Maroko telah menghentikan operasi kanal berita televisi Al Jazeera di Rabat dan menarik akreditasi dari para stafnya, ujar kementerian komunikasi pada hari Jumat (29/10) waktu setempat.
Kementerian mengatakan sanksi itu menyusul sejumlah kegagalan mematuhi peraturan jurnalisme yang serius dan bertanggung jawab, sementara sebuah kelompok terkemuka mengatakan bahwa itu adalah langkah mundur bagi kerajaan.
Kepala biro Al Jazeera di Rabat, Abdelkader Kharroubi dari Palestina, mengatakan bahwa kanalnya selalu menghormati aturan profesionalisme dan netralitas, terutama di Maroko.
Dia menambahkan bahwa "sayangnya kasus Al Jazeera tidak hanya berada di tangan kementerian komunikasi. Pihak-pihak lain memutuskan pada level ini."
Tanpa mengidentifikasi "pihak-pihak" tersebut, Kharroubi mengatakan bahwa penghentian itu adalah "sebuah kesalahan dari pihak otoritas Maroko, kesalahan yang tidak ada kaitannya dengan kami."
Menteri Komunikasi Khalid Naciri mengatakan bahwa sebuah penolakan untuk menjadi obyektif dan tidak memihak secara sistematis telah menodai citra Maroko.
"Kami mendekati kembali kanal ini karena mengabaikan prinsip-prinsip utama dan menyebarkankan sebuah karikatur dari realita Maroko."
Amina Bouayach, ketua organisasi hak asasi manusia Maroko, mengatakan bahwa langkah tersebut menunjukkan keengganan Maroko untuk meneruskan proses membuka diri, terutama karena khawatir akan kebebasan pers.
"Tidak seperti Aljazair dan Tunisia, di mana biro Al Jazeera telah ditutup sejak lama, Maroko tampak sebagai sebuah perkecualian," ujarnya. "Dengan penghentian ini bisa dikatakan sebagai sebuah langkah mundur."
Ketua serikat pers nasional, Younes Moujahid, mengatakan akan merilis pernyataan pada hari Sabtu (30/10).
Sejumlah wartawan Maroko telah dipenjara dan koran-koran dibredel dalam beberapa bulan belakangan ini.
Al Jazeera, yang disponsori oleh Qatar, sering membuat marah negara-negara Arab sejak didirikan tahun 1996.
Beberapa tahun terakhir ini kanal berita itu telah menyalahi Mesir, Irak, Otoritas Palestina, dan Yordania, dan di tahun 2006 memicu ketegangan diplomatik antara Qatar dan Tunisia. (Suaramedia.com)