Mendekati waktu penyelenggaraan pemilu presiden Amerika, para politikus negara ini justru berlomba-lomba mencari muka kepada rezim Zionis Israel. Hari Kamis (15/12) para kandidat Republikan ramai-ramai menyatakan dukungannya terhadap Israel. Barack Obama, Presiden Amerika beberapa jam setelah itu menyebut pemerintahannya sebagai pendukung terbesar Israel. Dalam pertemuan dengan orang-orang Yahudi di New York, Obama mengatakan, "Saya bangga mengatakan bahwa tidak ada pemerintahan di Amerika yang sama seperti pemerintahan kami dalam mendukung keamanan Israel." Obama juga menyatakan bahwa janji dan komitmennya terhadap Israel tidak dapat diubah.
Menarik mengamati keistimewaan pemilu di Amerika. Karena para kandidatnya bukan berlomba-lomba menyatakan dukungannya terhadap negaranya sendiri, tapi justru semangat menunjukkan dirinya sebagai pendukung Israel. Mereka begitu bernafsu menyebut angka-angka kedekatan dan dukungan mereka terhadap rezim penjajah Palestina ini. Tidak ada calon presiden Amerika yang berhasil menjadi presiden, tanpa berkali-kali menyatakan dirinya sebagai pendukung Israel dan penjamin keamanan rezim buatan ini.
Mendukung rezim Zionis Israel di Amerika bagi para calon presiden negara ini merupakan harga mati, sekalipun terjadi perbedaan dalam memandang sejumlah masalah penting AS. Mereka pasti berbeda pendapat mulai dari solusi untuk keluar dari krisis ekonomi yang melanda Amerika hingga perkawinan sesama jenis. Tapi ketika pembicaraan sudah merembet ke masalah Israel, mereka menjadi satu suara membela rezim ini.
Ini satu fenomena menarik yang dapat ditemui di Amerika. Setiap kandidat presiden Amerika dengan segala bentuk perbedaan baik partai, ideologi dan lain-lainnya tidak pernah mengubah pernyataan mereka dalam mendukung Israel. Hal ini membuat sebagian rakyat dan pemikir menilai Amerika telah ditawan Israel. Karena para politikus Amerika telah meletakkan kepentingan nasional Amerika menjadi nomor dua di bawah kepentingan Israel. Hal ini yang berdampak buruk bagi kondisi politik dan ekonomi Amerika sendiri.
Padahal, bila ditelisik lebih jauh, jumlah orang-orang Yahudi di Amerika hanya tiga persen dari jumlah populasi negara ini. Lebih menarik lagi, hanya sekelompok kecil dari mereka yang menyebut dirinya sebagai Zionis dan Israel. Benar, perputaran uang dan modal berada di tangah orang-orang Yahudi, tapi yang menjadi masalah para politikus Amerika menunjukkan kelemahan dirinya di hadapan lobi-lobi zionis. Para calon presiden memang membutuhkan uang dan media agar dapat memenangkan persaingan ini.
Pengalaman membuktikan, bila sedikit saja ada kejanggalan dalam menyatakan dukungan kepada Israel, maka aliran dana ke tim sukses calon tersebut akan langsung dihentikan. Tidak hanya itu dan yang lebih buruk, media-media Amerika sudah tidak akan mempublikasikannya lagi.
Sekalipun demikian, masih ada suara-suara yang menentang Israel di Amerika yang ingin didengarkan rakyat. Mereka membicarakan kezaliman orang-orang zionis terhadap warga Palestina. Tapi tetap saja, bagi mereka yang berharap menjadi presiden Amerika, berlomba menyampaikan dukungan terhadap Israel sudah menjadi lagu wajib. Barack Obama juga satu dari mereka bersama-sama para calon dari partai Republik berada dalam kelompok ini.(IR/SL/NA)