Jakarta - Tidak bisa memenuhi janji kampanye pemilu merupakan kesalahan besar bagi PM Jepang Yukio Hatoyama, sehingga pada akhirnya dia merasa perlu mundur, sebelum Partai Demokratik Jepang (JDP) yang dipimpinnya yang membentuk pemerintah koalisi, hancur dalam pemilu musim panas bulan depan.
Kegagalan memenuhi janji untuk memindahkan pangkalan udara marinir AS Futenma dari Okinawa bukan alasan satu-satunya, sebab dia juga dirongrong oleh beberapa skandal, termasuk skandal penyelewengan dana politik yang melibatkan dirinya, orang keduanya (Sekjen JDP) Ichiro Ozawa, dan beberapa pembantu dekat lainnya.
Pada akhir Mei, Partai Demokrat Sosial (SDP), mitra koalisi terbesarnya memutuskan akan keluar dari pemerintah koalisi menjelang pemilu, sementara itu Hatoyama menghadapi tuntutan mundur karena melanggar janji-janji kampanyenya semakin gencar.
Pengunduran diri SDP adalah pukulan bagi Hatoyama, karena rakyat pemilih menganggap dia pemimpin yang lemah, merusak peluang partainya untuk memenangkan suara mayoritas pada pemilihan Majelis Tinggi Parlemen, Juli nanti.
Padahal, perjuangan JDP untuk memenangkan pemilu mendatang itu sangat penting, agar pemerintah bisa meloloskan dengan mudah rancangan undang-undang (RUU) yang diajukan, karena selama ini kemulusannya terganjal oleh oposisi yang menguasai suara di majelis tersebut. Meskipun JDP menguasai suara mayoritas di Majelis Rendah.
Deraan politik makin menjadi-jadi ketika popularitas Hatoyama turun drastis. Dalam jajak pendapat terakhir, JDP hanya mendapat dukungan 36 persen atau sepertiga lebih sedikit dari rakyat Jepang, padahal pada September 2009, saat dia baru diangkat, peringkat dukungan mereka mencapai 70 persen.
Tekanan-tekanan itu yang kemudian menyebabkan Hatoyama lebih memilih mundur, mengakhiri era kepemimpinannya yang baru berlangsung sekitar sembilan bulan.
Pangkalan Futenma
Tak dapat dipungkiri bahwa kasus pangkalan udara marinir Futenma di Okinawa adalah tekanan terberat bagi Hatoyama. Sebab pada kasus ini, dia terjepit dalam tekanan AS dan tuntutan warga Okinawa, yang menghendaki pangkalan udara itu dipindahkan keluar pulau.
Rakyat Okinawa sejak lama menginginkan agar pangkalan udara AS itu dipindahkan, karena mereka menanggung dampak lingkungan yang berat, rawan kecelakaan, polusi dan kebisingan, selain peningkatan
kriminalitas dan tekanan sosial.
Padahal pulau itu menjadi rumah bagi separuh dari 47 ribu prajurit AS yang ditempatkan di Jepang. Karena itu para pengamat berpendapat, sengketa pangkalan harus cepat diselesaikan untuk menghindari hubungan yang makin tegang antara AS dan Jepang.
Pada saat kampanye, Hatoyama menjanjikan pangkalan militer itu akan dipindahkan keluar negeri atau setidaknya keluar prefektur Okinawa, suatu pernyataan yang tidak menyenangkan AS.
Yang jadi masalah, Jepang di era pemerintahan konservatif Partai Demokratik Liberal (LDP) sebelumnya telah mengikat perjanjian dengan AS, bahwa pangkalan itu pada 2006 akan dipindahkan dari Futenma yang kini berpenduduk padat ke daerah reklamasi di pinggiran utara Okinawa, Nago.
Tetapi, lobi, perundingan-perundingan yang dilakukan berbulan-bulan pada akhirnya membuat Hatoyama tak berdaya memenuhi janjinya, yang berarti pangkalan tetap dipindahkan namun tetap di wilayah prefektur Okinawa.
PM Jepang tampaknya berupaya melakukan pendekatan dengan penduduk dan para pejabat di wilayah itu. Namun hasilnya nol.
Pada pertengahan Mei lalu, ribuan warga Okinawa bahkan membentuk rantai manusia mengelilingi pangkalan udara marinir AS itu, sebagai aksi unjukrasa yang meminta agar fasilitas militer itu ditutup.
Sekitar 17 ribu orang berkumpul di bawah hujan untuk membentuk rantai manusia 13 kilometer sebagai perwujudkan sikap menentang kehadiran milter AS di pulau selatan Jepang itu.
AS Puas
Sebaliknya, AS menyatakan puas atas keputusan itu. Presiden Barack Obama dan PM Hatayoma menyatakan kepuasan mereka terhadap pemindahan pangkalan udara AS di Okinawa, kata Gedung Putih akhir Mei lalu.
"Mereka menyatakan puas dengan kemajuan yang dilakukan oleh kedua pihak dalam mencapai operasional yang layak dan rencana kesinambungan politik untuk memindahkan Pangkalan Udara Korps Marinir Futenma," kata Gedung Putih.
Tokyo dan Washington mengatakan pada pernyataan bersama, bahwa pangkalan marinir Futenma akan dipindahkan, sesuai persetujuan 2006, dari daerah kota pantai Henoko ke wilayah reklamasi, masih di pulau itu.
Kedua pemimpin menegaskan kembali komitmen bersama mereka "untuk memperkokoh kerja sama di bawah Perjanjian AS-Jepang tentang Kerja Sama dan Keamanan Bersama," yang kini sudah memasuki usia 50 tahun.
Menlu AS, Hillary Clinton, juga memuji keputusan berani PM Hatoyama untuk mempertahankan pangkalan militer AS di Okinawa yang tidak populer itu.
"Saya ingin memuji PM Hatoyama atas keputusan sulit, namun tak dipungkiri tepat untuk memindahkan lokasi pangkalan dari Futenma ke pangkalan Okinawa," kata Hillary.
"Sebagai politikus, saya memahami beratnya keputusan PM Hatoyama, dan saya berterima kasih untuk keberanian dan ketetapan hati dalam memenuhi komitmennya."
Tak disangka jika pujian itu memang membelenggu Hatoyama, hingga pada akhirnya dia harus memutuskan mundur dari jabatannya.(antara)