“Para Nabi berusaha membangkitkan kecakapan-kecakapan alami manusia dan mencerahkan karakter gaib yang tersembunyi pada esksistensi manusia. “(Murtadha Muthahhari)
Sebuah pertanyaan abadi yang dilontarkan oleh sejumlah sejarawan dan pemerhati sejarah Islam sejak dulu hingga sekarang adalah: “Mengapa Imam Husain a.s. harus melakukan sebuah revolusi dengan kekuatan yang amat minim dan tak berimbang, membawa serta tujuh puluhan orang dari keluarga dan para sahabat untuk melawan 30 000 pasukan Yazid, sehingga berakhir dengan tragedi Karbala yang sulit dilukiskan dengan kata-kata?”
Kata “harus” dalam kalimat pertanyaan itu bisa mempunyai dua makna: (1) “pemaksaan diri” dan (2) “keniscayaan”. Dengan sederhana dijelaskan bahwa pengertian “pemaksaan diri” di sini adalah keinginan dan hasrat individual (Imam Husain a.s.) sebagai sebuah respon reaktif dan emosional terhadap situasi sejarah saat itu. Sedangkan istilah “keniscayaan” yang dimaksud adalah keniscayaan sejarah, yaitu sebuah tindakan aktif Imam Husain a.s. sebagai kewajiban dan tanggung jawab moral keagamaan (termasuk wilayah teologis dan imamah) yang tidak bisa tidak mesti diemban ketika itu.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah makna “harus” yang mana yang sesuai dengan karakter revolusi Imam Husain a.s.?
KENISCAYAAN SEJARAH
Untuk memilih makna mana yang sesuai, mari kita tengok sejarah. Para sejarawan mencatat bahwa Imam Husain a.s. selalu memberikan eskposisi, penjelasan dan pemaknaan berupa latar belakang dan tujuan revolusi yang beliau usung, sejak dari awal di Madinah, lalu di Makkah, dan kemudian menuju Irak, di medan Karbala. Tidak ada peristiwa yang dilewati, segenting dan sekritis apapun, tanpa dimaknai dengan hujjah-hujjah yang Imam lontarkan.
Ketika gubernur Madinah, Al-Walid bin ‘Utbah, atas perintah Yazid, meminta baiat dari Imam Husain a.s., beliau segera mengumpulkan para pengikutnya untuk bersiap menuju Makkah dan menjelaskan sikap yang harus dilakukan. Dalam surat yang dikirim kepada Muhammad ibn Al-Hanafiyah, beliau menjelaskan, “Sesungguhnya aku melakukan perlawanan ini bukan bermaksud berbuat kerusakan yang mengupayakan peperangan atau kedudukan. Aku tidak memiliki maksud-maksud seperti itu. Aku tampil untuk memperbaiki karakter umat kakekku. Aku semata-mata menjalankan kewajiban agama yang harus aku emban sekarang ini, ber-amar ma’ruf nahi munkar.”
Sedangkan kepada sejumlah pengikutnya yang mundur karena takut, beliau mengajarkan makna hidup sebagai mukmin, manusia yang mulia dengan mengatakan, “Mati lebih baik daripada hidup menghamba dalam kehinaan.”
Beliau pun dalam banyak kesempatan mengingatkan umat Islam di seantero Hijaz, Irak dan Syria akan kewajiban agama mereka untuk mempertahankan kesucian Islam dan membela kemuliaan diri mereka sendiri sebagai mukmin. Beliau menyadarkan mereka betapa bahwa berkat perjuangan suci kakeknya, Nabi Muhammad SAWW, ayahnya Imam Ali bin Abi Thalib a.s , kakaknya Imam Hasan a.s. serta para sahabat dan syuhada yang memungkinkan mereka sekarang ini dapat mereguk kemuliaan Islam. Oleh karena itu, selayaknya mereka mengemban tanggung jawab mempertahankan kemuliaan itu dengan menghindari kehinaan menghamba kepada penguasa fasik, Yazid bin Muawiyah. Imam berkata, “Bagaimana mungkin kami yang adalah Ahlulbait kenabian (yang mestinya adalah rujukan umat Islam) berbaiat kepada seorang Yazid yang fasik, peminum khamar, pezina, pembunuh seraya mengumumkan kefasikannya itu?”
Kepada warga Bashrah, Imam menulis surat, “Aku mengajak kalian untuk kembali kepada Kitabulah dan Sunnah Nabi-Nya. Sebab sunnah telah dimatikan, sedang bid’ah dihidupkan. Ketahuilah bahwa mereka (Yazid beserta puak Umayyah) telah menaati setan, meninggalkan ketaatan kepada Ar-Rahman, menampakkan kerusakan, membatalkan hukum-hukum Tuhan, memonopoli uang rakyat, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal; maka saya adalah yang paling berhak mengubah.”
Demikian pula kepada sejumlah sahabat besar seperti Abdullah bin Umar ibn al-Khaththab dan Abdullah ibn Al-Zubair yang menasehati Imam untuk tidak menentang Yazid, Imam Husain a.s. berkata, “Hendaklah kalian takut kepada Allah dan janganlah kalian tertinggal dalam membantu saya.” Melalui kalimat ini Imam hendak mengajarkan dua hal, yaitu (1) Kalau kalian beriman, takutlah kepada Allah, bukan kepada diktator Yazid, dan (2) revolusi melawan Yazid adalah sebuah tanggung jawab agama yang harus diemban, dan karena itu jangan tinggalkan revolusi ini.
Sejarawan juga mengisahkan bahwa sejak memproklamasikan revolusinya di kota kakeknya yang suci, Madinah, Imam Husain a.s. melakukan mobilisasi dan konsolidasi kekuatan perjuangannya melawan si tiran durjana, Yazid bin Muawiyah. Menyusul diterimanya pernyataan kesetiaan ribuan warga Kufah untuk berjuang bersama beliau ketika beliau masih di Makkah, Imam mengirim utusannya yang terpercaya, Muslim bin ‘Aqil, kepada rakyat Kufah untuk mengorganisir perlawanan. Imam menulis, diantaranya, “Seorang imam haruslah orang yang memerintah berdasarkan Kitabullah, penegak keadilan, beragama dengan agama Allah, dan yang menyiapkan dirinya untuk tugas itu semata-mata untuk Allah.”
Kesabaran Imam Husain a.s. yang tiada henti-hentinya menyampaikan pesan-pesan revolusi seraya senantiasa menasehati dan mengingatkan tanggungjawab umat Islam kepada agama dan kemuliaan kemanusiaan mereka sendiri terus berlangsung hingga ke medan Karbala, bahkan, hingga detik-detik akhir syahadah beliau. Jika kita, misalnya, memperhatikan dan mempelajari aneka kisah dan peristiwa detik demi detik di medan Karbala sejak 7 Muharram hingga detik-detik kesyahidan beliau yang amat mengenaskan pada hari Ayura 10 Muharram 61 H, maka kita temukan bahwa beliau tidak pernah melewati peristiwa demi peristiwa itu tanpa digunakan untuk mengungkapkan hujjah-hujjah mengapa dan untuk apa revolusi harus dilakukan. Imam menyampaikan pesan-pesan moral ilahiah kepada seluruh umat Islam termasuk kepada pengikutnya yang setia maupun serdadu-sedadu Yazid, yang sebagian diantaranya adalah orang-orang Kufah yang sebelumnya telah berikrar membantu Imam.
Di tengah-tengah amuk perang dan kepungan ribuan serdadu Ibnu Ziyad, panglima Yazid di Kufah, yang menghunjamkan anak-anak panah dan menghunus pedang-pedang mereka, Imam Husain a.s. menyampaikan taushiyah (nasehat), “Tidakkah kalian melihat kemungkaran yang telah merajalela, yang ma’ruf telah ditinggalkan, dan yang tertinggal hanyalah kebejatan hidup laksana kotoran di kandang ternak? Bagaimana kalian menghadap Tuhan dengan kehinaan hidup seperti itu? Aku tidak melihat kematian itu melainkan kebahagiaan dan hidup bersama orang-orang zalim melainkan kenistaan.”
Nah, dengan mengacu kepada sejarah yang diungkap secara singkat di muka, maka tidak ada pilihan lain bagi kita untuk berkesimpulan bahwa revolusi yang digerakkan oleh Imam Husain a.s. adalah sebuah keniscayaan sejarah. Seluruh syarat-syarat niscaya (necessary conditions) berupa perintah-perintah agama (teologis, syariah, moral) dan syarat-syarat mencukupi (sufficient conditions) berupa situasi-situasi sejarah telah dipenuhi untuk melakukan sebuah revolusi. Dengan kata lain, keadaan yang sudah sedemikian parah ketika itu menuntut satu-satunya pilihan modus gerakan untuk mengingatkan umat kepada pesan inti dan abadi agama dan memutar kembali jarum sejarah kepada evolusi kemajuan peradaban manusia; pilihan itu adalah revolusi, revolusi ‘Asyura di Karbala.
REVOLUSI PENYADARAN
Sebuah fenomena yang sangat signifikan dalam memahami raison d’etre (rasionalitas) gerakan Imam Husain a.s. adalah ketika beliau mengetahui bahwa rakyat Kufah telah mengingkari janji mereka untuk berjuang bersama beliau, Imam tanpa bergeming sedikitpun berkata, “Di tangan Allah-lah segala urusan. Jika Dia menurunkan ketentuan sesuai dengan apa yang kita inginkan, maka segala puji bagi-Nya atas segala kenikmatan yang kita terima. Akan tetapi jika ketentuan terjadi berbeda dengan harapan, maka hendaknya orang yang menjadikan kebenaran sebagai niatnya, dan takwa sebagai pakaiannya, tidak melanggar ketentuan-Nya.”
Frase terakhir, “tidak melanggar ketentuan-Nya” (ketika kondisi obyektif berbeda dengan harapan subyektif), merupakan ungkapan lain bahwa revolusi itu adalah sebuah keniscayaan yang wajib diemban, terlepas dari suka atau tidak. Kalimat yang diungkapan Imam Husain a.s. itu, sesungguhnya, merupakan manifestasi Tauhid dalam kehidupan nyata dengan seluruh keberadaan seorang Muslim yang berserah diri kepada lautan kebenaran Asma dan Sifat-sifat Allah.  Kalau boleh meminjan istilah sufi, ucapan otentik Imam di muka menggambarkan status eksistensi Imam yang telah mencapai maqam fana’ al-fana’ (baqa).
Kembali ke persoalan memahami raison d’etre revolusi Asyura, ucapan Imam Husain a.s di muka dengan gamblang menunjukkan bahwa ikrar setia ribuan rakyat Kufah (diriwayatkan bahwa terdapat sekitar 100 ribu warga Kufah yang menandatangani sejumlah 18 ribu surat dukungan) bukanlah alasan utama kebangkitan Imam. Karena, beliau telah mengetahui pengkhianatan warga Kufah serat kematian Muslim bin ‘Aqil sebelum memasuki Irak dan sejumlah orang menasehati beliau untuk membatalkan perjalanannya ke Irak. Namun, kenyataannya Imam tetap melanjutkan perjalanannya ke Irak. Ini berarti ada alasan lain mengapa Imam tetap tak bergeming berketetapan hati mengobarkan revolusi pembebasan dari penindasan dan penghambaan sesama manusia.
Meskipun demikian pahitnya menerima kenyataan bahwa rakyat Kufah telah meninggalkan beliau dan, bahkan, banyak diantaranya telah menjadi serdadu Ibnu Ziyad, entah karena takut atau iming-iming harta, Imam tetap bersabar menasehati rakyat Kufah untuk mempertahankan martabat dan kemuliaan hidup mereka dengan memegang janji membela beliau dan menampik penghambaan kepada Yazid.
Di hadapan ribuan musuh yang sudah tak sabar menanti hadiah Ibnu Ziyad berkat kesetiaan mereka, Imam mengingatkan kembali surat-surat, pernyataan-pernyataan, dan baiat mereka kepada beliau. Sebagian kecil ada yang sadar seperti Al-Hurr bin Yazid Al-Riyahi yang kemudian bergabung dengan pasukan Imam dan syahid bersama beliau. Namun, sebagian besar sudah tidak peduli lagi seakan-akan mereka tidak sadar siapa yang tengah mereka perangi.
Meskipun begitu, Imam Husain a.s tetap saja bersabar menasehati mereka: menyapa nurani dan akal sehat mereka serta mengingatkan perjumpaan dengan Allah nanti di akhirat; hingga detik-detik kesyahidan beliau. Sangat banyak peristiwa yang meriwayatkan taushiyah beliau yang tak henti kepada warga Kufah, pengikutnya dan bahkan kepada umat Islam umumnya, yang tak mungkin dikisahkan dalam esai singkat ini.
Salah satu taushiyah Imam di depan pasukan Yazid di padang gersang Karbala itu adalah ..” Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah telah bersabda, ‘Barangsiapa yang menyaksikan penguasa yang zalim, yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah, merusak janji-Nya, menyalahi sunnah rasul-Nya, yang bertindak terhadap hamba-hamba Allah dengan dosa dan permsuhan, lalu dia tidak mengubah dengan ucapan dan perbuatan, maka layaklah bagi Allah untuk memasukkan dia ke tempatnya yang layak.’Â Ketahuilah, mereka (Yazid dan puak Umayyah) telah melakukan semua kezaliman ini.”
Namun, pada lain kesempatan Imam juga menyenandungkan syair-syair kepahlawanan yang menunjukkan betapa beliau sama sekali tidak takut kepada mereka. Imam berkata, “Apakah kalian akan menakut-nakutiku dengan kematian? Kalau aku tetap hidup, aku tak pernah menyesal. Dan kalau aku mati, aku tidak menderita.”
Kepada pengikut beliau yang bersama-sama sejak dari Makkah hingga ke medan Karbala, Imam Husain a.s. menawarkan kebebasan kepada mereka untuk memilih: terus setia bersama beliau hingga syahid atau meninggalkan beliau. Imam mengingatkan mereka tentang pengkhianatan warga Kufah dan mempersilakan mereka meninggalkan barisan revolusi jika mereka merasa terpaksa. Toh, target utama Yazid adalah membunuh Imam, bukan orang lain yang memisahkan diri dari Imam. Akibatnya, banyak pengikutnya yang lari dari medan Karbala, dan akhirnya tersisa sejumlah keluarga dan pengikut setia Imam yang berjumlah tujuh puluhan orang yang bertahan bersama beliau di padang Karbala hingga mati syahid.
Kisah yang terakhir ini merupakan pelajaran yang amat berharga yang diwariskan Imam Husain a.s. Imam, yang berhak mewajibkan pengikutnya untuk bertahan hingga syahid dengan dalih taklif (kewajiban) agama, kenyataannya justru memberi kebebasan kepada pengikutnya untuk memilih: tetap bertahan atau meninggalkan dirinya. Ini sungguh fenomena yang sulit dicari bandingannya dalam sejarah atau epos kepahlawanan manapun.
Muncul pertanyaan: mengapa Imam melakukan hal yang demikian? Bukankah beliau pada saat yang sama selalu memanfaatkan kesempatan untuk menasehati serdadu-serdadu Ibnu Ziyad agar menepati janji-janji mereka? Mengapa kepada pengikutnya Imam justru memberi pilihan bebas?
Kedua fenomena itu, sesungguhnya, terkait satu sama lain untuk menunjukkan karakter sejati revolusi yang dicetuskan Imam Husain a.s.  Kedua fenomena itu tidak bisa tidak membawa kita kepada kesimpulan bahwa revolusi Asyura adalah sebuah revolusi penyadaran. Melalui gerakan revolusi itu, Imam hendak menyadarkan seluruh umat Islam, bahkan seluruh umat manusia sepanjang masa, terhadap tugas dan tanggung jawab yang kita emban sebagai mukmin atau manusia mulia dalam menghadapi situasi yang penuh dengan pengkhianatan terhadap nurani dan akal sehat sedemikian rupa sehingga telah sampai pada situasi tercerabutnya martabat dan kemuliaan jati diri manusia.
Dalam kondisi seperti itu, yang diantaranya ditandai oleh telah terjadinya disorientasi agama – yang bahkan sejumlah sahabat besar telah mengidapnya-, tidak ada pilihan lain kecuali mengusung sebuah perlawanan dengan sepenuh eksistensi diri. Melalui syahadah di Karbala, Imam menyadarkan bahwa pesan sentral agama adalah komitmen penuh berjalan menuju Allah yang dengannya terbawa serta kemuliaan martabat kemanusiaan kita. Imam tidak seperti sebagian agamawan yang mengklaim menuju Allah melalui ritual formal dengan mengabaikan kemuliaan martabat kemanusiaanya. Namun, Imam juga berbeda dari sejumlah aktivis HAM yang memiliki sentimen kemanusiaan yang tinggi dengan melupakan basis ontologis kemuliaan manusia itu sendiri.
Revolusi Asyura adalah sebuah gerakan penyadaran yang berkarakter menyeluruh (moral, sosial, hukum, spiritual) yang pada gilirannya menuntut komitmen penuh dengan keseluruhan keberadaan jiwa dan raga, pikiran dan emosi, harapan dan kepasrahan, cita-cita dan hukum besi realitas. Realitas sosial ketika itu memang telah menuntut Imam Husain a.s. secara niscaya untuk bangkit memberi pencerahan dan penyadaran melalui revolusi. Kondisi disorientasi agama pada umat yang masih sangat muda ketika itu sangatlah berbahaya karena berpotensi melenyapkan ruh dan pesan pokok agama itu sendiri untuk selamanya.
Situasi sejarah saat itu telah menunjukkan bahwa hanya sebuah revolusi yang dapat menyadarkan dan menyingkap kembali ruh dan karakter inti agama Tauhid. Dan Imam tampil menyelamatkan agama kakeknya yang suci itu melalui puncak pengorbanan yang hampir tak ada padanannya dalam sejarah manusia.
[1] Penulis esai ini (Â Husain Heriyanto) adalah Deputi Rektor ICAS Jakarta, dosen Pemikiran Islam dan Filsafat di Universitas Indonesia, dosen Logika dan Filsafat Sains di Universitas Paramadina.