Kantor berita harian New York Times memberitakan pada Minggu (17/4)waktu setempat. Pemerintahan AS dan pemerintaha negara-negara NATO sedang mengusahakan sebuah negara yang mau menampung dan menyembunyikan pemimpin Libya, Moammar Khaddafi, jika ia dipaksa untuk keluar dari Libya.
"Apa yang benar-benar kami lakukan adalah menemukan jalan damai untuk menyelenggarakan sebuah jalan keluar, jika kesempatan tersebut muncul."
Berjuang untuk menyelamatkan rezim 42 tahunnya, Khaddafi telah meluncurkan sebuah tindakan keras mematikan pada para pemrotes yang menuntut sebuah akhir atas kekuasaannya di negara Arab kaya minyak tersebut.
Perkiraan mengatakan bahwa sedikitnya 10.000 orang telah terbunuh di dalam tindakan keras berdarah, yang menyebabkan Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah resolusi yang memperbolehkan sebuah tindakan militer di Libya.
Mengikuti sebuah kampanye pengeboman sepanjang satu bulan yang menargetkan pasukan pro-Gaddafi, drama tersebut diintensifkan ketika Gaddafi mengumumkan bahwa ia tidak memiliki maksud untuk menyerah kepada tuntutan oposisi dan meninggalkan negara tersebut.
Pencarian tersebut diluncurkan dengan diam-diam oleh AS dan sekutu-sekutunya, mencarikan sebuah negara, kemungkinan besar di Afrika, yang akan bersedia menyembunyikan Khaddafi.
Berita tersebut dikonfirmasi sebelumnya oleh menteri luar negeri Italia, Franco Frattini, yang menyarankan bahwa beberapa negara Afrika dapat menawarkan Khaddafi sebuah tempat berlindung, namun ia tidak mengidentifikasikan negara tersebut.
Beberapa saran utama memasukkan negara Chad, Mali dan Zimbabwe yang dengan negara tersebut Gaddafi memiliki kesepakatan bisnis yang dekat. Namun, tidak ada dari negara tersebut yang dikonfrimasi karena Uni Afrika masih tetap bungkam tentang menyuarakan tuan rumah potensial untuk pemimpin Libya yang terkepung tersebut.
Pencarian tersebut lebih jauh dipersulit oleh berita bahwa Khaddafi kemungkinan didakwa oleh Pengadilan Kriminal Internasional di The Hague karena pengeboman Penerbangan 103 Pan Am di atas Skontlandia pada tahun 1988, dan kekejaman di dalam Libya.
Tiga pejabat pemerintahan AS mengatakan bahwa pencarian tersebut akan dibatasi untuk negara-negara yang tidak menandatangani perjanjian yang mewajibkan negara-negara tersebut untuk menyerahkan siapapun di bawah dakwaan untuk persidangan oleh pengadilan, hampir setengah dari negara Afrika.
Ketika tekanan untuk pergi pada Khaddafi dibangun, para pejabat Amerika berjuang untuk menemukan sebuah penerus yang sesuai untuk Gaddafi di antara para pemimpin pemberontak.
"Ada aspek-aspek dari perjalanan waktu yang bekerja menentang Khaddafi, jika kami dapat memisahkannya dari senjata-senjata, bahan dan uang ," Benjamin J. Rhodes, seorang deputi penasihat keamanan nasional untuk Presiden AS Barack Obama, mengatakan kepada kantor berita New York Times.
Pejabat AS mengulangi rasa takut akan sebuah kemungkinan peperangan suku jika tidak ada kemunculan angka konsensus yang dapat mengikat negara tersebut bersatu.
"Hal ini mempengaruhi kalkulasi dari orang-orang yang ada di sekelilingnya. Namun akan membutuhkan waktu bagi kelompok oposisi untuk bersatu," Rhodes menambahkan.
Awal bulan ini, AS mengirimkan dutanya, Chris Stevens, ke Benghazi untuk mempelajari lebih banyak tentang angka kunci di dalam Dewan Transisi Nasional.
Dewan interim telah menjanjikan sebelumnya untuk bekerja terhadap pendirian sebuah kekuasaan demokrasi yang berdasarkan pada pemilihan presiden dan parlementer setelah penggulingan Khaddafi.
Mereka juga menjanjikan untuk merancang sebuah kosntitusi baru yang akan memperbolehkan formasi partai politik.
Di antara tokoh kunci oposisi Libya beberapa nama mulai bermunculan termasuk Mahmoud Jibril, seorang pakar perencanaan yang membelot dari pemerintahan Khaddafi.
Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton telah bertemu dua kali dengan Jibril, yang diplomat Amerika katakan adalah tokoh publik yang cerdas dari kelompok tersebut.
Anggota dewan ternama lainnya adalah Ali Tarhouni, yang ditunjuk menteri keuangan pemerintah bayangan pemberontak.
Tarhouni, yang mengajar ekonomi di Universitas Washington, kembali ke Libya pada bulan Februari setelah lebih dari 35 tahun di pengasingan untuk menasihati oposisi tentang permasalahan ekonomi.
Namun demikian, beberapa masalah muncul di dalam operasi yang dipimpin NATO, sebagian besar target-target serangan tersebut dapat menyakiti para penduduk sipil atau merusak Masjid, sekolah atau rumah sakit, mempersulit kampanye tersebut, seorang pejabat senior militer Amerika mengatakan.
Bahkan terlebih lagi beberapa pilot NATO menolak untuk menjatuhkan bom-bom mereka untuk alasan tersebut, pejabat tersebut mengatakan.
"Tanpa sebuah keraguan, merupakan hal yang membuat frustasi bekerja melalui semua hal ini untuk mendapatkan efek maksimum untuk upaya kami dan berhadapan dengan semua varsi," kata pejabat tersebut, yang berbicara dengan syarat anonim.(SMcom)