Pemberitaan yang dirilis PressTV dan IRIB Indonesia baru-baru terkait pernyataan komandan staff gabungan militer AS, Gen. Dempsey sangat menarik. Dalam wawancaranya dengan CNN, Dempsey menyebut Iran sebagai ‘aktor rasional'. Saya sulit menilai bahwa ini sebuah pujian, sehingga saya mencari transkrip asli wawancaranya. Ternyata, Dempsey menyebut kerasionalan Iran itu terkait dengan sanksi embargo bertubi-tubi yang tengah diarahkan kepada Iran. Dempsey yakin bahwa karena rasionalitas itu, lambat-laun Iran akan tunduk pada kemauan Barat.
Saya pun membuka-buka kembali text-book Foreign Policy Analysis yang sudah pasti memuat bahasan soal ‘aktor rasional'. Dalam kajian Hubungan Internasional, pelaku aktivitas politik internasional itu diistilahkan dengan ‘aktor'. Aktor ini bisa berupa negara, perusahaan, LSM, atau bahkan individu. Dalam analisis Kebijakan Luar Negeri (selanjutnya saya singkat KLN), sebuah negara (yang diistilahkan dengan ‘aktor') diharapkan bertindak rasional sehingga menguntungkan kepentingan nasionalnya. Dalam kasus Iran, ketika sudah ‘habis-habisan' diembargo -menurut perspektif AS- tindakan rasional yang dilakukan Iran seharusnya adalah tunduk kepada AS. Tentu saja, bagi Iran, tunduk kepada AS jelas bukan KLN yang rasional. Dalam tulisan saya sebelumnya, saya sudah menjelaskan bahwa kekuatan soft power Iran justru sangat tangguh dan ketundukan pada AS sangat kontradiktif dengan soft power yang dimiliki Iran.
Dengan demikian pertanyaannya sekarang, rasionalitas itu dari sisi mana? Dari perspektif siapa? Bila sebuah negara menolak solusi yang dipaksakan oleh negara lain, apakah bisa disebut tidak rasional? Sayangnya, sebagaimana diakui oleh Janice Gross Stein (2008), tidak ada konsep yang memuaskan tentang rasionalitas KLN. Stein hanya bisa menjelaskan konsep-konsep dasar soal rasionalitas ini, yaitu bahwa orang-orang yang memiliki posisi sebagai pengambil KLN haruslah mampu berpikir logis, terbuka, sekaligus selektif, terhadap data-data, serta mampu bersikap koheren dan konsisten terhadap argumen-argumen logis.
Di sisi ini, pernyataan Dempsey soal rasionalitas jelas menggelikan. Siapakah pihak yang tidak logis dalam berpikir? Bukankah Bush dan kemudian Obama, yang terbukti menerima mentah-mentah data-data yang salah soal nuklir Iran; menuduh Iran tengah berupaya membuat senjata nuklir; lalu mengambil KLN yang membahayakan perekonomian dunia? Bukankah para presiden AS yang menerima mentah-mentah data-data palsu intellijen soal terorisme, lalu menyerang Irak, Afghanistan, Pakistan, atau Yaman, yang dituduh melindungi teroris?
Dalam kajian HI, sayangnya, standar rasionalitas tidak dijelaskan secara gamblang. Bila semua pihak menggunakan rasionalitas dari kacamatanya masing-masing, sudah tentu akan timbul konflik. Dan, justru banyak pemikir HI di Barat (dan diadopsi oleh penstudi HI di berbagai penjuru dunia) yang melanggengkan paradigma konflik ini. Menurut mereka, karena masing-masing negara akan bersikap rasional dan memperjuangkan kepentingan nasional masing-masing, situasi konflik (diistilahkan dengan ‘anarkhi') memang akan terus-menerus terjadi. Mereka pun menyarankan agar masing-masing negara memperkuat militer nya dan bersiap siaga, karena setiap saat negara lain mungkin menyerang.
Sekilas, logika ‘anarkhi' ini terlihat benar. Namun bila kita menelisik lebih lanjut, apakah benar ini berlandaskan rasionalitas? Mari kita lihat kasus perang Afghanistan. AS menyerang Afghanistan dengan alasan mengamankan kepentingan nasionalnya yang terancam oleh Al Qaida. Dari sisi ini, seolah-olah AS bertindak ‘rasional'. Padahal, tidakkah ini hanya sekedar strategi untuk bertahan hidup dan justifikasi untuk menundukkan negara lain atas nama kepentingan nasional?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rasional artinya ‘cocok dengan akal'. Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi rasionalitas dan akal. Banyak sekali ayat yang memerintahkan manusia agar berpikir. Bila melihat kepada konsep Islam, kita akan menemukan kejanggalan pada konsep rasionalitas yang dikembangkan oleh ilmuwan HI Barat itu. Konsep rasionalitas yang dikembangkan pemikir HI Barat berlandaskan pada keyakinan bahwa manusia adalah animus dominandi atau hewan yang haus kekuasaan dan egois. Karena itulah, sebuah negara menyerang negara lain demi ‘menyelamatkan kepentingan nasional' dianggap rasional.
Sebaliknya, Islam percaya bahwa manusia itu diciptakan dalam berbagai ras dan suku untuk saling berinteraksi berdasarkan kesamaan kebenaran yang disepakati bersama (lita'aarafuu). Sehingga, pola hubungan internasional dalam pandangan Islam adalah pola hubungan yang berlandaskan akal sehat. Inilah yang kemudian diterjemahkan Iran dalam interaksinya dengan negara-negara Barat. Pemimpin Iran selalu menggunakan logika yang sangat kuat dan sulit dibantah saat mengkritik perilaku AS dan sekutunya.
Misalnya, dalam pidatonya di PBB tahun 2011, Ahmadinejad mengatakan:
"Sudah bukan zamannya lagi sebagian negara menjadikan dirinya sebagai definisi demokrasi dan kebebasan, sekaligus mengangkat diri sebagai hakim dan eksekutornya. Sementara pada saat yang sama mereka juga memerangi negara lain yang [dibangun] berlandaskan demokrasi hakiki."
"Kini, [sekelompok negara] tidak boleh lagi melakukan pendudukan militer terhadap satu negara dengan slogan melawan terorisme dan narkotika, sementara produksi narkotika menjadi berkali lipat, wilayah terorisme menjadi lebih luas, ribuan orang tak berdosa tewas, cidera dan mengungsi, infrastruktur hancur dan keamanan regional terancam. Lucunya, para pelaku utama tragedi kemanusiaan ini malah terus menuduh pihak lain sebagai pihak yang harus bertanggung jawab."
"Kini, [sekelompok negara] tidak boleh lagi meneriakkan slogan persahabatan dan solidaritas kepada bangsa-bangsa dan bersamaan dengan itu mereka memperluas pangkalan-pangkalan militer di dunia, termasuk Amerika Latin."
Pidato Ahmadinejad jelas meruntuhkan bangunan rasionalitas ala AS bagaimana mungkin AS meneriakkan demokrasi dan perdamaian jika pada saat yang sama justru AS-lah negara dengan anggaran militer terbesar di dunia dan menebarkan perang di berbagai negeri? KLN Iran pun dibangun atas rasionalitas semacam ini: bagaimana mungkin sebuah negara yang mengaku berlandaskan Islam mau tunduk patuh pada negara yang menebarkan kejahatan di muka bumi? Justru tidak rasional buat Iran bila menyerah kepada AS.
Rasionalitas yang benar haruslah dibangun di atas landasan akal. Nilai-nilai keadilan, sikap mulia, tidak saling merugikan, adalah nilai-nilai universal yang diterima oleh semua umat manusia yang berakal sehat. Namun, sayangnya segelintir negara -dikomandani AS- terus-menerus memaksakan nilai-nilai kejahatan yang dibungkus 'rasionalitas', dan menuduh pihak lain yang sedang benar-benar berusaha rasional dalam membangun perdamaian dunia sebagai pihak yang salah dan harus diperangi. (IRIB Indonesia)
Dina Y. Sulaeman