dijadikan berpandangan moderat sekaligus informan polisi. Mereka, katanya, umumnya miskin dan bakal senang jika ada yang membantu pendanaan lepas dari penjara.

11. Telegram bertajuk “Jakarta Resolute In Aftermath Of Bomb Blasts”, dikawatkan pada 21 Juli 2009, merekam kerjasama polisi Indonesia dan Biro Penyidik Federal Amerika Serikat, FBI, dalam penyelidikan Tragedi Bom Marriott dan Ritz Carlton. Telegram bilang: “Sekalipun Pemerintah Indonesia di muka umum bilang kalau mereka tak memerlukan bantuan dalam penyelidikan dan tak secara formal menerima bantuan, Polisi Nasional Indonesia diam-diam telah meminta bantuan FBI untuk meningkatkan kualitas footage video pengamatan di kedua hotel.

Agen-agen FBI, yang akan membantu permintaan ini, akan tiba di Jakarta pada 25 Juli … (Catatan: sekaitan peristiwa 17 Juli, pertukaran informasi kontraterorisme menjadi kian penting. Publikasi adanya bantuan FBI akan … menjadikannya tak efektif dan membahayakan kepercayaan yang telah kami bangun dengan penegak hukum Indonesia. Akhir Catatan.)”

Di bagian lain dokumen ada tertulis kalau Herry Nurdi, digambarkan sebagai Editor-In-Chief Majalah Sabili, “majalah paling populer yang menawarkan pandangan anti Barat dan anti Semit paling keras, bilang ke kami kalau majalahnya akan mengeluarkan sebuah edisi yang berisi kutukan atas serangan”.

12. Telegram bertajuk “Counterterrorism — Proposal For Additional Usg Involvement In Key Law Enforcement Training Center”, dikawatkan pada 14 September 2009, antara lain menyebutkan: “Pemerintah Amerika Serikat berhasil menggelar kelas dan konferensi anti-terorisme di JCLEC (Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation, pusat pendidikan kontra terorisme kerjasama polisi Indonesia dan Australia) di masa lalu, tapi pengajaran yang reguler di JCLEC kerap jadi persoalan karena jadwal yang tak pas.

Sejak 2006, Kedutaan Amerika telah mendukung pelatihan tahunan kontra terorisme di JCLEC … Program Diplomatic Security’s Anti-Terrorism Assistance telah menggelar pelatihan di JCLEC di masa lalu (sebagai tambahan atas pelatihan yang dilaksanakan di pusat pelatihan milik DS/ATA sendiri di Megamendung, Jawa Barat).”

Pusat pelatihan DS/ATA berada dalam kompleks pendidikan polisi di Megamendung, Bogor. Kabarnya, Kedutaan Amerika ‘menyewa’ sebuah ruangan di situ selama berlangsungnya pelatihan kontra terorisme.

13. Telegram bertajuk “Jayapura - Special Detachment 88”, tertanggal 9 November 2007, merekam perjalanan ‘nyaman’ Duta Besar Amerika berkeliling kawasan Freeport – dengan penjagaan lengkap pasukan Densus 88. Telegram dikawatkan oleh Regional Security Officer Kedutaan Amerika di Jakarta, Jeff Lischke.

Jeff menulis: “1. (U) RSO belum lama ini menemani Duta Besar ke Jayapura di Papua. Alasan utama kunjungan ini adalah bertemu pejabat Indonesia dan berkunjung ke kawasan tambang Freeport McMoRan di Timika dan BP di Babo. Selama kunjungan, RSO bertanya soal Detasemen 88 untuk mencari tahu adalah personel awal unit ini, yang mendapat pelatihan di fasilitas pelatihan DS/ATA pada Februari 2007, masih utuh.

2. (C) Kami bertemu Komandan Detasemen Khusus 88, Kolonel S.H. Fachruddin, dan bertanya padanya tentang Detasemen Khusus 88. Dia bilang kalau bawahannya adalah petugas pengamanan polisi Indonesia selama Duta Besar berada di Jayapura. Dia bilang kalau kantornya tak jauh dari komplek Gubernur, Kapolda dan Panglima Daerah Militer. Sekalipun kami tak sempat mengunjungi kantor mereka dan menginspeksi peralatan mereka, sang Kolonel bilang kalau semua peralatan dan kendaraan yang diberikan DS/ATA masih ada dan dalam kondisi bagus. (Harap dicatat kalau salah satu kendaraan yang digunakan dalam iring-iringan kendaraan Duta Besar adalah mobil Detasemen Khusus 88 dan mobil itu dalam kondisi sempurna).

Catatan; Dari penelisikan, khususnya atas 3.059 kawat diplomatik yang bersumber dari Kedutaan Amerika di Jakarta, kita justru menemukan kalau porsi terbesar telegram diplomat Amerika datang dari ‘tangan pertama’ – dan sebab itu layak beli dan mendapat perhatian khusus dari pemerintah.

Kita sudah mengungkap sebagian kecil isi telegram yang seperti itu dalam beberapa tulisan sebelumnya. Tapi sejatinya, masih banyak yang tak tersentuh dan hingga detik ini tetap jadi misteri bagi publik, utamanya di tengah kekompakan banyak media untuk menutup mata pada informasi sensitif, kontroversial dan menyangkut hajat hidup dan maruah bangsa di dalamnya.

Ini misalnya termasuk sejumlah telegram yang merekam konsesi besar yang diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Kedutaan Amerika dan pilihan presiden untuk bermanis-manis dengan Israel – anak bejat Amerika di Timur Tengah yang hingga kini tak diakui keberadaannya oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Jadi, begitulah cara Amerika merobek lambung dan menginfiltrasi satu negara melalui cara-cara terorisme modern. Mereka segera datang menghampiri dan memaksakan “minuman kaleng” merk baru ke pemerintah Republik Indonesia. [Islam Times/on/K-014]

Catatan; Semua kode-kode diatas bisadirujuk ke situs ini; http://www.cablegatesearch.net/search.php atau di sini http://cables.mrkva.eu/

Artikel Terkait

- Reviewer: Asih - ItemReviewed: Kedok AS dibalik Masalah JAT dan Terorisme Deskripsi: Jumat, 24/02/2012, koran nasional Indonesia Kompas.com menurunkan berita berdasarkan laporan informasi dari Departemen Luar Negeri AS, kalau... Rating: 4.5
◄ Newer Post Older Post ►