28 Oct 2010

Di Afganistan, AS-NATO Tak Mungkin Menang

ImageBagi Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya, memetik kemenangan dalam perang di Afghanistan adalah hal yang mustahil terjadi, demikian dinyatakan oleh Mikhail Gorbachev, mantan pemimpin Uni Soviet.


Gorbachev menambahkan, jika AS dan NATO tidak menarik keluar pasukan mereka dari Afghanistan, maka sejarah Perang Vietnam akan kembali terulang.


"Amerika akan lebih sulit keluar dari situasi ini. Tapi, apa alternatifnya? Vietnam yang lain? Mengirimkan setengah juta prajurit? Itu tidak akan berhasil," kata Gorbachev kepada kantor berita BBC.


"Kemenangan mustahil diraih di Afghanistan. Obama sudah benar (saat memutuskan) menarik keluar pasukan, betapapun sulitnya hal itu dilakukan," tambah Gorbachev.


Menurut Gorbachev, AS berada dalam masalah karena merekalah yang melatih gerakan di Afghanistan berpuluh-puluh tahun lalu. Ia menambahkan bahwa para gerakan yang sama kini meneror negara itu.


Saat menginvasi Afghanistan, setelah perang berlangsung selama 10 tahun, Gorbachev memutuskan menarik keluar pasukan Rusia pada tahun 1989.


Sebelum menarik keluar pasukan Uni Soviet dari Afghanistan, Gorbachev mengatakan telah mencapai kesepakatan dengan Iran, India, Pakistan, dan AS.


"Kami berharap Amerika bersedia mematuhi kesepakatan yang telah dicapai bersama, yang menyebut bahwa Afghanistan harus menjadi negara netral dan demokratis yang berhubungan baik dengan negara-negara tetangganya serta dengan AS maupun Uni Soviet," kata Gorbachev.


"Amerika selalu mengaku mendukung ini, tapi pada saat bersamaan mereka melatih militan yang sama yang kini meneror Afghanistan dan lebih banyak di Pakistan," kata Gorbachev.


Karena itu, AS akan semakin kesulitan keluar dari situasi tersebut.


Kata Gorbachev, yang terbaik yang bisa diharap bisa dicapai NATO adalah membantu negara itu berdiri di atas kaki sendiri dan merekonstruksi diri setelah perang.


Sementara itu, Sekretaris Jenderal NATO Anders Fogh Rasmussen membenarkan bahwa dirinya berbicara dengan Moskow untuk mencari cara agar Rusia dapat membantu misi mereka di Afghanistan.


Rasmussen menyampaikan harapan untuk dapat mencapai kesepakatan penting dan bekerja sama secara luas dalam konferensi NATO-Rusia yang bertempat di Lisbon bulan depan, namun ia menambahkan bahwa pasukan Rusia tidak akan dikirimkan ke Aghanistan.


"Karena alasan historis, kita tidak akan melihat jejak kaki (pasukan) Rusia di Afghanistan. Tapi, Rusia bisa berkontribusi dengan cara lain. Mereka bisa menyediakan helikopter, mereka juga bisa melatih pasukan keamanan Afghanistan di Rusia, kami bisa bekerja sama untuk memerangi narkotika," kata Rasmussen.


Pernyataan Gorbachev tersebut disampaikan saat jumlah prajurit asing yang tewas di Afghanistan pada tahun 2010 menembus angka 600. Hal itu menjadikan 2010 sebagai tahun paling mematikan bagi pasukan AS dan NATO.


Menurut data hitung-hitungan resmi, tercatat lebih dari 2.100 prajurit asing yang dipimpin AS telah kehilangan nyawa di Afghanistan sejak invasi yang dipimpin AS dimulai pada tahun 2001.


Akan tetapi, data yang dirilis kantor berita Afghanistan, Baakhtar, menyebut kematian pasukan asing mencapai sekitar 4.500 orang.


Semakin meningkatnya jumlah kematian dalam perang itu membuat negara-negara anggota NATO mendapat tekanan berat agar menarik keluar pasukan mereka.


Dalam wawancara itu, Gorbachev juga menyampaikan kekhawatirannya mengenai perkembangan situasi politik di Rusia.


"Saya amat khawatir, kami baru setengah jalan dari rezim totalitarian menuju demokrasi dan kebebasan. Pertempuran terus berlanjut, masih ada banyak warga kami yang takut dengan demokrasi," katanya.


Ia menambahkan, partai penguasa yang dipimpin Perdana Menteri Vladimir Putin "melakukan segalanya untuk menjauh dari demokrasi, agar bisa terus berkuasa." (Suaramedia.com)