5 Apr 2011

Dewan Kerjasama Teluk Persia Cari Kambing Hitam

ImageDewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC), hari Ahad (3/4) lalu, menggelar sidang di Riyadh dalam rangka membahas masalah yang diistilahkan dengan intervensi Republik Islam Iran atas gejolak yang menerpa kawasan. Para menteri luar negeri anggota P-GCC dalam statemen miringnya menyatakan kekhawatiran atas masalah yang diistilahkan intervensi Iran atas gejolak di kawasan.


Menurut P-GCC, sikap Iran atas gejolak di Bahrain dinilai provokatif. Selain itu, P-GCC juga mengklaim bahwa apa yang terjadi di Bahrain adalah konspirasi asing untuk menggulingkan pemerintah. P-GCC juga menolak keinginan Iran yang meminta pasukan Arab Saudi segera keluar dari Bahrain.


Tak dapat diragukan lagi, kekhawatiran gejolak di Afrika Utara dan Timur Tengah mendorong para menlu negara-negara Arab berkumpul di Riyadh. Akan tetapi mereka berkumpul bukan untuk mencari solusi konkret, tapi malah mencari kambing hitam.


Iran kini menjadi kambing hitam. Rezim-rezim Arab dengan mudah menuding Iran sebagai pihak yang cenderung intervensif dalam mereaksi gejolak di kawasan. Di tengah kondisi seperti ini, media-media kawasan dan Barat juga berupaya memperkeruh suasana. Langkah ini juga sengaja dilakukan untuk mengalihkan opini publik di tengah gejolak yang terus mengancam kekuatan rezim-rezim Arab dan kepentingan Barat. Tak dapat dipungkiri lagi, Barat sangat menyambut sikap rezim-rezim Arab yang kini tertuang dalam sidang P-GCC, hari Ahad (3/4).


Bukan rahasia lagi, Bahrain menjadi pangkalan utama militer AS di Teluk Persia. Selain itu, AS dalam beberapa tahun terakhir ini, khususnya dari tahun 2005 hingga 2009, berhasil melakukan transaksi senjata dalam jumlah sangat besar ke rezim-rezim Timur Tengah.


Menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), perusahaan-perusahaan senjata AS mampu menguasai 60 persen kontrak kerjasama transaksi senjata dengan tujuh negara Teluk Persia. Dalam kurun sepuluh tahun mendatang, AS juga berniat menjual senjata senilai 67 milyar dolar AS, kepada Arab Saudi. Dengan demikian, jumlah sebesar itu dapat dikatakan sebagai transaksi militer terbesar dalam sejarah AS. Adapun transaksi senjata di negara-negara Teluk Persia diperkirakan mencapai 123 milyar dolar AS.


Menurut para pengamat, transaksi senjata dalam jumlah besar di Teluk Persia sama sekali tidak bertujuan untuk meningkatkan sistem pertahanan, tapi melainkan hanya berniat menciptakan ketergantungan rezim-rezim di kawasan pada AS. Menurut salah satu penasehat keamanan Gedung Putih untuk Timur Tengah, AS di tengah kondisi kawasan seperti ini, terus berusaha mengembalikan kondisi Timur Tengah seperti semula yang pernah dilakukan pada dekade 1980, yakni konfrontasi antara negara-negara Arab dan Iran di kawasan. (irib)