Spekulasi tentang nasib Moamar Khadafy bermunculan dengan cepat. Berbagai versi ditulis para analis. Rata-rata mereka (analis Barat) memprediksikan kepemimpinan Khadafy di negara Arab Arika Utara itu, akan segera berakhir.
Khadafy diprediksi akan bernasib sama dengan Presiden Tunisia Ben Ali dan Presiden Mesir Hosni Mubarak. Turun dari kekuasaan setelah aksi demonstrasi massif tidak bisa dibendung.
Bahwasanya protes di Libya muncul karena pengaruh revolusi di Tunisia dan Mesir, tidak bisa dibantah. Namun menyamakan Tunisia dan Mesir seperti Libya, kemudian memprediksi hasil revolusinya sama, agaknya kurang begitu tepat.
Sekalipun ketiga negara itu memiliki indentitas yang sama: berkebangsaan Arab, Negara Islam, terletak di Afrika Utara, tetapi ada hal fundamental yang membedakan mereka. Yaitu karakter dan indentitas pemimpin.
Khadafy adalah Moamer Khadafy. Ia memiliki karakter yang kuat dan indentitas khas dibanding Ben Ali dan Hosni Mubarak. Ben Ali naik kekuasaan melalui kudeta tak berdarah, tetapi tergolong pemimpin yang ‘penakut’.
Kudeta yang dilakukannya, tidak senekad Khadafy, yang tidak harus mengumpulkan kekuatan politik, baru berani menyatakan sebagai pemimpin nasional. Terbukti Ben Ali juga tidak punya nyali besar. Ia lebih dulu menyelamatkan diri dengan cara mengasingkan diri ke Arab Saudi.
Sementara Hosni Mobarak, naik ke kursi presiden dari posisi wakil presiden setelah Anwar Sadat dibunuh oleh tentaranya sendiri ketika sedang menyaksikan parade militer.
Baik Ben Ali maupun Hosni Mubarak lebih banyak berbasa-basi ketimbang Khadafy. Misalnya mereka berbaik-baik dengan rakyat terlebih dahulu, sambil memperkuat diri melalui penumpukan kekayaan. Ali dan Mubarak juga memerlukan proteksi dari negara asing. Ali dari Prancis sementara Mubarak dari Amerika Serikat.
Begitu naik ke kekuasaan, Khadafy tidak malu-malu memimpin negaranya secara otoriter. Dia tidak perlu menunggu dukungan politik atau pernyataan basa-basi. “Ikut saya berarti teman, melawan berarti musuh dan saya sikat", itulah kurang kebih filosofi Khadafy.
Kekhasan Khadafy adalah dia seorang tokoh yang berani mati dan memiliki banyak tipuan. Keberaniannya tercermin dari keputusannya mengambil alih kekuasaan dari raja Libya pada 1969.
Tatkala mengambil kekuasaan, usia Khadafy baru 27 tahun, sebuah usia yang relatif masih sangat belia. Untuk ukuran era sekarang mungkin masih berprilaku seperti anak baru gede (ABG). Pangkatnya pun baru kapten.
Dan yang tidak bisa dipungkiri, Khadafy merupakan pemimpin Arab pertama yang menggunakan minyak sebagai senjata melawan negara-negara Barat. Meski cadangan minyak mentahnya tidak sebanyak Arab Saudi, kehebatan Khadafy, dalam beberapa kebijakan OPEC, lebih bisa mendikte Arab Saudi.
Berapa persis cadangan minyak yang dimiliki Khadafy tidak ada yang tahu. Yang pasti Libya merupakan salah satu anggota OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak), organisasi yang paling dimusuhi perusahaan-perusahaan minyak dari negara-negara Barat yang dikenal dengan nama The 7 Sisters.
Dengan penghasilan petro dolar, Khadafy ditengarai mendanai teroris internasional yang hanya dikenal dengan nama sandi Carlos. Tugas Carlos menculik para industriawan minyak, meledakan pesawat-pesawat komersil yang pada intinya menyebarkan rasa tidak aman di kalangan pemimpin negara-negara maju.
Agen-agen Khadafy misalnya meledakkan pesawat Pan Am, sebuah peristiwa yang dikenal dengan sebutan Tragedy Lockerbie. Seluruh penumpang pesawat milik Amerika Serikat tersebut tewas. Entah secara kebetulan atau tidak, yang pasti tidak lama setelah peledakan itu, perusahaan penerbangan Amerika yang pernah menjadi raksasa pada 1970-an itu, akhirnya bangkrut.
Ketidak sukaannya terhadap Barat, tidak ia tutup-tutupi. Termasuk yang bersimpati kepada Barat. Dia tidak peduli dengan embargo dan berbagai ancaman sanksi internasional. Selama bertahun-tahun, Khadafy dikenai sanksi embargo oleh PBB. Tapi karena tahu sanksi itu dimotori AS, dia pun cuek saja. PBB akhirnya mencabut embargo pada 2003, sebuah bukti bagaimana Khadafy mampu memenangkan pertarugan.
Pembunuhan Presiden Mesir di 1981 misalnya disebut-sebut sebagai bagian dari agenda Khadafy. Dia menganggap Sadat sudah berkolaborasi dengan musuh utamanya Amerika Serikat dan Israel. Sebab di bawah pemerintahannya, Mesir menanda-tangani perjanjian perdamaian dengan Israel.
Presiden AS Ronald Reagan memberi julukan padanya sebagai ‘anjing gila dari Sahara’. Tetapi Khadafy tidak peduli. Rumah kediamannya di Tripoli juga pernah dibom oleh pesawat-pesawat tempur yang bermarkas di salah satu pangkalan AS di Itali. Khadafy selamat, karena ternyata selama ini, ia lebih banyak tinggal di dalam bunker bawah tanah.
Juni 2003, ketika dikunjungi Presiden Megawati Soekarnoputri, Khadafy memperlihatkan kepada putri Bung Karno itu, salah satu bunker tempat persembunyiannya. Ikut mendampingi Megawati pada waktu itu Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono yang menggantikan Menlu Hasan Wirajuda.
Ketika Barat semakin memperlihatkan ketidaksukaan mereka terhadap pejuang-pejuang Islam, Khadafy tidak segan-segan memberikan bantuan kepada para pejuang tersebut. Salah satu penerima bantuan itu adalah pejuang Filipina Selatan. Khadafy memberikan tempat pengasingan bagi Nur Misuari, tokoh Pergerakan Nasional Pembebasan Moro di Filipina Selatan.
Dari paparan di atas, Khadafy memang seorang tokoh yang teguh dalam pendiran. Sulit menaklukkannya, jika hanya dengan cara-cara biasa. Mari kita lihat.
inilah.com